Sabtu, 04 Juli 2015

IMPIAN DINO


Ilustrasi dari ghibrania.blogspot.com


Karya Fiksi Fabina Lovers

Dino mengguncang celengan kalengnya.   Tak lagi terdengar kelontang uang logam.  Hanya desiran uang kertas yang memadati celengannya.  “Ah, sebentar lagi impianku terwujud,” gumam Dino dengan wajah berbinar.

Perjuangan Dino untuk mengisi celengannya tak bisa dianggap sepele. Entah sudah berapa liter keringat dan airmata nan  membasuh wajah gantengnya.  Apa, Dino ganteng?  Luar biasa ganteng malah.  Dino tak perlu mengunggah gambar bintang korea sebagai foto profil akun Facebook-nya.  Wajah aslinya  telah memikat seribuan wanita di dunia maya.   Tapi, tak seorang pun tahu,  nasib Dino tak sebagus raut wajahnya.

Dino lahir di sebuah lokalisasi terkenal.  Ayahnya bisa jadi seorang turis berkebangsaan Italia atau Rusia?  Entalah, ibunya yang keturunan Jepang tak bisa menjelaskan.  Malam itu, Miss Jepun (panggilan ibunya Dino di lokalisasi) melayani  beberapa tamu mancanegara.  Sebulan kemudian, Miss Jepun hamil.  Kehamilan yang tak pernah diharapkannya.

Sejak dalam kandungan, Dino telah menjadi pejuang.  Ia bertahan dari gempuran obat-obatan dan tongkat ‘dukun beranak’ yang berusaha menyegahnya lahir ke dunia.  Tapi, Dino adalah jabang bayi yang hebat.  Berkat kuasa Tuhan,  Dino lahir ke dunia ini dalam kondisi normal.

“Neng, si orok teh meuni kasep. Bagaimana kalau dijual aja.  Pasti Neng dapet duit banyak,” saran Dukun Beranak.

Miss Jepun mendengus.  “Ah Mak, saya sudah jual diri, piraku kudu jual anak juga.  Kalau Mak senang dengan anak saya, ambil aja!  Saya nggak mungkin membesarkan dia di lingkungan kayak gini.”

Begitulan ceritanya hingga Dino dirawat Mak Icot, sang Dukun Beranak.   Sayang, penghasilan Mak Icot tak sebesar kasih sayangnya pada Dino.  Mak Icot kesulitan menyediakan segala kebutuhan bayi.  Dino harus minum susu formula.  Adapun Mak Icot  tak selamanya sanggup membeli susu.  Maklum, dia hanyalah orang tua tunggal yang mengasuh tiga orang pemuda pengangguran plus seorang bayi.  Karena kekurangan susu, Dino sering menangis di tengah malam.

“Kang Wira, tolong rawat anak ini!  Mak nggak sanggup beli susunya.”  Suatu hari Mak Icot mendatangi Kang Wira, anaknya Pak Lurah yang sedang mudik.  Konon Kang Wira sukses meniti karir di kota besar.   Tapi, dia masih membujang di usia mendekati empat puluh tahun.

Euleuh...euleuh... masih bayi aja udah ganteng, bagaimana besarnya ya?” Wira menyentuh pipi tembam Dino, lalu mengajaknya ber-cilukba.  Bayi Dino terkekeh-kekeh geli.  Agaknya dia senang pada Kang Wira.

“Ya sudah, tolong carikan emak-emak yang mau ikut saya ke kota untuk mengasuh anak ini!  Saya akan memberinya gaji sejuta sebulan.”

“Apaa? Sejuta sebulan?”  Mak Icot nyaris tersedak karena terkejut.  Gaji sejuta sebulan adalah bilangan yang fantastis pada tahun 1997.

“Benar Mak, saya akan menggaji pengasuh anak ini sejuta sebulan,” tandas Kang Wira.

“Biar Emak aja yang ngasuh Dino di kota.  Toh selama ini emang Emak yang ngasuh dia,” usul Mak Icot, penuh semangat.  Beberapa hari kemudian, Mak Icot dan Bayi Dino mengikuti Kang Wira ke sebuah kota besar.

Hingga berusia sepuluh tahun, Dino menikmati kehidupan mewah ala metropolitan.  Wira amat memanjakannya.   Jumlah mainan Dino menyaingi koleksi toko mainan.  Belum lagi pakaian-pakaian mahal yang memenuhi lemari pakaiannya.  Dino pun tumbuh menjadi pemuda kecil yang tampan dan menggemaskan.  Amat menggemaskan.

“Dino, sini Papa mandiin!”  Wira masuk ke kamar mandi.   Sorot matanya terlihat ganjil.  

Dino mundur beberapa langkah sambil menutupi kemaluannya.    Sikap Wira membuatnya jengah.  “Nggak mau.  Dino ‘kan udah besar,” tolak Dino.

Wira tertawa menggoda.  “Ganteng, kamu belum bisa mandi sendiri.  Kemarilah, Papa sudah tak sabar memandikanmu!”

Kejadian selanjutnya tak akan terlupakan sepanjang hidup Dino.   Luka-luka fisiknya telah pulih, tapi luka batinnya tak mengering hingga hari ini.  Sosok yang telah dianggapnya sebagai pengganti orang tua kandung, ternyata tega menyakiti dirinya.  Bahkan berpotensi menularkan ‘penyakit’nya seandainya Dino tidak keburu minggat dari rumah itu.

“Ai Dino, jangan ngelamun bae!  Cucilah piring tu!  Banyak tamu yang belum kebagian piring.”  Yuk Yati menjulurkan kepalanya melalui pintu warung.

“Iyo Yuk.”  Dino sontak melanjutkan kegiatan mencuci piringnya.

Yuk Yati ibarat pahlawan bagi Dino.  Dialah yang menyelamatkan Dino dari cengkeraman para preman terminal yang berperangai seperti Wira.  Padahal Dino bukanlah kerabat Yuk Yati.  Waktu itu, Dino baru beberapa hari tiba di Kota Palembang.   Demi mencapai kota itu, Dino menjadi asisten kenek bus antar pulau.   Tujuannya agar bisa menumpang bus secara gratis.

“Ado saudara di sini?” tanya Yuk Yati  saat membawa Dino ke rumahnya.  Kurang lebih delapan tahun yang lalu

“Ada, namanya Mang Karta.  Dia tinggal di Kenten Laut.”  Dino menunjukan alamat rumah yang ia dapatkan dari Mak Icot.

“Wah, tempatnya jauh dari sini.  Sudah, bagaimana kalau kau bantu aku kerjo di warung?  Gek kalau duit kau sudah cukup, kau bisa cari saudaramu itu,” usul Yuk Yati.

Ternyata Mang Karta sudah menjual rumahnya di Kenten Laut dan pulang kampung ke Sukabumi.   Tak seorang pun yang tahu alamat barunya.  Dino memutuskan tetap tinggal di Palembang.  Mengabdi pada Yuk Yati.

“Yuk, nanti siang aku nak ijin, biso ndak?” tanya Wiro.  Warung baru saja tutup setelah melayani puluhan pembeli yang hendak berbuka dan sahur.

“Nak kemano kau?”

“Aku nak beli HP baru.”

“Ai lah, banyak duit kau?”

Dino tersipu.  “Alhamdulillah Yuk, cukup buat beli HP android terbaru.”

Yuk Yati tertawa sambil menepuk pundak Dino.  “Pergilah, jangan lupo belikan aku srikayo untuk buko puaso!”

****

“Ya, senyum, tapi jangan lihat kamera!” Yusran, sobat Dino, berlagak seperti fotografer profesional.

“Woi, hasilnyo bagus nian.  Pantes nian kau tegak di depan mobil ini.”  Yusran menunjukan hasil bidikannya dengan bangga.

“Hei, ngapain deket-deket mobil gue?” Seorang pemuda berwajah oriental menghampiri mereka dengan mimik murka.

“Maaf Mas, kami nggak bermaksud jahat,” kata Yusran.

“Pergi dari sini, atau mau gue laporin polisi!”  Pemuda itu melotot sambil berkacak pinggang.  Yusran dan Dino terbirit-birit meninggalkannya.

Sesampainya di depan mall, Dino dan Yusran berhenti sebentar.  Napas mereka terengah-engah.  Maklum, mereka berlari dari tempat parkir di lantai lima hingga pelataran mall melewati tangga konvensional.

“Ayo kita numpang duduk dekat pos satpam!  Gek aku ajari kau cara upload foto tadi di FB.” Yusran tertawa renyah.  “Sekarang kau tak perlu pinjam HP-ku lagi kalau nak FB-an.”

Beberapa menit kemudian, foto Dino yang berpose di depan mobil mewah telah terunggah di kronologi facebook-nya.  Kalimat yang menyertai foto itu cukup menggetarkan hati.  “GUYS, SUPAYA BISA GINI, GUE HARUS MENABUNG BERTAHUN-TAHUN.”

Dalam sekejap mata, foto Dino mendapatkan puluhan ‘like’ dan komentar.  “KAYAK GINI NIH COWOK IDAMAN GW.  GANTENG.  PINTER CARI DUIT.  DINOOO, KAPAN YA GW BISA NAEK MOBIL LOE.” Demikianlah isi komentar salah seorang wanita penggemar Dino.

Dino dan Yusran terbahak-bahak.  “Padahal yang aku maksud harus menabung bertahun-tahun supaya biso fb-an pake HP sendiri,” kata Dino.

"Mereka ketipu.  Dikiranya kau lah kebeli mobil. Ah, cak itulah dunia maya,” sambung Yusran sambil tergelak.

-TAMAT -

Pesan moral cerita ini (sambil ingatkan diri sendiri) :

Jangan terlalu percaya dengan penampakan dunia maya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar