Senin, 29 September 2014

Penjaga Keluarga

Karya Fiksi oleh Fabina Lovers.

 

Selimut kelam kian rapat menyelubungi bumi.  Nyanyian fauna malam mengalun syahdu.  Kerlip lampu-lampu di perumahan bagai kunang-kunang aneka warna.  Dalam keremangan lampu teras, Omah melepas penat  sembari menikmati irama malam.  Segenap inderanya dimanjakan kemewahan alam.  

Di usia menjelang tujuhbelas tahun, Omah ditahbiskan menjadi tulang punggung keluarganya.  Sebelum subuh Omah sudah bangun dari tidurnya yang tak nyenyak.  Setiap 3 jam, Omah harus bangun untuk mengubah posisi berbaring Nininya yang lumpuh. Selepas menjalankan ibadah tahajud, ia menyalakan tungku sambil menanak nasi di magic com.  Bila api di tungku sudah menyala, ia mulai menyiapkan masakan untuk hari itu.  Menu andalan keluarga Omah sebagaimana yang biasa dikonsumsi kaum marginal, seperti : sayur bening, goreng rebon dan tahu-tempe. 

Sebenarnya proses memasak bisa lebih cepat andai Nininya tidak menjual kompor dan tabung gas bantuan pemerintah.  Menurut Nini, harga gas isi ulang mahal, lebih elok memakai kayu bakar yang mudah diperoleh di lingkungan mereka.

Seusai memasak, Omah menata makanan di meja dapur untuk kedua adiknya. Kemudian ia memandikan dan menyuapi Nininya yang telah dua tahun lumpuh akibat stroke.   Butuh kesabaran tak bertepi untuk membuat Nini menghabiskan sarapannya.  Setiap hari Nini mengkritisi menu sarapannya yang hambar. 

"Umur Nini nggak akan lama lagi, jangan-jangan Nini keburu mati sebelum bisa makan enak,” keluh Nini.

“Nini jangan putus asa, kita jalani saja saran pak mantri.  Bila Nini rajin minum obat, dan tidak melanggar pantangan, insya Allah tekanan darahnya normal lagi.   Nah kalau tekanan darah Nini sudah normal,  Omah belikan sate deh,” janji Omah sambil memijit lembut lengan keribut Nininya.  

“Bagaimana kalau Omah nyanyikan Pandangan Pertama?”

Nini senang mendengar  Omah bernyanyi dangdut.  Suaranya tinggi dan  meliuk indah pada refrain lagu.  Nini acap kali menangis ketika Omah menyanyikan tembang lawas milik Almarhum  A. Rafiq.  Mungkin Nini teringat almarhum ayah omah, penggemar setia A. Rafiq.  Setelah mendengar lagu A.Rafiq, Nini  akan bermonolog dengan suara pelo akibat serangan strokenya :

"Bapa kamu teh salaki pang bageurna.   Bapa yang mengurus rumah tangga sewaktu Umi kalian kerja di Saudi.  Alasannya  mah cari uang banyak untuk kepentingan keluarga.  Deuh, mana buktinya?  Pulang dari Saudi dia malah minta cerai.  Dasar, awewe bedegong!  Nini yakin, Bapamu meninggal karena patah hati.  Da ... Bapa teh cinta mati sama Umi kamu.”

Kemudian Nini mulai menangis dan Omah  terdiam sambil memilin ujung lengan bajunya.  Omah tidak mungkin menghujat Uminya.  Omah tahu, Umi telah menyesali perbuatannya.  Setahun terakhir  ini, Umi mengiriminya uang sebulan sekali melalui Bi Juang.  Pemberian Umi itu digunakan Omah untuk biaya pengobatan Nini serta keperluan sekolah adik-adiknya.  

“Umi sengaja lembur supaya bisa kirim uang untuk kalian,” cerita Bi Juang, rekan kerja Umi di pabrik sepatu. Tentunya Omah tidak memberitahukan Nini perihal pemberian itu.  Nini tak akan sudi menerima uang dari perempuan yang paling dibencinya.

“Tapi,  Nini bersyukur punya cucu yang baik seperti kamu, Omah.  Semoga kamu kelak dapat suami yang soleh, sayang keluarga dan  bergaji besar.  Jadi, kamu nggak perlu capek kerja seperti sekarang.”

Pukul tujuh kurang seperempat, Omah mempersiapkan diri berangkat kerja. Omah bekerja sebagai asisten rumah tangga di sebuah perumahan yang jaraknya hanya 10 menit berjalan kaki dari rumahnya.   Tepat Jam tujuh pagi, dia harus sudah sampai di rumah majikannya.  Majikan Omah sepasang kakak beradik yang baik hati.  Rumah mereka letaknya berhadapan.

Sesampainya di rumah Bu Prapti, majikan kakak, Omah merapikan rumah sambil mencuci pakaian di mesin.  Setelah menjemur cucian, Omah berpindah ke rumah Bu Asti, majikan adik.   Di sana Omah mencuci sambil merapikan rumah Bu Asti.  Tugas mencuci dan membersihkan dua  rumah tangga selesai pukul 11.00.  Omah pulang  untuk mengganti pempers Nini, mengubah posisi berbaringnya agar Nini nyaman,  menyuapi dan memberinya obat siang.  Pukul 14.00, Omah kembali ke rumah kedua majikannya untuk mengangkat pakaian kering dan menyetrika.

Kesibukan Omah berlangsung  hingga bedug maghrib.  Selepas solat maghrib, Omah mengelap tubuh ringkih Nini, mengubah posisi berbaringnya,  menyuapi dan memberinya obat malam.  Kemudian Omah mengaji sambil menunggu bedug isya.   Nini menikmati qiroah Omah nan mendayu sambil berbaring di kursi malas.  Terkadang Nini tertidur di kursinya.  Setelah sholat Isya, Omah dan kedua adiknya membopong tubuh ringkih Nini ke kamar tidur.  Nini tidak pernah tidur lewat dari jam setengah delapan malam.  Bila Nini sudah tidur, Omah pun menikmati waktu luangnya di beranda.

Demikianlah keseharian Omah.   Kegiatan rutin yang berlangsung pada waktu dan tempat yang sama.  Anehnya, Omah tidak pernah bosan dengan rutinitas melelahkan itu.

Penghasilan Omah sebagai Asisten di dua rumah tangga tidaklah besar.  Dari Bu Prapti, Omah mendapatkan penghasilan Rp. 400.000 per bulan, sedangkan Bu Asti menggajinya sebesar Rp. 15.000 per hari.  Penghasilan harian digunakan Omah untuk berbelanja kebutuhan dapur.  Sedangkan penghasilan bulanan untuk membayar tagihan listrik dan membeli kebutuhan pokok.

Walaupun penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga, namun Omah selalu bersyukur atas keberkahan hidupnya.  Ia memiliki Umi dan Nini yang menyayanginya.  Adik-adik Omah rajin membantu pekerjaan di rumah.  Mereka menghormati Omah.   Bila Omah membutuhkan dana darurat., majikannya selalu siap membantu.   Maka, nikmat apakah yang hendak ia dustakan?

Kebahagiaan Omah pernah mendapat ujian.  Suatu hari,  ‘virus’ bernama Saijah merusak kesehatan mental Omah.             

“Ha...ha...ha...hari gini belum pernah ke mall?” Saijah tertawa mengejek sembari memegangi perutnya yang terbalut kemeja ketat.

Kesibukan siang membuat Omah  melupakan ejekan Saijah.  Namun, tatkala malam menjelang,  ejekan itu seolah berdesau seiring gemerisik dedaunan nan diterpa angin. Omah terpaksa mengakui fakta itu,  dia belum pernah ke mall seperti kebanyakan remaja kampungnya.

Rekreasi adalah sesuatu yang mustahil bagi Omah. Gajinya habis untuk membiayai kebutuhan keluarganya.  Jangankan untuk rekreasi,  mempercantik diri saja Omah tak mampu.   Omah mulai memikirkan segala hal yang tidak dimilikinya.

Semenjak malam itu, Omah  terpuruk dalam derita.  Gurat kesedihan terpampang nyata di wajahnya. Napsu makan Omah menghilang hingga tubuhnya mengurus.  Nini lantas menuduh Omah tak rela menjadi tulang punggung keluarga.

"Bukan begitu, Ni,” kata  Omah sambil menangis. “Omah...ingin ke mall seperti teman-teman.”   Omah terpaksa jujur agar Nini tidak salah duga.

“Masya Allah...jadi hanya karena itu ya?  Kamu ingin ke mall tapi  nggak punya uang?”  Itu mah kecil,  Omah! Butuh sabaraha? Limaratus ribu, mahi?”  Nini memandangi Omah dengan tatapan menantang.

Omah menelan ludah.  Dia hendak bertanya bagaimana mendapatkan uang  hampir setara gajinya per-bulan itu? Tapi, ia khawatir pertanyaannya menyinggung perasaan Nini.

Nini tersenyum misterius,  mengeluarkan saputangan dari balik kutangnya,  lalu membukanya dengan takzim.  Omah terbelalak takjub melihat lembaran-lembaran ratusan ribu terlipat rapi dalam sapu tangan bercorak batik itu.  Nini mengangsurkan lima lembar untuk Omah.  Ternyata masih tersisa sekitar sepuluh lembar di lipatan sapu tangan Nini.

"Nini selalu mengumpulkan uang dari  orang-orang yang kasih sedekah,” jelas Nini sambil menjejalkan lima lembar ratusan ribu itu ke dalam genggaman Omah.  “Terimalah pemberian kecil ini.  Jadi,  jangan sedih lagi ya!  Minggu besok,  pergilah ke mall sama sobatmu si Siti.  Seharian juga boleh.  Tak perlu mengkhawatirkan Nini!   Bik Entim pasti mau menggantikanmu mengurus Nini.”

Minggu pagi itu adalah hari yang bersejarah dalam hidup Omah.  Untuk pertama kalinya, Omah bepergian keluar kampung ditemani sahabat tercinta.   Rencananya mereka akan menonton pertunjukan grup band lokal di lantai dasar mall, belanja titipan Nini, lalu makan di pujasera.

Omah belum pernah keluar dari kampungnya yang terletak di bantaran Kali Ciapus.  Keluarga Umi maupun Bapanya tinggal di kampung itu.  Jadi, saat lebaran Omah tak perlu menyambangi keluarganya keluar kampung.  Sebenarnya sewaktu  kelas VI SD, Omah hampir saja bepergian keluar kampung.    Dia berniat rekreasi ke Ancol bersama teman satu sekolahnya.   Pada hari keberangkatan,  Omah disusul  ke sekolah oleh adiknya. Kata adiknya,  Bapa mereka sakit keras.  Omah pun membatalkan kepergiannya.    Ternyata, Bapa mereka wafat saat Omah tiba di rumah.  Semenjak  Bapanya tiada, Omah tak berkesempatan lagi bepergian keluar  kampungnya.

Waktu terasa cepat berlalu saat kita bahagia.  Jam di HP Siti sudah menunjukan pukul 15.00,   namun Omah masih bersemangat mengelilingi mall megah yang populer di kalangan remaja Kota Bogor.  Tiba-tiba, nada pesan singkat di HP Siti berbunyi.   Setelah membaca pesan yang masuk, Siti tampak panik.  “Omah, pulang yuk! Ninimu...Ninimu pingsan.”

Omah menjerit tertahan.  Ia bersegera menyeret Siti menuju pintu keluar mall.  Untunglah ada ojeg, hingga belasan menit kemudian mereka telah sampai ke rumah Omah. 

Omah melihat para tetangga memenuhi beranda rumah kecilnya.  Firasat buruk menyergapnya.  “N..I...N...I. !” jerit Omah seraya menyibak kerumunan orang di depan pintu rumahnya.  Pandangan Omah kabur oleh air mata.  Sesuatu yang pernah hadir dalam mimpi buruknya kini menjadi kenyataan.  

“Nini...maafkan Omah, harusnya Omah nggak  jalan-jalan hari ini,” ratap Omah.

“Sabar ya, Neng! Terimalah takdir Yang Kuasa dengan ikhlas.  Bersyukurlah, Ninimu pergi dalam keadaan bahagia.  Tadi Nini sempat berkata pada Bibi, bangga bisa mengongkosimu ke mal,”  hibur Bi Entim sambil memeluk Omah.

Omah memandangi wajah Nini dari balik bahu Bi Entim.  Wajah almarhum cerah berseri.   Senyum Nini, laksana ukiran indah terpahat di bibir pucatnya.  Itulah senyum  termanis Nini yang pernah Omah lihat. 

Senyum terakhir Nini membulatkan tekad Omah untuk tidak berekreasi lagi keluar kampungnya.  Omah khawatir hal buruk  menimpa keluarganya bila ia berlama-lama meninggalkan rumah.  Dia yakin, Sang Pemberi Hidup  telah memilihnya sebagai penjaga keluarga merangkap pencari nafkah.  Bukankah pak kyai pernah berpetuah bahwa berjerih dalam mencari nafkah adalah penghapus dosa.

Bogor,  Oktober 2013

Keterangan :
Nini    = nenek
Salaki pang bageurna  =  Suami paling baik          
Awewe bedegong  = Perempuan yang susah dinasehati
Sabaraha   =  Berapa
Mahi    =  Cukup
Neng   = Panggilan untuk anak perempuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar