Karya Non Fiksi Fabina Lovers
“Jadi
PNS mah enak, kerjaannya nyantai, tinggal nunggu tanggal gajian. Oh ya, Ibu punya koneksi di BKN, nggak? Tolonglah upayakan agar anak saya diterima jadi PNS. Saya punya
seratus juta,” kata seorang tetangga yang berkunjung ke rumah.
Glek, saya menghela napas berulangkali agar tidak murka. Untunglah saya tidak sedang PMS. Seenaknya saja menganggap semua orang masuk PNS dengan cara menyogok. Sumpah, saya masuk PNS lewat tes. Tidak menyogok barang serupiah pun. Jujur saja, sewaktu saya diterima menjadi PNS lebih dari lima tahun lalu, kami tinggal di rumah petak sewaan. Mana mungkin saya punya cukup uang untuk menyogok? Akibat nila setitik rusak susu sebelanga. Akibat beberapa orang masuk PNS lewat jalan pintas, masyarakat sulit untuk memercayai orang bisa lulus tes PNS tanpa menyogok.
Apakah
semua PNS sedikit bekerja? Tidak juga
tuh. Pegawai kelurahan terlihat santai
karena mereka berfungsi sebagai pelayan
administrasi publik. Jadi, pekerjaannya
seperti penjaga warung. Bila ada yang
membutuhkan pelayanan barulah mereka bekerja. Berbeda halnya dengan karyawan instansi teknis. Proyek yang kami tangani berasal dari pemerintah
daerah setempat maupun pemerintah pusat.
Karyawan instansi teknis kadang harus lembur untuk menyelesaikan
pekerjaan. Saya pun pernah bekerja
seperti itu, hingga suami saya protes.
Akhirnya saya memohon pada atasan untuk ditempatkan di unit kerja yang volume
pekerjaannya lebih sedikit. Untunglah
atasan bersedia mengabulkan permintaan saya.
Tetangga
saya itu bisa dikategorikan ‘orang sulit’. Kata-katanya kerap menyakiti hati. Bahkan pernah memancing keributan antar
tetangga. Ternyata, bukan di rumah saja
saya berhadapan dengan ‘orang sulit’. Di
kantor pun ada ‘orang sulit’ yang membuat saya harus berkali-kali menghela
napas. Dulu, saya kerap menggempur ‘orang-orang
sulit’ dengan kalimat tajam. Tapi,
seiring pertambahan usia, saya melunak terhadap mereka.
Saya menyadari, orang sulit di kantor yang menggempur kita dengan kata-kata menyakitkan biasanya dikarenakan hal ini :
- Menganggap kita sebagai ancaman kelanjutan karirnya, artinya dia mengakui kelebihan diri kita atas dirinya;
- Upaya untuk menutupi kelemahan diri. Mungkin karena kurang kompetensi atau merasa status sosialnya lebih rendah daripada pegawai lainnya;
- Tidak berbahagia dalam kehidupan pribadinya sehingga perlu menyakiti orang lain agar orang tersebut tidak bahagia seperti dirinya.
Tak
selamanya saya mampu menanggulangi benci dengan ‘kasihan’. Bila perasaan benci pada ‘orang-orang
sulit’ telah mencapai stadium akut, saya
akan membaca hadist ini :
Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun ia juga datang dengan membawa dosa kedzaliman. Ia pernah mencerca si ini, menuduh tanpa bukti terhadap si itu, memakan harta si anu, menumpahkan darah orang ini dan memukul orang itu. Maka sebagai tebusan atas kedzalimannya tersebut, diberikanlah di antara kebaikannya kepada si ini, si anu dan si itu. Hingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang didzaliminya sementara belum semua kedzalimannya tertebus, diambillah kejelekan/kesalahan yang dimiliki oleh orang yang didzaliminya lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim no. 6522)
Sobat, pahala yang banyak adalah kunci kebahagiaan
kita di alam keabadian. Kita akan
menjadi orang beruntung bila menerima pahala dari orang-orang yang menyakiti
kita. Apatah lagi bila dosa-dosa kita
diambil oleh mereka. Maka, jangan bersedih
bila ada yang menyakitimu.
Kotahujan, 02-09-2015
Ilustrasi dari http://carapedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar