Karya Fiksi Fabina Lovers
2015
Pembawa
acara usia setengah baya itu membuka acara talkshow
yang selalu mendapatkan rating tinggi karena menginspirasi pemirsanya.
“Anak
adalah investasi masa depan. Wajarlah
bila orang tua berupaya memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya. Namun, apa yang anda lakukan bila anak anda
menderita disleksia sehingga kesulitan belajar membaca dan menulis? Apakah anda menjadi putus harapan? Bintang tamu kita hari ini akan membagikan
pengalamannya pada kita tentang cara mendidik seorang penderita disleksia agar
mampu membaca dengan baik. Tak hanya itu
saja, orang tua ini pun mampu memunculkan potensi sang penyandang disleksia hingga menoreh berbagai prestasi.
Mari kita sambut, Bapak dan Ibu Pipo Milano.”
Pria
tinggi besar nan tampan itu melangkah penuh percaya diri ke panggung. Ia tersenyum lebar bagai penyanyi pop menghadapi
penggemarnya. Selangkah di belakangnya,
seorang wanita mungil berjalan rikuh.
Hampir saja ia menabrak suaminya.
Bu Pipo kerap bertingkah kikuk, terpuruk
di balik bayangan besar suaminya. Demi
melihat mereka, luka lamaku terkuak kembali.
Bip,
nada pesan WA mengejutkanku. ‘Sabar ya Nak. Tuhan tahu siapa yang berjasa besar. Tuhan telah membalas kebaikanmu dengan hadiah
terindah’ tulis Oma Risma.
Aku tersenyum. Oma Risma, ibu kandung Pak Pipo, selalu pandai membaca isi hatiku.
Aku tersenyum. Oma Risma, ibu kandung Pak Pipo, selalu pandai membaca isi hatiku.
“Kok
senyum-senyum sendiri?” Kak Juna mencium
pipiku sebelum duduk di sampingku.
Suamiku memang romantis.
“Tuh
ada si bapak.” Aku mengedikan kepala ke
arah televisi.
“Oh
mantanmu, ya?” Kak Juna meringis jahil.
Aku
mendelik sewot. “Enak aja. Amit-amit deh punya pasangan kayak dia.”
Kak
Juna tertawa renyah sambil mengacak-acak rambutku. “Udah, jangan dendam! Sebaiknya kamu tiru para pahlawan kemerdekaan
kita! Legowo menerima kemiskinan walau
sudah berjuang mati-matian demi kemerdekaan Indonesia. Mereka biarkan orang lain yang menikmati buah
perjuangannya. Korupsi besar-besaran
demi kesenangan pribadi.”
Nah, Kak Juna mulai bicara politik deh. Aku malas mendengarnya.
Nah, Kak Juna mulai bicara politik deh. Aku malas mendengarnya.
“Kata
Oma Risma, Tuhan telah memberiku hadiah terindah... ups.” Aku menutup mulutku yang berhianat. Lihat, suamiku mulai GR.
“Oma
Risma benar. Akulah hadiah terindah
untukmu.”
“Huuu...” Aku memonyongkan bibir. “Hei, Fernando baru muncul tuh. Aduh, dia lebih jangkung daripada aku.”
Kami menyimak siaran TV sambil berangkulan.
“Pemirsa,
pemuda ganteng ini belajar ilmu arsitektur secara otodidak. Sekarang,
beliau dikenal sebagai arsitek muda berbakat yang telah memenangkan berbagai
kompetisi arsitektur. Bung Fernando,
siapakah yang berkontribusi paling besar
terhadap keberhasilan Anda?” Pembawa
acara mengalihkan pandangannya pada Fernando.
Kamera
menyorot wajah Fernando. Mantan anak
asuhku itu tampak gugup. “Mmm, saya
bersukur punya orang tua hebat.
Merekalah yang menjadikan saya seperti ini,” jawab Fernando sambil
menundukan kepala. Aku tahu, Bapak dan
Ibu Pipo telah memaksanya berbohong.
*****
2005
“Anak
bodoh, kamu telah mempermalukan orang tua!” Suara Pak Pipo terdengar sampai ke halaman
depan. Dia sangat marah karena Fernando
dikeluarkan dari sekolah. Bukan karena
nakal, tapi para guru tak sanggup lagi mengajarinya membaca dan menulis. Padahal Fernando telah tiga tahun bermukim di
kelas 1 SD.
“Pa,
bagaimana kalau kita datangkan guru les aja?
Aku nggak tega liat Fernando masuk SLB.”
Suara Bu Pipo terdengar seperti cericit tikus. Perempuan itu tak pernah bisa bersuara normal
di hadapan suaminya.
Pak
Pipo mendengus. “Percuma, Ma. Paling-paling mereka nyerah juga. Sudahlah, lebih baik kita bangun duapuluh unit
rumah kontrakan sebagai bekal masa depan dia.
Ah, untunglah kita masih punya dua orang anak yang bisa dibanggakan.”
Kalimat
tajam Pak Pipo mengiris hati Fernando.
Di hadapan kedua orang tuanya, Fernando tertunduk lesu dengan mata
berkabut. Pelampiasan kekesalannya
selalu kepadaku. Ada saja
barang-barangku yang rusak. Seperai,
kemeja baru, bahkan pakaian dalamku.
Tapi, aku tak pernah memarahi Fernando.
“Nggak
apa-apa. Mbak tahu Fernando lagi kesal.”
“Aku
ini anak nggak berguna. Lebih baik mati
aja.” Fernando berusaha mencekik
lehernya dengan selendangku.
“Jangan Ando, kalau kamu mati Mbak bakal sedih.
Udah dengar cerita tentang Mbah Marni, belum?”
Fernando
menggeleng. Matanya yang berair
menatapku penuh harap. Tak sabar
mendengar ceritaku.
“Neneknya
Mbak Dina adalah orang terkaya di kampung, walaupun dia nggak bisa baca-tulis.”
“Yang
benar, Mbak?” Fernando mulai tertarik
dengan ceritaku.
“Iya,
Mbak Dina nggak bohong kok. Kapan-kapan
kamu ikut aku pulang kampung deh. Biar
bisa menyaksikan sendiri kekayaan Mbah Marni.”
“Kok
bisa?”
“Mbah
Marni ahli meracik obat-obatan dari tumbuhan.
Banyak orang yang berhasil disembuhkannya. Termasuk seorang pangeran dari negeri
seberang. Pangeran ini menghadiahinya
sebidang ladang minyak. Nah, ladang
minyak inilah yang membuat Mbah Marni kaya raya.”
“Ck...ck...ck
hebat ya.”
“Walaupun
kamu nggak bisa baca-tulis, kamu bisa sukses selama punya keahlian khusus,”
pungkasku sambil membelai kepala Fernando.
Anak
asuhku tertegun sejenak. “Apa ya
keahlianku?” tanya Fernando setengah berbisik.
“Kamu
pintar melukis. Lihat, Mbak memajang
lukisanmu di kamar ini. Bagus sekali
bukan?” Aku menunjuk sekiling kamarku
yang ditempeli lukisan karya Fernando.
Karena tak sanggup membeli pigura, aku melaminating semua lukisan itu.
“Jelek,
ah! Memangnya ada yang mau beli lukisanku?”
“Ayo
kita jualan lukisanmu lewat akun facebooknya Mbak Dina!”
Semua
lukisan karya Fernando laris terjual setelah aku mengunggahnya di facebook. Menurut teman-teman mayaku, lukisan Fernando
berkesan manis sekaligus misterius.
Mereka tak percaya sewaktu aku beri tahu senimannya masih berumur
sepuluh tahun.
Semangat
hidup Fernando pulih kembali. Ia minta
dibelikan kanvas, kuas, dan cat air baru pada orang tuanya. Setelah itu, seluruh waktunya dihabiskan
dengan melukis. Bahkan ia kerap tertidur
di hadapan kanvasnya.
Aku
pun bersemangat mencari informasi gangguan belajar membaca di internet maupun
perpustakaan umum. Walaupun berstatus pengasuh,
aku ini lulusan terbaik dari sebuah SMA ternama di wilayah Banyumas. Aku tidak bodoh. Meskipun sering berpura-pura bodoh di hadapan
majikanku.
2008
Dari
berbagai informasi, aku mengetahui Fernando menderita disleksia. Orang yang mengalami disleksia berpikir
dengan membentuk gambaran di benaknya.
Mereka cenderung berpikir lebih cepat daripada orang-orang yang berpikir
dengan kata-kata. Hal ini bagus, karena
beberapa ilmuwan dan seniman terkenal adalah penderita disleksia. Contohnya
Albert Einstein, Thomas Alfa Edison dan Leonardo Da Vinci. Mereka mungkin tak bisa menghasilkan karya
fenomenal bila tidak menderita disleksia.
Walaupun
pandai, penderita disleksia mengalami kesulitan membaca karena sebuah kata
tidak menimbulkan gambaran di benaknya.
Bila terlalu banyak aksara tanpa imajinasi memenuhi otaknya, penderita
disleksia akan kehilangan konsentrasi.
Penderita disleksia perlu dilatih mengasosiasikan kata-kata dengan
bentuk-bentuk tertentu. Hingga lambat
laun benaknya membentuk imajinasi dari setiap kata yang dibacanya.
Dua
tahun lalu, aku mulai melatih Fernando mengasosiasikan sebuah kata dengan
benda-benda yang kubuat dari lilin mainan.
Misalnya kata ibu dengan bentuk konde.
Ayah dengan bentuk kumis. Adik
dengan bentuk botol susu. Usahaku mulai
menampakan hasil.
“Papa, Ando sudah bisa baca,” teriak Bu Pipo. Mata indahnya berkaca-kaca.
“Ada
apa sih teriak-teriak?” Pak Pipo muncul
dari ruang perpustakaan sambil mengepit koran di ketiaknya.
“Ando
sudah bisa baca majalah anak-anak, Pa.”
Bu Pipo memeluk dan menciumi Fernando.
“Ah,
siapa tahu cuma hapalan. Coba kamu baca
ini!” Pak Pipo membentangkan koran di
meja kopi dan menunjuk judul berita berhurup besar yang ada di halaman depan.
“Kebakaran
di Senter memakan korban jiwa.” Fernando salah membaca Sunter menjadi Senter. Aku belum pernah membentuk lilin mainan yang mengasosiasikan wilayah
Sunter. Tapi, Pak Pipo mengabaikan
kesalahan itu.
“Terima
kasih Tuhan, anakku sudah bisa membaca.”
Pak Pipo menepuk-nepuk bahu anaknya.
Fernando nyengir bangga. Ia belum
pernah diperlakukan semanis itu oleh ayahnya.
“Aku
diajari Mbak Dina." Penjelasan Fernando membuatku tersipu.
“Oh
terima kasih Mbak, gaji Mbak akan kunaikkan dua kali lipat,” janji Pak Pipo.
“Fernando
juga sudah bisa cari uang sendiri.” Aku
menunjukan uang dalam amplop yang kusimpan di balik kasurku. Tak mungkin membuka rekening Bank atas
nama Fernando tanpa KTP orang tua.
“Oh
Dina, entah bagaimana caraku membalas jasamu?” kata Bu Pipo dengan suara
bergetar.
2010
“Jadi,
kamu yang mencuri perhiasanku.
Keterlaluan. Padahal kamu sudah
aku anggap saudara sendiri.” Bu Pipo
mengulurkan kalungnya yang secara misterius telah berada di lemari pakaianku.
“Saya
bisa membuktikan bahwa sidik jari saya tak ada di kalung itu. Saya tidak mencurinya,” tegasku sambil menentang mata Bu Pipo. Tak ciut nyali karena merasa benar.
“Omong
kosong, kamu bisa aja pake sarung tangan biar sidik jarimu nggak kelihatan.”
“Bukankah
kamar ibu dilengkapi kamera CCTV? Jadi,
bila saya mengambil perhiasan itu dari lemari, pasti akan ada rekaman
gambarnya. Mari kita saksikan rekaman
CCTV, biar ketahuan pelaku sebenarnya!”
Usulanku
membuat Bu Pipo terdiam. “A..aku
mematikan kameranya.” Bu Pipo terlihat
salah tingkah.
“Yang jelas, kamu harus keluar secepatnya dari
sini! Ini pesangonmu.” Bu Pipo menjatuhkan sebuah amplop putih
panjang di atas tempat tidurku.
Aku
tak bisa berpamitan pada Fernando karena dia sedang pameran lukisan di
Bali. Anak asuhku mulai terkenal. Seminggu yang lalu, sebuah harian lokal
mewawancarainya. Fernando ingin difoto
bersamaku. Dia katakan pada para
wartawan akulah yang berjasa memunculkan bakatnya. Tentu saja aku bangga sekaligus terharu. Kini kebanggan itu berakhir dengan kisah
pilu. Mengapa Bu Pipo seolah memfitnahku?
*****
2015
Bel
tamu berbunyi di pagi buta. Aku
terbangun. Suamiku tersenyum dalam tidur
nyenyaknya. Dia baru pulang kerja pukul
duabelas malam. Aku tak tega mengganggu
tidurnya yang baru beberapa jam saja.
Bel
tamu kian nyaring berbunyi. Aku gamang. Haruskah aku menemui tamu misterius itu
sendirian? Setelah menguatkan diri
dengan menyebut nama Tuhanku, aku melangkah ke ruang tamu. Dengan tangan gemetar, aku menyalakan lampu.
“Siapa
di luar?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Mbak
Dina, ini Ando.” Aku terkejut demi
mendengar suara yang telah amat kukenal.
Sekalipun nadanya lebih berat karena ia telah bertambah usia.
“Ando,
mbak kangen banget sama kamu.” Aku tak canggung memeluk pria muda itu. Di
mataku, Ando tetaplah pemuda cilik berusia sepuluh tahun.
“Ada
tamu ya?” Suamiku terhuyung-huyung
memasuki ruang tamu.
“Kak
Juna, ini Fernando. Yang tempo hari
muncul di TV.”
“Oh,
ini ya anak asuh kesayangan Mbak Dina.”
Suamiku menyalami Fernando sambil menepuk-nepuk punggungnya. “Yang,
buatkan milo hangat untuk kami dong!
Lebih bagus lagi kalau kamu bersedia bikin pasta!”
“Siap
Boss. Ayo Ando, kita langsung aja ke
ruang makan!” ajakku.
Ando terpesona melihat tampilan rumahku. Tentunya dia tak menyangka aku tinggal di rumah layak huni.
“Aku
bersukur Mbak sekarang hidup mapan. Oh
ya, aku dapat alamat Mbak dari oma,” kata Ando setelah mendudukan diri di kursi
makan.
“Oma
banyak berjasa kepadaku. Aku tinggal di
rumahnya waktu pindah dari rumah kalian.
Bantu-bantu usaha Oma sambil melanjutkan kuliah. Sekarang aku kerja di sebuah Bank
pemerintah. Kalau suamiku sih kerja sama
orang asing.” Aku mengedipkan sebelah
mataku pada Kak Juna.
“Ssst,
nanti aja ceritanya. Lapar nih!” Kak Juna memberengutkan bibirnya. Wajahnya terlihat lucu. Aku
terkekeh geli sambil beranjak ke dapur.
“Oh,
nikmat sekali rasanya. Mbak masih pintar
masak seperti dulu,” kata Ando sambil bersandar ke sandaran kursi makan.
“Enak
ya jadi orang terkenal?” tanyaku.
“Justru,
aku terbebani karena harus berbohong pada media massa. Aku bilang orang tuaku yang banyak
berjasa. Padahal, padahal Mbak Dinalah
yang paling berjasa dalam hidupku.” Ando
tak berani menatap wajahku.
Aku
menggenggam tangan Ando. “Tenanglah Nak,
aku tak merasa berjasa kok. Tuhanlah
yang menjadikanmu seperti ini. Aku hanya
perantara.”
“Aku
mau minta maaf untuk kesalahan mama.”
“Kesalahan
apa?” Aku pura-pura tak paham.
“Papa
bilang, mama bermuslihat supaya Mbak keluar dari rumah. Mama cemburu karena Mbak dekat denganku.”
“Aku
justru bersukur atas kejadian itu. Kalau
tidak keluar dari rumahmu, mungkin aku masih jadi pengasuh anak. Maaf, aku tak bermaksud merendahkan profesi
itu. Tapi, aku selalu ingin meningkatkan
kualitas hidup keluargaku. Gaji pengasuh tak cukup untuk biaya kuliah adikku.”
“Berhentilah
menyalahkan diri sendiri, Ando! Tak ada
yang salah dalam kehidupan ini. Hanya
kita yang tak mampu memaknainya.
Percayalah, selalu ada hikmah di balik problema.”
Fernando manggut-manggut. Sedangkan suamiku mengacungkan jempol seraya
tersenyum bangga. Kebanggaan dari
orang-orang tercinta sangat berarti bagiku.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar