Jumat, 09 Oktober 2015

Aksara Tanpa Imaji


Hasil gambar untuk gambar aksara tanpa imaji

Karya Fiksi Fabina Lovers



2015

Pembawa acara usia setengah baya itu membuka acara talkshow yang selalu mendapatkan rating tinggi karena menginspirasi pemirsanya.  

Anak adalah investasi masa depan.  Wajarlah bila orang tua berupaya memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya.  Namun, apa yang anda lakukan bila anak anda menderita disleksia sehingga kesulitan belajar membaca dan menulis?  Apakah anda menjadi putus harapan?  Bintang tamu kita hari ini akan membagikan pengalamannya pada kita tentang cara mendidik seorang penderita disleksia agar mampu membaca dengan baik.  Tak hanya itu saja, orang tua ini pun mampu memunculkan potensi sang penyandang disleksia hingga menoreh berbagai prestasi.  Mari kita sambut, Bapak dan Ibu Pipo Milano.”

Pria tinggi besar nan tampan itu melangkah penuh percaya diri ke panggung.  Ia tersenyum lebar bagai penyanyi pop menghadapi penggemarnya.  Selangkah di belakangnya, seorang wanita mungil berjalan rikuh.  Hampir saja ia menabrak suaminya.   Bu Pipo kerap bertingkah kikuk,  terpuruk di balik bayangan besar suaminya.  Demi melihat mereka, luka lamaku terkuak kembali.

Bip, nada pesan WA mengejutkanku.  Sabar ya Nak.  Tuhan tahu siapa yang berjasa besar.  Tuhan telah membalas kebaikanmu dengan hadiah terindah’ tulis Oma Risma. 

Aku tersenyum.  Oma Risma, ibu kandung Pak Pipo, selalu pandai membaca isi hatiku.

“Kok senyum-senyum sendiri?”  Kak Juna mencium pipiku sebelum duduk di sampingku.  Suamiku memang romantis.

“Tuh ada si bapak.”  Aku mengedikan kepala ke arah televisi.

“Oh mantanmu, ya?”  Kak Juna meringis jahil.

Aku mendelik sewot.  “Enak aja.  Amit-amit deh punya pasangan kayak dia.”

Kak Juna tertawa renyah sambil mengacak-acak rambutku.  “Udah, jangan dendam! Sebaiknya kamu tiru para pahlawan kemerdekaan kita!  Legowo menerima kemiskinan walau sudah berjuang mati-matian demi kemerdekaan Indonesia.  Mereka biarkan orang lain yang menikmati buah perjuangannya.  Korupsi besar-besaran demi kesenangan pribadi.”    

Nah, Kak Juna mulai bicara politik deh.  Aku malas mendengarnya.

“Kata Oma Risma, Tuhan telah memberiku hadiah terindah... ups.”  Aku menutup mulutku yang berhianat.  Lihat, suamiku mulai GR.

“Oma Risma benar.  Akulah hadiah terindah untukmu.”  

“Huuu...”   Aku memonyongkan bibir.  “Hei, Fernando baru muncul tuh.  Aduh, dia lebih jangkung daripada aku.”

Kami menyimak siaran TV sambil berangkulan.

“Pemirsa, pemuda ganteng ini belajar ilmu arsitektur secara otodidak.   Sekarang, beliau dikenal sebagai arsitek muda berbakat yang telah memenangkan berbagai kompetisi arsitektur.   Bung Fernando, siapakah  yang berkontribusi paling besar terhadap keberhasilan Anda?”  Pembawa acara mengalihkan pandangannya pada Fernando.

Kamera menyorot wajah Fernando.  Mantan anak asuhku itu tampak gugup.  “Mmm, saya bersukur punya orang tua hebat.  Merekalah yang menjadikan saya seperti ini,” jawab Fernando sambil menundukan kepala.  Aku tahu, Bapak dan Ibu Pipo telah memaksanya berbohong.
*****

2005

“Anak bodoh, kamu telah mempermalukan orang tua!”  Suara Pak Pipo terdengar sampai ke halaman depan.  Dia sangat marah karena Fernando dikeluarkan dari sekolah.  Bukan karena nakal, tapi para guru tak sanggup lagi mengajarinya membaca dan menulis.  Padahal Fernando telah tiga tahun bermukim di kelas 1 SD.

“Pa, bagaimana kalau kita datangkan guru les aja?  Aku nggak tega liat Fernando  masuk SLB.”  Suara Bu Pipo terdengar seperti cericit tikus.  Perempuan itu tak pernah bisa bersuara normal di hadapan suaminya.

Pak Pipo mendengus.  “Percuma, Ma.  Paling-paling mereka nyerah juga.  Sudahlah, lebih baik kita bangun duapuluh unit rumah kontrakan sebagai bekal masa depan dia.  Ah, untunglah kita masih punya dua orang anak yang bisa dibanggakan.”

Kalimat tajam Pak Pipo mengiris hati Fernando.  Di hadapan kedua orang tuanya, Fernando tertunduk lesu dengan mata berkabut.  Pelampiasan kekesalannya selalu kepadaku.  Ada saja barang-barangku yang rusak.  Seperai, kemeja baru, bahkan pakaian dalamku.  Tapi, aku tak pernah memarahi Fernando.

“Nggak apa-apa.  Mbak tahu Fernando lagi kesal.”

“Aku ini anak nggak berguna.  Lebih baik mati aja.”  Fernando berusaha mencekik lehernya dengan selendangku.

“Jangan Ando, kalau kamu mati Mbak bakal sedih.  Udah dengar cerita tentang Mbah Marni, belum?”

Fernando menggeleng.  Matanya yang berair menatapku penuh harap.  Tak sabar mendengar ceritaku.

“Neneknya Mbak Dina adalah orang terkaya di kampung, walaupun dia nggak bisa baca-tulis.”

“Yang benar, Mbak?”  Fernando mulai tertarik dengan ceritaku.

“Iya, Mbak Dina nggak bohong kok.  Kapan-kapan kamu ikut aku pulang kampung deh.  Biar bisa menyaksikan sendiri kekayaan Mbah Marni.”

“Kok bisa?”

“Mbah Marni ahli meracik obat-obatan dari tumbuhan.  Banyak orang yang berhasil disembuhkannya.  Termasuk seorang pangeran dari negeri seberang.  Pangeran ini menghadiahinya sebidang ladang minyak.  Nah, ladang minyak inilah yang membuat Mbah Marni kaya raya.”

“Ck...ck...ck hebat ya.”

“Walaupun kamu nggak bisa baca-tulis, kamu bisa sukses selama punya keahlian khusus,” pungkasku sambil membelai kepala Fernando.

Anak asuhku tertegun sejenak.  “Apa ya keahlianku?” tanya Fernando setengah berbisik.

“Kamu pintar melukis.  Lihat, Mbak memajang lukisanmu di kamar ini.  Bagus sekali bukan?”  Aku menunjuk sekiling kamarku yang ditempeli lukisan karya Fernando.  Karena tak sanggup membeli pigura, aku melaminating semua lukisan itu.

“Jelek, ah!  Memangnya ada yang mau beli lukisanku?”

“Ayo kita jualan lukisanmu lewat akun facebooknya Mbak Dina!”

Semua lukisan karya Fernando laris terjual setelah aku mengunggahnya di facebook.  Menurut teman-teman mayaku, lukisan Fernando berkesan manis sekaligus misterius.  Mereka tak percaya sewaktu aku beri tahu senimannya masih berumur sepuluh tahun.

Semangat hidup Fernando pulih kembali.  Ia minta dibelikan kanvas, kuas, dan cat air baru pada orang tuanya.  Setelah itu, seluruh waktunya dihabiskan dengan melukis.  Bahkan ia kerap tertidur di hadapan kanvasnya.

Aku pun bersemangat mencari informasi gangguan belajar membaca di internet maupun perpustakaan umum.  Walaupun berstatus pengasuh, aku ini lulusan terbaik dari sebuah SMA ternama di wilayah Banyumas.  Aku tidak bodoh.  Meskipun sering berpura-pura bodoh di hadapan majikanku.

2008

Dari berbagai informasi, aku mengetahui Fernando menderita disleksia.  Orang yang mengalami disleksia berpikir dengan membentuk gambaran di benaknya.  Mereka cenderung berpikir lebih cepat daripada orang-orang yang berpikir dengan kata-kata.  Hal ini bagus, karena beberapa ilmuwan dan seniman terkenal adalah penderita disleksia. Contohnya Albert Einstein, Thomas Alfa Edison dan Leonardo Da Vinci.  Mereka mungkin tak bisa menghasilkan karya fenomenal bila tidak menderita disleksia.

