Karya Fiksi Fabina Lovers
“Ayo
mandi, Ma! Biar badannya segar.” Pak Surya menyentuh lembut bahu teman
hidupnya selama hampir tigapuluh tahun.
“Siapa
kamu? Jangan kurang ajar, ya! Saya punya suami.“ Bu Surya menatap garang suaminya. Penyakit demensia
alzheimer membuat volume otaknya
menyusut hingga tak mengenali sebagian besar anggota keluarganya.
“Aduh
Ma, aku ‘kan suamimu? Coba lihat, itu
foto kita bersama anak-anak!” Pak Surya
menunjukan foto yang terpampang megah di ruang keluarga.
“Feni,
mana Feni?” Bu Surya berteriak-teriak
mirip anak kecil yang keras kepala.
“Feni
sedang di kamar mandi,” jelas Pak Surya dengan suara tenang.
“Pokoknya, aku hanya mau
dimandikan Feni. Awas ya, kamu nggak
boleh ngintip!” Bu Surya menudingkan
telunjuknya nan gemetaran pada suaminya.
Pak
Surya tertawa geli sambil geleng-geleng kepala.
“Oh Mama. Aku udah hapal semua
anatomi tubuhmu. Nggak perlu
ngintip-ngintip lagi.”
Bu
Surya menyilangkan kedua lengannya ke dada.
“Kurang ajar kamu, ya! Seenaknya
saja bilang hapal anatomiku. Memangnya
aku cewek panggilan?”
“Ada
apa sih ribut-ribut?” tanya Feni yang baru keluar dari kamar mandi. Ia masih mengenakan kimono berbahan handuk.
“Feni,
aku nggak mau dimandikan bapak-bapak tengil itu. Nanti papamu marah. Tolong mandikan mama, ya sayang!”
“Lho
Ma, itu ‘kan Papa,” ujar Feni sambil mengarahkan ibu jarinya pada Pak Surya.
Bu Surya bengong. “Jadi, kamu benar-benar suamiku?” tanya Bu Surya dengan mimik sangsi.
“Iya
Ma. Sebentar, aku mau menunjukan
sesuatu.”
Pak
Surya berlari ke dalam kamarnya dan kembali dengan sebuah pigura bergambar
sepasang pengantin era delapanpuluhan.
“Ini foto pernikahan kita. Lihat,
Mama cantik banget dalam balutan kebaya putih!”
Bu
Surya menatap foto pernikahannya dengan tatapan kosong. “Oh aku nggak ingat apa-apa. Benarkah itu fotoku?”
“Ini
memang Mama. Nah, bagaimana kalau Feni
dan papa yang memandikan Mama?” Feni
menatap mamanya sambil tersenyum.
Bu
Surya mengangguk pasrah.
“Oke,
aku mau ganti baju dulu. Abis itu kita
mandi di kamar, ya Ma. Biar nggak ada
yang ngintip,” kata Feni sambil mengedipkan sebelah matanya pada Pak Surya. Papanya balas mengedipkan mata sambil
mengulum senyum.
Tak
mudah mengayomi Bu Surya. Akibat
kerusakan pada sistem sarafnya, Bu Surya tak bisa merespon rasa haus, lapar
maupun keinginan ke jamban. Perawat Bu
Surya harus bersiaga selama duapuluh empat jam untuk memastikan wanita tua itu
cukup makan, minum dan bersih dari
kotorannya sendiri. Belum lagi
menghadapi wataknya yang temperamental. Tak ada perawat profesional yang sanggup mengayomi Bu Surya lebih dari dua
bulan.
“Biar
papa saja yang menjadi perawat mama kalian,” kata Pak Surya setelah perawat
yang ketujuh mengundurkan diri.
“Yakin bisa kuat menghadapi mama?” Feni agak meragukan tekad ayahnya. Beberapa tahun lalu, gadis itu melarikan diri ke luar negeri karena tak sanggup menahan agitasi ibunya.
“Insya
Allah, dimana ada kemauan di situ ada jalan.”
Perlakukan
Bu Surya terhadap suaminya amat keterlaluan.
Pipi dan lengan Pak Surya dipenuhi bekas cakaran isterinya. Kalimat keji yang dilontarkannya pada Pak
Surya mengandung kosa kata kebun binatang dan WC umum.
“Kami
ikhlas kalau Papa berniat menceraikan mama!
Papa sudah tua, seharusnya dilayani oleh isteri, bukannya dijadikan
bulan-bulanan,” usul Feni sewaktu melihat Pak Surya menangis di ruang tamu.
Pak
Surya menghela napas berat. Usulan
anaknya perlu dipertimbangkan.
****
Rina
ibarat bunga matahari. Postur tubuh nan
semampai berhias paras jelita, mengundang decak kagum orang-orang yang
menatapnya. Setiap pagi, saat ia
berjalan kaki keluar komplek, sepasang mata menguntitnya dengan tatapan memuja.
“Lihat,
dia nggak malu naik kendaraan umum!
Padahal ayahnya kaya raya.”
“Senyumnya
manis sekali. Oh, seandainya aku bisa
melihat senyumnya sepanjang sisa umurku.”
“Ngaca
dong Sur, kamu tuh cuma sopir! Mana bisa
bersanding dengan nona juragan?” tukas Mang Mamat, penjaga kebun.
Surya
menyeringai penuh percaya diri. “Sekarang
saya memang sopir pribadi, tapi beberapa tahun lagi saya akan jadi bos.”
Mang
Mamat dan isterinya terbahak-bahak sampai mengucurkan airmata. “Aih Surya, kamu itu seperti katak merindukan
rembulan. Jangan melambung terlalu
tinggi, Jang. Kalau jatuh pasti sakit
sekali,” nasehat isteri Mang Mamat.
Surya
bergeming. Ia bersikukuh pada
cita-citanya menjadi pendamping hidup Rina.
Setelah tabungannya cukup, Surya berhenti dari pekerjaannya sebagai
sopir pribadi dan melanjutkan kuliah jurusan desain grafis di sebuah institut
ternama. Ia menamatkan pendidikannya dalam waktu empat tahun
dan langsung bekerja di sebuah biro iklan terkemuka. Bintang keberuntungan mulai menyinari
hidupnya.
“Selamat
sore, Om.” Suatu senja nan manis, Surya menyambangi
kediaman Rina.
Pak
Jatnika memandang pemuda perlente di hadapannya sambil mengerutkan kening. “Um, kayaknya saya pernah lihat Adek. Dimana ya?”
“Mungkin
kita pernah berpapasan di Palaguna, Om.”
“Jadi,
kamu memang benar temannya Rina?”
“Kang
Surya, apa kabar?” Rina keluar rumah
lalu berdiri di hadapan Surya dengan wajah berbinar.
“Surya? Aku ingat lagi sekarang. Kamu bekas sopirnya Pak Jaya, bukan? Sekarang
jadi sopir dimana?” Pak Jatnika
melirik sinis sedan tahun tujuhpuluhan yang terparkir rapi di luar rumahnya.
“Saya
kerja di biro iklan, Om. Menempati
posisi desainer grafis.”
“Ow,
kamu seorang pekerja otodidak, ya?” Pak
Jatnika menyalakan rokok lalu menghembuskan asapnya ke arah Surya.
Surya
terbatuk-batuk sambil mengibaskan asap yang mengepung penciumannya. “Saya belajar desain grafis di perguruan
tinggi, Om.” Pemuda perlente itu
menyebutkan kampus almamaternya dengan nada bangga.
Pak
Jatnika menatap Surya dengan rasa hormat yang baru. Tanpa sadar ia mematikan rokoknya pada asbak
yang terdapat di meja teras. “Wah, susah lho masuk kampus itu. Ngomong-ngomong, apa nama perusahaanmu dan
siapa direkturnya?”
“Fortune
Advertising. Direkturnya Simon Aldric,
pria keturunan Prancis. Kami menangani
pelayanan periklanan di tiga bidang, yaitu : konsultasi komunikasi pemasaran, pelayanan
perencanaan dan pemesanan media.”
“Wow,
hebat sekali.” Pak Jatnika
manggut-manggut.
“Pa,
sore ini Ina mau nonton bareng Kang Surya, boleh ‘kan?” Rina bergelayut manja
di lengan ayahnya.
Pak
Jatnika berpikir sejenak. “Boleh, tapi
papa ikut kalian!”
Rina
berpandangan dengan Surya lalu mengangguk lemah. Jadilah mereka bertiga menonton Top
Gun yang dibintangi si ganteng Tom Cruise. Pak Jatnika amat menikmati tontonan berkelas
yang disajikan bioskop Paramount Theatre. Sedangkan dua sejoli hanya bisa gigit
jari. Rencana bermesraan di kegelapan
bioskop gagal total.
Seminggu
setelah nonton bersama, Surya diundang makan malam di rumah keluarga Jatnika. Ternyata para Bibi dan Paman Rina menghadiri
makan malam itu. Surya grogi. Hidangan makan malam nan nikmat bagai
serpihan granat.
“Nak
Surya, mari kita bicara di teras!” ajak Pak Jatnika usai makan malam yang
menegangkan itu.
“Ya
Om.” Surya membuntuti Pak Jatnika ke
teras.
Semilir
angin malam membelai tubuh mereka. Meskipun malam berhawa sejuk, namun ketiak
Surya basah oleh keringat.
“Surya,
apa kamu serius dengan Rina?” tanya Pak Jatnika setelah mereka saling berdiam
diri beberapa saat.
“Tentu
saja serius, Om.”
“Kapan
kamu bawa orang tuamu untuk melamar
Rina?”
Pertanyaan
Pak Jatnika terdengar bagai gemuruh guntur di
telinga Surya. “Oh, eh, saya hanya punya
uang untuk pernikahan sederhana, Om,” kata Surya, terbata.
“Biaya
pernikahan akan ditanggung oleh Om.
Kalian juga akan kubelikan rumah.
Tapi, nafkah hidup Rina akan menjadi tanggung-jawabmu, bagaimana?”
“Terima
kasih, Om. Saya akan berusaha
membahagiakan Rina selama hayat dikandung badan,” janji Surya sambil bersimpuh
di kaki calon mertuanya.
Laju pernikahan mereka laksana permainan Jet
Coaster. Tahun-tahun awal pernikahan
bergelimang madu. Saat kebersamaan mereka
menginjak tahun kelima, terjadilah masa sulit pernikahan. Surya kehilangan pekerjaan akibat Fortune
Advertising dinyatakan pailit. Beberapa bulan keluarga mereka hidup sangat
sederhana karena tak ada pemasukan.
Rina
menyumbangkan seluruh perhiasannya untuk dijadikan modal pendirian biro iklan
di Jakarta. Berbekal pengalaman dari kegagalan
Fortune Advertising, Surya berhasil membesarkan biro iklan miliknya. Kini, biro iklan tersebut dikelola ketiga
anak mereka yang telah dewasa.
“Hei,
aku jangan ditinggalin sendirian!”
teriak Rina dari atas kursi rodanya.
Pak
Surya buru-buru menghampiri isterinya. “Ada
aku kok, Ma. Yang selalu mencintaimu dalam berbagai keadaan.” Pak Surya mengecup pipi keriput isterinya.
Sreet. Plak. Plak. Alih-alih tersenyum karena mendapatkan ciuman sayang, Rina malah menampar dan mencakar pipi suaminya.
“Mama,
papa jangan dipukul!” Feni menarik tubuh
Surya agar menjauhi mamanya.
“Biarkan saja, Fen. Papa tak
akan pernah meninggalkan mamamu. Cinta
sejati tak menuntut balas. Papa tetap
mencintai mamamu sekalipun ia menyayat tubuh papa dengan sembilu.”
- TAMAT –
Catatan :
Jang = singkatan ujang, panggilan untuk anak laki-laki.
Jang = singkatan ujang, panggilan untuk anak laki-laki.
Palaguna = mall terkenal di
Bandung tahun 80-an.
Top Gun = film produksi Hollywood
tahun 1986.
Paramount Theatre = bioskop yang
terletak di Jl. Sudirman, Kota Bandung.
Inspirasi cerita ini dapat dilihat pada video di bawah ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar