Cerbung Fabina Lovers
Prolog :
Prakoso meninabobokan bayi dalam
pelukannya. Suaranya terdengar merdu,
meski agak serak. Maklum, lelaki itu
pernah mencari nafkah sebagai penyanyi klub malam sewaktu menjadi mahasiswa.
“Dia sudah tidur, baiknya kau letakan saja di boks bayi,” saran
Gwendoline Prakoso dengan suara dingin.
“Cantik sekali bidadari mungil ini.
Apakah kau tak ingin menciumnya, Gwen?” Prakoso mencium pipi sang bayi sebelum
meletakannya ke dalam boks bernuansa pink.
Alih-alih menjawab, Gwendoline malah meninggalkan kamar sambil
menghentakan kaki. Tingkahnya seperti
bocah perempuan tidak dibelikan berbie.
Prakoso tertawa geli. Dia paham,
Gwendoline cemburu pada sang bayi. Sejak kehadiran bayi perempuan itu, Gwen kekurangan
perhatian dari suaminya. Ah Gwendoline,
perempuan bertubuh sintal yang berjiwa kanak-kanak. Hal itu menumbuhkan jiwa ksatria dalam diri
Prakoso. Lelaki itu ingin melindungi
Gwendoline sepanjang hayatnya.
Dan sekarang, sosok mungil ini pun membutuhkan perlindungan Prakoso. Tanpa sadar, Prakoso menggumamkan puisi karya
William Wordswoth. Puisi sentimental
yang amat disukainya.
The
Rainbow
My heart leaps up when I
behold
A rainbow in the sky;
So was it when my life began;
So is it now I am man;
So be it when I shall grow
old,
Or let me die!
The child is father of the man;
I could wish my days to be
Bound each to each by natural
piety.
Sepasang mata Prakoso berkabut sewaktu mengucapkan larik ‘The child is
father of the man’. Telah lama ia
ingin menjadi seorang ayah. Kini,
cita-citanya terwujud.
“Cepatlah besar, Nak. Akan
kutunjukan padamu keindahan pelangi. Kita
akan menari di bawah pita warna-warni hingga senja menguncup.” Prakoso
berbisik pada bayinya.
BAB I : Beo Peramal
Prakoso selalu berkata, Minny terlahir ke dunia tatkala alam berpesta. Waktu itu pepohonan maple memamerkan aneka
warna daunnya : hijau, merah, jingga, hingga kuning keemasan. Langit warna biru keunguan menaungi seluruh
kota. Musik bernada riang menghangatkan
alun-alun kota dimana penduduk bercengkerama bersama keluarga atau
pasangannya. Semuanya bergembira, seolah tak pernah berkubang derita.
“Kamu bayi tercantik yang dilahirkan di klinik Dokter Marry,” puji Prakoso.
“Tentu saja paling cantik, dia satu-satunya bayi perempuan yang
dilahirkan saat itu,” sergah Gwendoline Prakoso yang sedang membuka pintu oven.
“Oh Tuhan, mengapa aku tak pernah menghasilkan pie berwarna keemasan? Selalu saja gosong.” Gwendoline membanting loyang pie ke meja
dapur. Ia tampak putus asa.
Prakoso menghampiri istrinya, lalu memeluknya. “Sudahlah Gwen, aku nggak
pernah menuntutmu jadi koki keluarga.
Bagaimana kalau kita makan siang di luar?”
“Tapi, aku belum menyelesaikan Bab Sepuluh. Aku masih bingung, apakah Sandra akan menikahi
Harvey atau belajar seni rupa di Paris?”
Gwendoline memandangi halaman belakang melalui jendela dapur. Entah apa yang dipandanginya, bedeng tanaman
blueberry atau tali jemuran?
Prakoso mengangkat bahu seraya melangkah ke pintu. “Well,
selamat bermesraan dengan tokoh novelmu.
Kami akan makan siang di luar.
Ayo Minny, segera pakai mantelmu! Suhu di luar mulai dingin. Aku nggak mau kamu jadi Ratu Es seperti dalam
dongeng Andersen.”
Minny buru-buru mengenakan mantel berbunga pink yang serasi dengan warna
pipinya. Rambut cokelatnya berkuncir satu
dengan hiasan pita warna merah. Dia
tampak seperti Cinderella, cantik sekaligus rapuh.
“Sayangku, tampaknya beberapa
tahun lagi aku harus menyewa bodyguard
untuk melindungimu dari pria-pria iseng,”seloroh Prakoso.
“Oh Pras, jangan kau puji terus anakmu.
Dia bisa tumbuh jadi gadis congkak!”
Nada bicara Mrs. Prakoso terdengar sinis. Sejenak Minny merasa dirinya bukan anak
kandung wanita berbibir sensual itu.
“See you Gwen. Kami akan kembali ke rumah sekitar jam lima sore. Aku ingin membawa Minny ke perpustakaan
kota,” kata Prakoso sambil menggandeng anak gadisnya.
Prakoso dan Minny menikmati makan siang di sebuah restoran Italia. Lelaki gagah itu memesan pizza daging asap dan limun jahe, sedangkan
bidadari kecilnya memesan pasta saus bolognese dan english tea hangat. Sebagai
pencuci mulut, mereka sepakat memesan
puding cokelat saus jeruk. Usai menikmati makan siang, mereka bertukar
cerita. Minny menceritakan kenakalan
teman lelakinya di sekolah, sedangkan Prakoso mengenang masa kecilnya di Indonesia.
“Hah, Papa berjalan kaki ke sekolah tanpa sepatu? Apa kakinya nggak sakit?” Minny membelalakan bola matanya yang berwarna
cokelat.
“Tidak, kami telah bertelanjang kaki sejak bayi. Bagi orang miskin macam kami, sepatu adalah
barang mewah.”
“Apakah orang-orang di Indonesia makan nasi setiap hari?” Minny
mengalihkan topik pembicaraan karena tak tahan mendengar penderitaan ayahnya sewaktu
kecil.
“Hanya orang kaya yang makan nasi dari beras. Kami,
masyarakat miskin pedesaan, umumnya makan nasi tiwul.”
“Nasi tiwul?”
“Tiwul adalah olahan tepung singkong yang berbutir-butir seperti nasi.”
“Memangnya harga singkong lebih murah daripada beras?”
“Kami nggak pernah beli singkong, hampir semua penduduk menanamnya di pekarangan
rumah.”
“Oh gitu ya Pa, pasti rasa singkong nggak enak.”
“Siapa bilang? Seandainya saat ini
ada yang berjualan singkong, pasti papa beli, berapa pun harganya.”
Agaknya malaikat mendengar pernyataan Prakoso. Tiba-tiba, duduklah seorang wanita berwajah melayu di samping Minny. Rambut wanita itu bercat silver. Kepalanya berkilauan saat diterpa cahaya
lampu.
“Selamat siang, Anda dari Indonesia?” tanya wanita itu pada Prakoso.
“Tebakan Anda amat jitu. Senangnya
bertemu rekan sekampung di negara dingin ini.”
Prakoso menyalami wanita itu seraya tersenyum lebar. Tak lama kemudian, mereka berbincang dalam
bahasa yang tidak diketahui Minny. Gadis
itu seolah tersesat di planet asing.
“Please Pa, berbicaralah dalam
Bahasa Inggris!” seru Minny ketika Prakoso dan wanita asing itu telah
bercakap-cakap selama sepuluh menit.
Sepuluh menit yang membosankan.
“Maaf Bu, aku melupakan gadisku.”
Kali ini Prakoso berbahasa Inggris.
“Cantik sekali kamu, Nak. Siapa
namamu? Oh ya, namaku Indira Subagyo,
kamu bisa memanggilku Indi.” Wanita
berwajah melayu itu menyentuh lembut lengan Minny.
“Namaku Minneapolis Prakoso, semua orang memanggilku Minny.”
“Well Pras, tampaknya Kota Mineapolis sangat mengesankan
kalian.” Indi mengedipkan sebelah
matanya.
“Aku dan Gwen bertemu di Universitas Minneapolis. Kami bertarung dalam acara debat kampus. Pertarungan itu ternyata berlanjut hingga
keluar ruangan debat.“ Prakoso terdiam
sejenak.
“Dan kalian memutuskan untuk menikah?” tanya Indi.
“Sampai sekarang, aku masih takjub
bila menyadari kami telah menikah selama tigabelas tahun.” Prakoso tersenyum sambil menggelengkan
kepala.
“Berbicara tentang singkong, aku punya banyak olahannya di rumah. Sudikah kalian mampir ke rumahku?” Indi
menatap pasangan bapak-anak itu dengan bola mata berbinar.
Prakoso melirik jam tangannya.
“Oke, dimana rumahmu? Jauhkan dari sini?
Kami berjanji tiba di rumah pukul lima sore,” kata Prakoso.
“Nggak jauh kok, hanya beberapa blok dari restoran ini. Bisa ditempung dengan berjalan kaki. Kalian nggak akan terlambat sampai di rumah.”
“Kalau begitu, kita bisa segera ke rumahmu.” Prakoso bangkit dari kursinya, diikuti oleh
Minny dan Indi. Mereka langsung
meninggalkan restoran karena telah membayar bon makanan usai pemesanan.
Rumah Indi terletak di sebuah lahan seluas setengah acre, berhadapan dengan
perpustakaan kota. Halamannya
berantakan. Rerumputan tumbuh tak
beraturan. Semak-semak Hibiscus menjulang setinggi dada orang
dewasa.
“Tukang potong rumput langganan kami sedang sakit, dan aku tak mungkin
merapikan halaman ini sendirian.
Tanganku terserang rematik,” jelas Indi, santai.
Prakoso menepuk lembut punggung Indi.
“Jangan khawatir, kami tak pernah mempermasalahkan hal kecil. Nyonya rumah yang hangat dan bersahabat sudah
cukup bagi kami.”
Indi tampak terharu mendengar pernyataan Prakoso. “Oh Pras, manis sekali
kamu. Pasti menyenangkan punya suami
seperti kamu.”
Prakoso mengangkat bahu. Wajahnya mendadak muram. “Hm, tidak semua wanita berpikiran begitu.”
Saat Indi membuka pintu depan, seekor beo terbang, dan hinggap di bahu
Indi. Burung berbulu hitam itu mematuk-matuk
telinga Indi hingga menyadari kehadiran
Prakoso dan anaknya.
“Keluarga bahagia. Aku melihat
keluarga bahagia.” Unggas itu berceloteh
riang di atas pundak Indi.
“Diam, Borneo. Ramalanmu
ngaco.” Indi menepuk kepala si beo. Pipinya merona.
“Memangnya burung itu pandai meramal, ya?” tanya Minny.
“Masuklah dulu, banyak hal yang ingin kuceritakan.” Indi membentangkan pintu depan rumahnya. Sementara Borneo terbang kembali ke sangkarnya.yang dibiarkan terbuka.
Tak seperti bagian luarnya, bagian dalam rumah Indi tertata rapi. Lukisan-lukisan bertema batik menghiasi
dinding ruangan, juga dinding di sebelah tangga menuju lantai dua. Minny dan ayahnya menduduki sofa nyaman dengan
bantal-bantal kursi bermotif songket Palembang.
“Aku jadi kangen Indonesia,” ujar Prakoso seraya mengamati perabotan
ruang tamu.
“Tunggu ya, aku akan menyajikan camilan khas Indonesia untuk kalian.”
Indi menghampiri lemari dapur, lalu mengeluarkan sebuah toples
berselubung manik-manik khas Kalimantan.
Ia juga membuat sirup berwarna jingga yang belum pernah dicicipi Minny.
“Cobalah Minny, ini keripik singkong dan sirup markisa. Dulu, anak gadisku amat menyukainya.” Indi membukakan tutup toples bagi Minny.
Minny mengambil sekeping keripik singkong, mengamatinya sejenak, lalu
menggigitnya. “Yummy, enak sekali, rasanya mirip keripik kentang,” puji
Minny. Gadis kecil itu tanpa sungkan
memenuhi piring kertas dengan keripik singkong untuk dinikmati.
“Ambillah sesukamu, aku punya banyak kok,” ujar Indi sambil tersenyum
senang.
“Kamu punya apa lagi?” tanya Prakoso.
“Mau coba tiwul instan? Aku punya
bermacam rasa. Ada rasa cokelat, pandan
dan nangka. Kamu mau rasa apa?”
“Aku mau coba rasa nangka. Ehm,
untuk minumannya aku minta Kopi Aceh?”
“Ini minta atau merampok, ya?” Indi menatap Prakoso dengan sorot mata
jenaka.
“Aku ingin merampok seluruh rumah ini berserta hatimu.” Prakoso balas
menatap Indi dengan sorot mata jenaka.
“Huh, gombal. Oke, aku mau
menyiapkan hidangan pesananmu. Tapi, jangan lupa bayar makanannya sebelum
pulang, ya.” Indi mengedipkan sebelah
matanya sebelum beranjak ke dapur.
Sejurus kemudian, Indi menghampiri mereka sambil menanting baki berisi
sepiring tiwul panas dan secangkir kopi yang mengepulkan aroma nikmat.
“Oh Indi, rasanya seperti diterbangkan ke bulan,” desah Prakoso setelah menandaskan hidangan
khas Indonesia itu. Ia bersendawa keras sambil
menyandarkan diri ke bantalan sofa.
“Oh Pras, kamu persis mendiang ayahku.”
Indi memandangi lukisan seorang lelaki gagah berkopiah hitam dengan
wajah berbinar.
Prakoso ikut-ikutan memandangi lukisan itu. “Wajah ayahmu mirip seseorang yang aku
kenal,” kata Prakoso.
“Tentu saja, ayahku keturunan
salah seorang proklamator kita,” jelas Indi dengan suara bergetar.
Prakoso terperanjat. “Apa aku
salah dengar?”
“Kamu tak salah dengar. Baiklah,
aku akan menceritakan sedikit riwayat hidupku.”
Indi menangkupkan tangan di bawah dagu dan mulai bercerita.
Wulan berwajah ayu, dan luwes menarikan aneka tarian tradisional. Karenanya, ia terpilih menjadi penari istana era
orde lama. Banyak pria menaruh hati
padanya, tapi Wulan telanjur jatuh dalam pesona Sang Pimpinan Tertinggi
Revolusi. Ah, wanita mana yang sanggup
mengabaikan pesona beliau?
Awalnya, mereka hanya berjalan-jalan di sekitar taman istana selepas
acara kenegaraan. Hingga suatu hari,
sang proklamator melamar Wulan. Sang
gadis ayu menerima lamarannya dengan
sukacita. Ia tak memedulikan kondisi
laki-laki itu yang telah memiliki beberapa orang isteri, dan berusia sebaya
bapaknya.
Setahun setelah pernikahan mereka, Wulan melahirkan seorang bayi
laki-laki yang diberi nama Subagyo. Tak
lama kemudian, terjadi Pemberontakan G30S PKI.
Sang proklamator meminta kenalannya untuk melarikan Wulan ke
Amerika. Keselamatan Wulan terancam
karena ia merupakan anggota kelompok
kesenian yang berafiliasi dengan PKI.
Sejak saat itu, Wulan tak pernah berjumpa lagi dengan suaminya. Ia mendengar kabar kematian suaminya saat
menari di sebuah pub. Wanita rupawan itu
terus menari dengan airmata bercucuran.
Subagyo kecil diterbangkan kembali ke Indonesia saat ibunya meninggal
akibat penyakit diabetes. Dia tinggal di
Yogyakarta bersama neneknya sampai berumur delapan belas tahun. Setamat SMA, Subagyo merantau ke
Jakarta. Ia mencoba peruntungannya di
bidang perfilman. Awalnya Subagyo
hanyalah asisten produksi yang bertugas menggulung kabel atau membuatkan
kopi. Beberapa tahun kemudian, kariernya
meningkat, ia menjadi Asisten Sutradara.
Winona Maranatha, salah satu aktris pendatang baru di kancah perfilman Indonesia, terlibat
dalam film arahan Subagyo. Sebagai pria bernaluri seni, Subagyo segera
menyadari bahwa Winona tak berbakat akting.
Gadis itu hanya mengandalkan kemolekan wajahnya.
“Rese banget sih!” hardik Winona.
Ia murka karena Subagyo menghentikan adegan yang diperankannya sebanyak
sepuluh kali.
“Kalau begini terus, lebih baik aku
mundur saja!” Winona meninggalkan
mereka sambil menangis.
“Jangan terlalu idealis, Sob.
Gadis itu telah mengeluarkan akting terbaiknya,” nasehat Suhdi, sang sutradara.
“Hah, akting bagus apaan? Menurutku, dia berakting kayak bintang ‘film
biru’. Aku curiga, kamu membela dia
karena takut kehilangan uang bapaknya,
ya?” tuduh Subagyo. Sorot matanya
membara.
“Sejujurnya, iya. Kita nggak bisa
meneruskan produksi film ini tanpa uang ayahnya,” jawab Suhdi sambil menundukan
kepala.
“Dasar dedengkot nepotisme! Biar
aku saja yang keluar. Kamu bisa cari
asisten lain.” Subayo mengambil jaketnya
yang tersampir di kursi sutradara, dan berlalu dari hadapan Suhdi.
Beberapa hari kemudian, seseorang mengetuk pintu kamar kost Subayo. Alangkah terkejutnya Subagyo ketika melihat
Winona berdiri di depan kamarnya.
“Boleh aku masuk?” tanya Winona dengan suara memelas.
“Jangan, kamarku pengap dan berantakan.
Kita bicara di warteg saja.”
Subgyo meraih dompetnya, mengunci pintu kamar, lalu menggandeng Winona
menuju warteg yang terletak di depan gang sempit.
Penampilan Winona bertolak belakang dengan pemandangan warteg. Pakaiannya mahalnya, wangi parfumnya, membuat warteg itu terlihat
duakali lipat lebih kumuh. Tak
mengherankan bila Winona menolak semua makanan warteg. Hanya Subgyo yang memesan kopi dan mie
instan.
“Jadi, kamu mau menyerahkan surat
pemecatanku?” seloroh Subagyo.
“Kebalikannya, aku ingin kamu kembali.
Biar aku saja yang berhenti main film.
Kata ayahku, kamu dan Suhdi adalah sutradara bertangan dingin. Film-film besutan kalian selalu laris di
pasaran.”
“Baguslah, akhirnya kamu sadar diri,” kata Subagyo sambil menyeruput
kopi.
“Ya, aku memang nggak berbakat main film.
Lebih baik, aku melanjutkan sekolah bisnis di Amerika, biar dapat ilmu untuk
mengembangkan perusahaan film keluarga kami,” tegas Winona.
Subagyo menatap Winona penuh kekaguman.
Tiba-tiba saja mereka berpelukan.
Pelayan dan segenap pengunjung warteg
lainnya berseru protes. “Nggak
sopan, nggak sopan.” Sementara kedua
pemuda kasmaran itu seolah tuli.
“Ah Subagyo, jaketmu bau sekali.
Pasti jarang dicuci.” Winona
melepaskan diri dari pelukan Subgyo sambil mengernyitkan hidungnya.
Subagyo tertawa sumbang. “Jelas
saja, nggak ada perempuan yang mengurusiku sih.”
Winona pun terjebak dalam perangkap Subagyo. “Mulai sekarang, aku akan mengurusmu,” tandas
Winona.
“Deal?”
“Deal.” Winona menautkan kelingkingnya
ke jari Subagyo, wujud komitmen mereka
untuk perpacaran.
Indi berhenti bercerita untuk mereguk sirup markisa. Bicara berkepanjangan membuat kerongkongannya
kering.
“Jadi, Subagyo dan Winona akhirnya menikah?” tanya Minny, penasaran.
“Tentu saja, Sayang. Akulah anak
mereka,” jawab Minny sambil mengelus kepala Minny.
“Mengapa mereka pindah ke Amerika?” Minny kembali bertanya.
Prakoso melihat jam tangannya. “My God, sudah hampir pukul lima. Kita harus segera pulang. Kalau kita telat, ibumu akan marah.” Prakoso buru-buru menghampiri lemari penyimpanan mantel yang terletak di sisi pintu ruang tamu.
Ia membantu Minny memakai mantel, lalu memakai mantel miliknya.
“See you Indi, suatu saat kami akan mengunjungimu lagi,” pamit Prakoso.
“Good bye Indi.” Minny mencium pipi Indi sebelum mengikuti
ayahnya keluar rumah. Gadis itu menyukai
Indi. Ia berharap Indi dapat menjadi sosok ibu yang diinginkannya.
Mereka tiba di rumah saat bel berdentang empat kali. Rupanya baru pukul empat sore. Jam Prakoso lebih cepat satu jam karena ia
baru saja mengunjungi negara bagian dengan zona waktu berbeda.
“Aha, kita terlalu cepat sampai di
rumah. Baiklah, kita kejutkan saja
ibumu. Dia pasti sedang menulis di
lantai atas,” usul Prasetyo.
Mereka mengendap-endap ke dalam rumah, lalu menaiki tangga menuju lantai
atas. Minny menutup mulutnya untuk
menahan tawa. Keisengan macam ini amat
menggairahkannya.
“Lho, ibumu kok nggak ada di tempat biasa?” tanya Prakoso sewaktu
mendapati ‘sudut Gwen’ kosong.
“Mungkin ibu sedang tidur di kamar.
Kita ke kamarnya saja, yuk,” ajak
Minny.
Gadis itu berjalan mendahului ayahnya ke kamar utama. Setibanya mereka di muka pintu kamar, terdengar jeritan Gwendoline. Prakoso menumbuk pintu kamar dengan
bahunya. Pintu kamar terlepas dari engselnya hingga tampaklah pemandangan dramatis dalam kamar utama. Pemandangan yang tak akan pernah dilupakan
Minny seumur hidupnya.
-Bersambung-
Keterangan :
1 acre = 4000 m2 (ukuran luas di negara barat)
Hibiscus = kembang sepatu.
1 acre = 4000 m2 (ukuran luas di negara barat)
Hibiscus = kembang sepatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar