Rabu, 09 September 2015

Bianglala Cinta

Hasil gambar untuk gambar bianglala cinta


Karya Fiksi Fabina Lovers



“Ayo mandi, Ma!  Biar badannya segar.”  Pak Surya menyentuh lembut bahu teman hidupnya selama hampir tigapuluh tahun.

“Siapa kamu?  Jangan kurang ajar, ya!  Saya punya suami.“  Bu Surya menatap garang suaminya.  Penyakit demensia alzheimer membuat volume otaknya menyusut hingga tak mengenali sebagian besar anggota keluarganya.

“Aduh Ma, aku ‘kan suamimu?  Coba lihat, itu foto kita bersama anak-anak!”  Pak Surya menunjukan foto yang terpampang megah di ruang keluarga.

“Feni, mana Feni?”  Bu Surya berteriak-teriak mirip anak kecil yang keras kepala.

“Feni sedang di kamar mandi,” jelas Pak Surya dengan suara tenang.

“Pokoknya, aku hanya mau dimandikan Feni.  Awas ya, kamu nggak boleh ngintip!”  Bu Surya menudingkan telunjuknya nan gemetaran pada suaminya.

Pak Surya tertawa geli sambil geleng-geleng kepala.  “Oh Mama.  Aku udah hapal semua anatomi tubuhmu.  Nggak perlu ngintip-ngintip lagi.”

Bu Surya menyilangkan kedua lengannya ke dada.  “Kurang ajar kamu, ya!  Seenaknya saja bilang hapal anatomiku.  Memangnya aku cewek panggilan?”

“Ada apa sih ribut-ribut?” tanya Feni yang baru keluar dari kamar mandi.    Ia masih mengenakan kimono berbahan handuk.

“Feni, aku nggak mau dimandikan bapak-bapak tengil itu.  Nanti papamu marah.  Tolong mandikan mama, ya sayang!”

“Lho Ma, itu ‘kan Papa,” ujar Feni sambil mengarahkan ibu jarinya pada Pak Surya.

Bu Surya bengong.  “Jadi, kamu benar-benar suamiku?” tanya Bu Surya dengan mimik sangsi.

“Iya Ma.  Sebentar, aku mau menunjukan sesuatu.”

Pak Surya berlari ke dalam kamarnya dan kembali dengan sebuah pigura bergambar sepasang pengantin era delapanpuluhan.  “Ini foto pernikahan kita. Lihat, Mama cantik banget dalam balutan  kebaya putih!”

Bu Surya menatap foto pernikahannya dengan tatapan kosong.  “Oh aku nggak ingat apa-apa.  Benarkah itu fotoku?”

“Ini memang Mama.  Nah, bagaimana kalau Feni dan papa yang memandikan Mama?”  Feni menatap mamanya sambil tersenyum.

Bu Surya mengangguk pasrah. 

“Oke, aku mau ganti baju dulu.  Abis itu kita mandi di kamar, ya Ma.  Biar nggak ada yang ngintip,” kata Feni sambil mengedipkan sebelah matanya pada Pak Surya.  Papanya balas mengedipkan mata sambil mengulum senyum.

Tak mudah mengayomi Bu Surya.  Akibat kerusakan pada sistem sarafnya, Bu Surya tak bisa merespon rasa haus, lapar maupun keinginan ke jamban.  Perawat Bu Surya harus bersiaga selama duapuluh empat jam untuk memastikan wanita tua itu cukup makan, minum dan  bersih dari kotorannya sendiri.  Belum lagi menghadapi wataknya yang temperamental.   Tak ada perawat profesional yang sanggup mengayomi Bu Surya lebih dari dua bulan.

“Biar papa saja yang menjadi perawat mama kalian,” kata Pak Surya setelah perawat yang ketujuh mengundurkan diri.

“Yakin bisa kuat menghadapi mama?” Feni agak meragukan tekad ayahnya.   Beberapa tahun lalu, gadis itu  melarikan diri ke luar negeri karena tak sanggup menahan agitasi ibunya.

“Insya Allah, dimana ada kemauan di situ ada jalan.”

Perlakukan Bu Surya terhadap suaminya amat keterlaluan.  Pipi dan lengan Pak Surya dipenuhi bekas cakaran isterinya.  Kalimat keji yang dilontarkannya pada Pak Surya mengandung kosa kata kebun binatang dan WC umum.

“Kami ikhlas kalau Papa berniat menceraikan  mama!  Papa sudah tua, seharusnya dilayani oleh isteri, bukannya dijadikan bulan-bulanan,” usul Feni sewaktu melihat Pak Surya menangis di ruang tamu.

Pak Surya menghela napas berat.  Usulan anaknya perlu dipertimbangkan.

****
Rina ibarat bunga matahari.  Postur tubuh nan semampai berhias paras jelita, mengundang decak kagum orang-orang yang menatapnya.  Setiap pagi, saat ia berjalan kaki keluar komplek, sepasang mata menguntitnya dengan tatapan memuja.

“Lihat, dia nggak malu naik kendaraan umum!  Padahal ayahnya kaya raya.”

“Senyumnya manis sekali.  Oh, seandainya aku bisa melihat senyumnya sepanjang sisa umurku.”

“Ngaca dong Sur, kamu tuh cuma sopir!  Mana bisa bersanding dengan nona juragan?” tukas Mang Mamat, penjaga kebun.

Surya menyeringai penuh percaya diri.  “Sekarang saya memang sopir pribadi, tapi beberapa tahun lagi saya akan jadi bos.”

Mang Mamat dan isterinya terbahak-bahak sampai mengucurkan airmata.  “Aih Surya, kamu itu seperti katak merindukan rembulan.  Jangan melambung terlalu tinggi, Jang.  Kalau jatuh pasti sakit sekali,” nasehat isteri Mang Mamat.

Surya bergeming.  Ia bersikukuh pada cita-citanya menjadi pendamping hidup Rina.  Setelah tabungannya cukup, Surya berhenti dari pekerjaannya sebagai sopir pribadi dan melanjutkan kuliah jurusan desain grafis di sebuah institut ternama.   Ia menamatkan pendidikannya dalam waktu empat tahun dan langsung bekerja di sebuah biro iklan terkemuka.   Bintang keberuntungan mulai menyinari hidupnya.

“Selamat sore, Om.”  Suatu senja nan manis, Surya menyambangi kediaman Rina.

Pak Jatnika memandang pemuda perlente di hadapannya sambil mengerutkan kening.  “Um, kayaknya saya pernah lihat Adek.  Dimana ya?”

“Mungkin kita pernah berpapasan di Palaguna, Om.”

“Jadi, kamu memang benar temannya Rina?” 

“Kang Surya, apa kabar?”  Rina keluar rumah lalu berdiri di hadapan Surya dengan wajah berbinar.

“Surya?  Aku ingat lagi sekarang.  Kamu bekas sopirnya Pak Jaya, bukan?  Sekarang  jadi sopir dimana?”  Pak Jatnika melirik sinis sedan tahun tujuhpuluhan yang terparkir rapi di luar rumahnya.

“Saya kerja di biro iklan, Om.  Menempati posisi desainer grafis.”

“Ow, kamu seorang pekerja otodidak, ya?”  Pak Jatnika menyalakan rokok lalu menghembuskan asapnya ke arah Surya.

Surya terbatuk-batuk sambil mengibaskan asap yang mengepung penciumannya.  “Saya belajar desain grafis di perguruan tinggi, Om.”  Pemuda perlente itu menyebutkan kampus almamaternya dengan nada bangga.

Pak Jatnika menatap Surya dengan rasa hormat yang baru.  Tanpa sadar ia mematikan rokoknya pada asbak yang terdapat di meja teras. “Wah, susah lho masuk kampus itu.  Ngomong-ngomong, apa nama perusahaanmu dan siapa direkturnya?”

“Fortune Advertising.  Direkturnya Simon Aldric, pria keturunan Prancis.  Kami menangani pelayanan periklanan di tiga bidang, yaitu :  konsultasi komunikasi pemasaran, pelayanan perencanaan dan pemesanan media.”

“Wow, hebat sekali.”  Pak Jatnika manggut-manggut.

“Pa, sore ini Ina mau nonton bareng Kang Surya, boleh ‘kan?” Rina bergelayut manja di lengan ayahnya. 

Pak Jatnika berpikir sejenak.  “Boleh, tapi papa  ikut kalian!”

Rina berpandangan dengan Surya lalu mengangguk lemah.  Jadilah mereka bertiga menonton Top Gun yang dibintangi si ganteng Tom Cruise.  Pak Jatnika amat menikmati tontonan berkelas yang disajikan bioskop Paramount Theatre.  Sedangkan dua sejoli hanya bisa gigit jari.  Rencana bermesraan di kegelapan bioskop gagal total.

Seminggu setelah nonton bersama, Surya diundang makan malam di rumah keluarga Jatnika.  Ternyata para Bibi dan Paman Rina menghadiri makan malam itu.  Surya grogi.  Hidangan makan malam nan nikmat bagai serpihan granat.

“Nak Surya, mari kita bicara di teras!” ajak Pak Jatnika usai makan malam yang menegangkan itu.

“Ya Om.”  Surya membuntuti Pak Jatnika ke teras.

Semilir angin malam membelai tubuh mereka.  Meskipun malam berhawa sejuk, namun ketiak Surya basah oleh keringat.

“Surya, apa kamu serius dengan Rina?” tanya Pak Jatnika setelah mereka saling berdiam diri beberapa saat.

“Tentu saja serius, Om.”

“Kapan kamu bawa orang tuamu  untuk melamar Rina?” 

Pertanyaan  Pak  Jatnika terdengar bagai gemuruh guntur di telinga Surya.  “Oh, eh, saya hanya punya uang untuk pernikahan sederhana, Om,”  kata Surya, terbata.

“Biaya pernikahan akan ditanggung oleh Om.  Kalian juga akan kubelikan rumah.  Tapi, nafkah hidup Rina akan menjadi tanggung-jawabmu, bagaimana?”

“Terima kasih, Om.  Saya akan berusaha membahagiakan Rina selama hayat dikandung badan,” janji Surya sambil bersimpuh di kaki calon mertuanya.

Laju pernikahan mereka laksana permainan Jet Coaster.  Tahun-tahun awal pernikahan bergelimang madu.  Saat kebersamaan mereka menginjak tahun kelima, terjadilah masa sulit pernikahan.  Surya kehilangan pekerjaan akibat Fortune Advertising dinyatakan pailit.   Beberapa bulan keluarga mereka hidup sangat sederhana karena tak ada pemasukan.

Rina menyumbangkan seluruh perhiasannya untuk dijadikan modal pendirian biro iklan di Jakarta.  Berbekal pengalaman dari kegagalan Fortune Advertising, Surya berhasil membesarkan biro iklan miliknya.  Kini, biro iklan tersebut dikelola ketiga anak mereka yang telah dewasa.

“Hei, aku jangan ditinggalin sendirian!”  teriak Rina dari atas kursi rodanya. 

Pak Surya buru-buru menghampiri isterinya.  “Ada aku kok, Ma.  Yang  selalu mencintaimu dalam berbagai keadaan.”  Pak Surya mengecup pipi keriput isterinya.

Sreet.  Plak.  Plak.  Alih-alih tersenyum karena mendapatkan ciuman sayang, Rina malah menampar dan mencakar pipi suaminya.   

“Mama, papa jangan dipukul!”  Feni menarik tubuh Surya agar menjauhi mamanya.

Biarkan saja, Fen.  Papa tak akan pernah meninggalkan mamamu.  Cinta sejati tak menuntut balas.  Papa tetap mencintai mamamu sekalipun ia menyayat tubuh papa dengan sembilu.”

-      TAMAT –

Catatan :
Jang = singkatan ujang, panggilan untuk anak laki-laki.
Palaguna = mall terkenal di Bandung tahun 80-an.   
Top Gun = film produksi Hollywood tahun 1986.
Paramount Theatre = bioskop yang terletak di Jl. Sudirman, Kota Bandung.



Inspirasi cerita ini dapat dilihat pada video di bawah ini





Tidak ada komentar:

Posting Komentar