Walaupun pandai, penderita disleksia mengalami kesulitan membaca karena sebuah kata tidak menimbulkan gambaran di benaknya.  Bila terlalu banyak aksara tanpa imajinasi memenuhi otaknya, penderita disleksia akan kehilangan konsentrasi.  Penderita disleksia perlu dilatih mengasosiasikan kata-kata dengan bentuk-bentuk tertentu.  Hingga lambat laun benaknya membentuk imajinasi dari setiap kata yang dibacanya.

Dua tahun lalu, aku mulai melatih Fernando mengasosiasikan sebuah kata dengan benda-benda yang kubuat dari lilin mainan.  Misalnya kata ibu dengan bentuk konde.  Ayah dengan bentuk kumis.  Adik dengan bentuk botol susu.  Usahaku mulai menampakan hasil.

“Papa, Ando sudah bisa baca,” teriak Bu Pipo.  Mata indahnya berkaca-kaca.

“Ada apa sih teriak-teriak?”  Pak Pipo muncul dari ruang perpustakaan sambil mengepit koran di ketiaknya.

“Ando sudah bisa baca majalah anak-anak, Pa.”  Bu Pipo memeluk dan menciumi Fernando.

“Ah, siapa tahu cuma hapalan.  Coba kamu baca ini!”  Pak Pipo membentangkan koran di meja kopi dan menunjuk judul berita berhurup besar yang ada di halaman depan.

“Kebakaran di Senter memakan korban jiwa.” Fernando salah membaca Sunter menjadi Senter. Aku belum pernah membentuk lilin mainan yang mengasosiasikan wilayah Sunter.  Tapi, Pak Pipo mengabaikan kesalahan itu.

“Terima kasih Tuhan, anakku sudah bisa membaca.”  Pak Pipo menepuk-nepuk bahu anaknya.  Fernando nyengir bangga.  Ia belum pernah diperlakukan semanis itu oleh ayahnya.

“Aku diajari Mbak Dina." Penjelasan Fernando membuatku tersipu.

“Oh terima kasih Mbak, gaji Mbak akan kunaikkan dua kali lipat,” janji Pak Pipo.

“Fernando juga sudah bisa cari uang sendiri.”  Aku menunjukan uang dalam amplop yang kusimpan di balik kasurku.  Tak mungkin membuka rekening Bank atas nama Fernando tanpa KTP orang tua.

“Oh Dina, entah bagaimana caraku membalas jasamu?” kata Bu Pipo dengan suara bergetar.

2010

“Jadi, kamu yang mencuri perhiasanku.  Keterlaluan.  Padahal kamu sudah aku anggap saudara sendiri.”  Bu Pipo mengulurkan kalungnya yang secara misterius telah berada di lemari pakaianku.

“Saya bisa membuktikan bahwa sidik jari saya tak ada di kalung itu.  Saya tidak mencurinya,” tegasku sambil menentang mata Bu Pipo.  Tak ciut nyali karena merasa benar.

“Omong kosong, kamu bisa aja pake sarung tangan biar sidik jarimu nggak kelihatan.”

“Bukankah kamar ibu dilengkapi kamera CCTV?  Jadi, bila saya mengambil perhiasan itu dari lemari, pasti akan ada rekaman gambarnya.  Mari kita saksikan rekaman CCTV, biar ketahuan pelaku sebenarnya!”

Usulanku membuat Bu Pipo terdiam.  “A..aku mematikan kameranya.”  Bu Pipo terlihat salah tingkah.

“Yang jelas, kamu harus keluar secepatnya dari sini!  Ini pesangonmu.”  Bu Pipo menjatuhkan sebuah amplop putih panjang di atas tempat tidurku.

Aku tak bisa berpamitan pada Fernando karena dia sedang pameran lukisan di Bali.  Anak asuhku mulai terkenal.  Seminggu yang lalu, sebuah harian lokal mewawancarainya.  Fernando ingin difoto bersamaku.  Dia katakan pada para wartawan akulah yang berjasa memunculkan bakatnya.  Tentu saja aku bangga sekaligus terharu.  Kini kebanggan itu berakhir dengan kisah pilu.  Mengapa Bu Pipo seolah memfitnahku?

*****
2015

Bel tamu berbunyi di pagi buta.  Aku terbangun.  Suamiku tersenyum dalam tidur nyenyaknya.  Dia baru pulang kerja pukul duabelas malam.  Aku tak tega mengganggu tidurnya yang baru beberapa jam saja. 

Bel tamu kian nyaring berbunyi.  Aku gamang.  Haruskah aku menemui tamu misterius itu sendirian?  Setelah menguatkan diri dengan menyebut nama Tuhanku, aku melangkah ke ruang tamu.  Dengan tangan gemetar, aku menyalakan lampu.

“Siapa di luar?” tanyaku dengan suara bergetar.

 “Mbak Dina, ini Ando.”  Aku terkejut demi mendengar suara yang telah amat kukenal.  Sekalipun nadanya lebih berat karena ia telah bertambah usia.

“Ando, mbak kangen banget sama kamu.”  Aku  tak canggung memeluk pria muda itu. Di mataku, Ando tetaplah pemuda cilik berusia sepuluh tahun.

“Ada tamu ya?”  Suamiku terhuyung-huyung memasuki ruang tamu.

“Kak Juna, ini Fernando.  Yang tempo hari muncul di TV.”

“Oh, ini ya anak asuh kesayangan Mbak Dina.”  Suamiku menyalami Fernando sambil menepuk-nepuk punggungnya. “Yang, buatkan milo hangat untuk kami dong!  Lebih bagus lagi kalau kamu bersedia bikin pasta!”

“Siap Boss.  Ayo Ando, kita langsung aja ke ruang makan!” ajakku.

Ando terpesona melihat tampilan rumahku.  Tentunya dia tak menyangka aku tinggal di rumah layak huni. 

“Aku bersukur Mbak sekarang hidup mapan.  Oh ya, aku dapat alamat Mbak dari oma,” kata Ando setelah mendudukan diri di kursi makan.

“Oma banyak berjasa kepadaku.  Aku tinggal di rumahnya waktu pindah dari rumah kalian.  Bantu-bantu usaha Oma sambil melanjutkan kuliah.  Sekarang aku kerja di sebuah Bank pemerintah.  Kalau suamiku sih kerja sama orang asing.”  Aku mengedipkan sebelah mataku pada Kak Juna.

“Ssst, nanti aja ceritanya.  Lapar nih!”  Kak Juna memberengutkan bibirnya.  Wajahnya terlihat lucu.  Aku terkekeh geli sambil beranjak ke dapur.

“Oh, nikmat sekali rasanya.  Mbak masih pintar masak seperti dulu,” kata Ando sambil bersandar ke sandaran kursi makan.

“Enak ya jadi orang terkenal?” tanyaku.

“Justru, aku terbebani karena harus berbohong pada media massa.  Aku bilang orang tuaku yang banyak berjasa.  Padahal, padahal Mbak Dinalah yang paling berjasa dalam hidupku.”  Ando tak berani menatap wajahku.

Aku menggenggam tangan Ando.  “Tenanglah Nak, aku tak merasa berjasa kok.  Tuhanlah yang menjadikanmu seperti ini.  Aku hanya perantara.”

“Aku mau minta maaf untuk kesalahan mama.”

“Kesalahan apa?” Aku pura-pura tak paham.

“Papa bilang, mama bermuslihat supaya Mbak keluar dari rumah.  Mama cemburu karena Mbak dekat denganku.”

“Aku justru bersukur atas kejadian itu.  Kalau tidak keluar dari rumahmu, mungkin aku masih jadi pengasuh anak.  Maaf, aku tak bermaksud merendahkan profesi itu.  Tapi, aku selalu ingin meningkatkan kualitas hidup keluargaku.  Gaji pengasuh tak cukup untuk biaya kuliah adikku.”

“Berhentilah menyalahkan diri sendiri, Ando!  Tak ada yang salah dalam kehidupan ini.  Hanya kita yang tak mampu memaknainya.  Percayalah, selalu ada hikmah di balik problema.”  

Fernando manggut-manggut.  Sedangkan suamiku mengacungkan jempol seraya tersenyum bangga.  Kebanggaan dari orang-orang tercinta sangat berarti bagiku.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar