Ilustrasi dari ghibrania.blogspot.com
Dino mengguncang celengan kalengnya. Tak
lagi terdengar kelontang uang logam.
Hanya desiran uang kertas yang memadati celengannya. “Ah, sebentar lagi impianku terwujud,” gumam
Dino dengan wajah berbinar.
Perjuangan Dino untuk mengisi
celengannya tak bisa dianggap sepele. Entah sudah berapa liter keringat dan airmata nan membasuh wajah gantengnya. Apa, Dino ganteng? Luar biasa ganteng malah. Dino tak perlu mengunggah gambar bintang
korea sebagai foto profil akun Facebook-nya.
Wajah aslinya telah memikat
seribuan wanita di dunia maya. Tapi,
tak seorang pun tahu, nasib Dino tak sebagus raut wajahnya.
Dino lahir di sebuah lokalisasi
terkenal. Ayahnya bisa jadi seorang
turis berkebangsaan Italia atau Rusia?
Entalah, ibunya yang keturunan Jepang tak bisa menjelaskan. Malam itu, Miss Jepun (panggilan ibunya Dino
di lokalisasi) melayani beberapa tamu
mancanegara. Sebulan kemudian, Miss
Jepun hamil. Kehamilan yang tak pernah
diharapkannya.
Sejak dalam kandungan, Dino telah
menjadi pejuang. Ia bertahan dari
gempuran obat-obatan dan tongkat ‘dukun beranak’ yang berusaha menyegahnya
lahir ke dunia. Tapi, Dino adalah jabang
bayi yang hebat. Berkat kuasa Tuhan, Dino lahir ke dunia ini dalam kondisi normal.
“Neng, si orok teh meuni kasep. Bagaimana kalau dijual aja. Pasti Neng dapet duit banyak,” saran Dukun
Beranak.
Miss Jepun mendengus. “Ah Mak, saya sudah jual diri, piraku kudu jual anak juga. Kalau Mak senang dengan anak saya, ambil aja! Saya nggak mungkin membesarkan dia di
lingkungan kayak gini.”
Begitulan ceritanya hingga Dino
dirawat Mak Icot, sang Dukun Beranak.
Sayang, penghasilan Mak Icot tak sebesar kasih sayangnya pada Dino. Mak Icot kesulitan menyediakan segala
kebutuhan bayi. Dino harus minum susu
formula. Adapun Mak Icot tak selamanya sanggup membeli susu. Maklum, dia hanyalah orang tua tunggal yang
mengasuh tiga orang pemuda pengangguran plus seorang bayi. Karena kekurangan susu, Dino sering menangis
di tengah malam.
“Kang Wira, tolong rawat anak
ini! Mak nggak sanggup beli
susunya.” Suatu hari Mak Icot mendatangi
Kang Wira, anaknya Pak Lurah yang sedang mudik.
Konon Kang Wira sukses meniti karir di kota besar. Tapi, dia masih membujang di usia mendekati
empat puluh tahun.
“Euleuh...euleuh... masih bayi aja udah ganteng, bagaimana besarnya ya?”
Wira menyentuh pipi tembam Dino, lalu mengajaknya ber-cilukba. Bayi Dino terkekeh-kekeh geli. Agaknya dia senang pada Kang Wira.
“Ya sudah, tolong carikan
emak-emak yang mau ikut saya ke kota untuk mengasuh anak ini! Saya akan memberinya gaji sejuta sebulan.”
“Apaa? Sejuta sebulan?” Mak Icot nyaris tersedak karena
terkejut. Gaji sejuta sebulan adalah
bilangan yang fantastis pada tahun 1997.
“Benar Mak, saya akan menggaji
pengasuh anak ini sejuta sebulan,” tandas Kang Wira.
“Biar Emak aja yang ngasuh Dino
di kota. Toh selama ini emang Emak yang
ngasuh dia,” usul Mak Icot, penuh semangat.
Beberapa hari kemudian, Mak Icot dan Bayi Dino mengikuti Kang Wira ke
sebuah kota besar.
Hingga berusia sepuluh tahun,
Dino menikmati kehidupan mewah ala metropolitan. Wira amat memanjakannya. Jumlah mainan Dino menyaingi koleksi toko
mainan. Belum lagi pakaian-pakaian mahal
yang memenuhi lemari pakaiannya. Dino pun tumbuh menjadi pemuda kecil yang tampan dan menggemaskan. Amat menggemaskan.
“Dino, sini Papa mandiin!” Wira masuk ke kamar mandi. Sorot matanya terlihat ganjil.
Dino mundur beberapa langkah
sambil menutupi kemaluannya. Sikap
Wira membuatnya jengah. “Nggak mau. Dino ‘kan udah besar,” tolak Dino.
Wira tertawa menggoda. “Ganteng, kamu belum bisa mandi sendiri. Kemarilah, Papa sudah tak sabar memandikanmu!”
Kejadian selanjutnya tak akan terlupakan
sepanjang hidup Dino. Luka-luka fisiknya telah pulih, tapi luka batinnya
tak mengering hingga hari ini. Sosok
yang telah dianggapnya sebagai pengganti orang tua kandung, ternyata tega menyakiti
dirinya. Bahkan berpotensi menularkan ‘penyakit’nya
seandainya Dino tidak keburu minggat dari rumah itu.
“Ai Dino, jangan ngelamun
bae! Cucilah piring tu! Banyak tamu yang belum kebagian piring.” Yuk Yati menjulurkan kepalanya melalui pintu
warung.
“Iyo Yuk.” Dino sontak melanjutkan kegiatan mencuci piringnya.
Yuk Yati ibarat pahlawan
bagi Dino. Dialah yang menyelamatkan
Dino dari cengkeraman para preman terminal yang berperangai seperti Wira. Padahal Dino bukanlah kerabat Yuk Yati. Waktu itu, Dino baru beberapa hari tiba di Kota Palembang. Demi mencapai kota itu, Dino menjadi asisten
kenek bus antar pulau. Tujuannya agar
bisa menumpang bus secara gratis.
“Ado saudara di sini?” tanya Yuk
Yati saat membawa Dino ke rumahnya. Kurang lebih delapan tahun yang lalu
“Ada, namanya Mang Karta. Dia tinggal di Kenten Laut.” Dino menunjukan alamat rumah yang ia dapatkan
dari Mak Icot.
“Wah, tempatnya jauh dari
sini. Sudah, bagaimana kalau kau bantu
aku kerjo di warung? Gek kalau duit kau
sudah cukup, kau bisa cari saudaramu itu,” usul Yuk Yati.
Ternyata Mang Karta sudah menjual
rumahnya di Kenten Laut dan pulang kampung ke Sukabumi. Tak seorang pun yang tahu alamat barunya. Dino memutuskan tetap tinggal di
Palembang. Mengabdi pada Yuk Yati.
“Yuk, nanti siang aku nak ijin, biso
ndak?” tanya Wiro. Warung baru saja
tutup setelah melayani puluhan pembeli yang hendak berbuka dan sahur.
“Nak kemano kau?”
“Aku nak beli HP baru.”
“Ai lah, banyak duit kau?”
Dino tersipu. “Alhamdulillah Yuk, cukup buat beli HP
android terbaru.”
Yuk Yati tertawa sambil menepuk
pundak Dino. “Pergilah, jangan lupo
belikan aku srikayo untuk buko puaso!”
****
“Ya, senyum, tapi jangan lihat
kamera!” Yusran, sobat Dino, berlagak seperti fotografer profesional.
“Woi, hasilnyo bagus nian. Pantes nian kau tegak di depan mobil ini.” Yusran menunjukan hasil bidikannya dengan
bangga.
“Hei, ngapain deket-deket mobil
gue?” Seorang pemuda berwajah oriental menghampiri mereka dengan mimik murka.
“Maaf Mas, kami nggak bermaksud
jahat,” kata Yusran.
“Pergi dari sini, atau mau gue
laporin polisi!” Pemuda itu melotot
sambil berkacak pinggang. Yusran dan
Dino terbirit-birit meninggalkannya.
Sesampainya di depan mall, Dino
dan Yusran berhenti sebentar. Napas
mereka terengah-engah. Maklum, mereka
berlari dari tempat parkir di lantai lima hingga pelataran mall melewati tangga
konvensional.
“Ayo kita numpang duduk dekat pos
satpam! Gek aku ajari kau cara upload foto
tadi di FB.” Yusran tertawa renyah. “Sekarang
kau tak perlu pinjam HP-ku lagi kalau nak FB-an.”
Beberapa menit kemudian, foto
Dino yang berpose di depan mobil mewah telah terunggah di kronologi
facebook-nya. Kalimat yang menyertai
foto itu cukup menggetarkan hati. “GUYS, SUPAYA BISA GINI, GUE HARUS MENABUNG
BERTAHUN-TAHUN.”
Dalam sekejap mata, foto Dino
mendapatkan puluhan ‘like’ dan komentar.
“KAYAK GINI NIH COWOK IDAMAN
GW. GANTENG. PINTER CARI DUIT. DINOOO, KAPAN YA GW BISA NAEK MOBIL LOE.” Demikianlah isi komentar salah seorang wanita
penggemar Dino.
Dino dan Yusran
terbahak-bahak. “Padahal yang aku maksud
harus menabung bertahun-tahun supaya biso fb-an pake HP sendiri,” kata Dino.
"Mereka ketipu. Dikiranya kau lah kebeli mobil. Ah, cak itulah dunia maya,” sambung Yusran sambil tergelak.
-TAMAT -
Pesan moral cerita ini (sambil ingatkan diri sendiri) :
Jangan terlalu percaya dengan penampakan dunia maya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar