Karya Fiksi oleh Fabina Lovers.
Selimut kelam kian
rapat menyelubungi bumi. Nyanyian fauna
malam mengalun syahdu. Kerlip
lampu-lampu di perumahan bagai kunang-kunang aneka warna. Dalam keremangan lampu teras, Omah melepas
penat sembari menikmati irama
malam. Segenap inderanya dimanjakan
kemewahan alam.
Di usia menjelang tujuhbelas tahun, Omah ditahbiskan menjadi tulang punggung keluarganya. Sebelum subuh Omah sudah bangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Setiap 3 jam, Omah harus bangun untuk mengubah posisi berbaring Nininya yang lumpuh. Selepas menjalankan ibadah tahajud, ia menyalakan tungku sambil menanak nasi di magic com. Bila api di tungku sudah menyala, ia mulai menyiapkan masakan untuk hari itu. Menu andalan keluarga Omah sebagaimana yang biasa dikonsumsi kaum marginal, seperti : sayur bening, goreng rebon dan tahu-tempe.
Sebenarnya proses memasak bisa lebih cepat andai Nininya tidak menjual kompor dan tabung gas bantuan pemerintah. Menurut Nini, harga gas isi ulang mahal, lebih elok memakai kayu bakar yang mudah diperoleh di lingkungan mereka.
Seusai memasak, Omah
menata makanan di meja dapur untuk kedua adiknya. Kemudian ia memandikan dan menyuapi
Nininya yang telah dua tahun lumpuh akibat stroke. Butuh kesabaran tak bertepi untuk membuat Nini
menghabiskan sarapannya. Setiap hari Nini
mengkritisi menu sarapannya yang hambar.
"Umur
Nini nggak akan lama lagi, jangan-jangan Nini keburu mati sebelum bisa makan
enak,” keluh Nini.
“Nini
jangan putus asa, kita jalani saja saran pak mantri. Bila Nini rajin minum obat, dan tidak
melanggar pantangan, insya Allah tekanan darahnya normal lagi. Nah
kalau tekanan darah Nini sudah normal, Omah
belikan sate deh,” janji Omah sambil memijit lembut lengan keribut Nininya.
“Bagaimana kalau Omah nyanyikan Pandangan
Pertama?”
Nini senang mendengar Omah bernyanyi dangdut. Suaranya tinggi dan meliuk indah pada refrain lagu. Nini acap kali menangis ketika Omah menyanyikan
tembang lawas milik Almarhum A.
Rafiq. Mungkin Nini teringat almarhum
ayah omah, penggemar setia A. Rafiq.
Setelah mendengar lagu A.Rafiq, Nini
akan bermonolog dengan suara pelo
akibat serangan strokenya :
"Bapa
kamu teh salaki pang bageurna. Bapa yang
mengurus rumah tangga sewaktu Umi kalian kerja di Saudi. Alasannya mah cari
uang banyak untuk kepentingan keluarga. Deuh, mana buktinya? Pulang dari Saudi dia malah minta cerai. Dasar, awewe
bedegong! Nini yakin, Bapamu meninggal
karena patah hati. Da ... Bapa teh cinta mati sama Umi kamu.”
Kemudian
Nini mulai menangis dan Omah terdiam
sambil memilin ujung lengan bajunya.
Omah tidak mungkin menghujat Uminya.
Omah tahu, Umi telah menyesali perbuatannya. Setahun terakhir ini, Umi mengiriminya uang sebulan sekali melalui
Bi Juang. Pemberian Umi itu digunakan
Omah untuk biaya pengobatan Nini serta keperluan sekolah adik-adiknya.
“Umi sengaja lembur
supaya bisa kirim uang untuk kalian,” cerita Bi Juang, rekan kerja Umi di
pabrik sepatu. Tentunya Omah tidak memberitahukan Nini perihal pemberian itu. Nini tak akan sudi menerima uang dari
perempuan yang paling dibencinya.
“Tapi,
Nini bersyukur punya cucu yang baik
seperti kamu, Omah. Semoga kamu kelak
dapat suami yang soleh, sayang keluarga dan bergaji besar.
Jadi, kamu nggak perlu capek kerja seperti sekarang.”
Pukul
tujuh kurang seperempat, Omah mempersiapkan diri berangkat kerja. Omah bekerja
sebagai asisten rumah tangga di sebuah perumahan yang jaraknya hanya 10 menit berjalan
kaki dari rumahnya. Tepat Jam tujuh
pagi, dia harus sudah sampai di rumah majikannya. Majikan Omah sepasang kakak beradik yang baik
hati. Rumah mereka letaknya berhadapan.
Sesampainya di rumah Bu Prapti, majikan kakak,
Omah merapikan rumah sambil mencuci pakaian di mesin. Setelah menjemur cucian, Omah berpindah ke
rumah Bu Asti, majikan adik. Di sana
Omah mencuci sambil merapikan rumah Bu Asti.
Tugas mencuci dan membersihkan dua
rumah tangga selesai pukul 11.00.
Omah pulang untuk mengganti
pempers Nini, mengubah posisi berbaringnya agar Nini nyaman, menyuapi dan memberinya obat siang. Pukul 14.00, Omah kembali ke rumah kedua
majikannya untuk mengangkat pakaian kering dan menyetrika.
Kesibukan Omah
berlangsung hingga bedug maghrib. Selepas solat maghrib, Omah mengelap tubuh
ringkih Nini, mengubah posisi berbaringnya, menyuapi dan memberinya obat malam. Kemudian Omah mengaji sambil menunggu bedug
isya. Nini menikmati qiroah Omah nan mendayu sambil berbaring
di kursi malas. Terkadang Nini tertidur
di kursinya. Setelah sholat Isya, Omah
dan kedua adiknya membopong tubuh ringkih Nini ke kamar tidur. Nini tidak pernah tidur lewat dari jam
setengah delapan malam. Bila Nini sudah tidur,
Omah pun menikmati waktu luangnya di beranda.
Demikianlah
keseharian Omah. Kegiatan rutin yang
berlangsung pada waktu dan tempat yang sama.
Anehnya, Omah tidak pernah bosan dengan rutinitas melelahkan itu.
Penghasilan Omah
sebagai Asisten di dua rumah tangga tidaklah besar. Dari Bu Prapti, Omah mendapatkan penghasilan
Rp. 400.000 per bulan, sedangkan Bu Asti menggajinya sebesar Rp. 15.000 per
hari. Penghasilan harian digunakan Omah
untuk berbelanja kebutuhan dapur. Sedangkan
penghasilan bulanan untuk membayar tagihan listrik dan membeli kebutuhan pokok.
Walaupun
penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga, namun Omah
selalu bersyukur atas keberkahan hidupnya.
Ia memiliki Umi dan Nini yang menyayanginya. Adik-adik Omah rajin membantu pekerjaan di rumah.
Mereka menghormati Omah. Bila
Omah membutuhkan dana darurat., majikannya selalu siap membantu. Maka, nikmat apakah yang hendak ia dustakan?
Kebahagiaan Omah pernah
mendapat ujian. Suatu hari, ‘virus’ bernama Saijah merusak kesehatan
mental Omah.
“Ha...ha...ha...hari gini belum pernah ke mall?” Saijah tertawa mengejek sembari memegangi perutnya yang terbalut kemeja ketat.
“Ha...ha...ha...hari gini belum pernah ke mall?” Saijah tertawa mengejek sembari memegangi perutnya yang terbalut kemeja ketat.
Kesibukan
siang membuat Omah melupakan ejekan
Saijah. Namun, tatkala malam menjelang, ejekan itu seolah berdesau seiring gemerisik
dedaunan nan diterpa angin. Omah terpaksa mengakui fakta itu, dia belum pernah ke mall seperti kebanyakan
remaja kampungnya.
Rekreasi adalah sesuatu yang mustahil bagi
Omah. Gajinya habis untuk membiayai kebutuhan keluarganya. Jangankan untuk rekreasi, mempercantik diri saja Omah tak mampu. Omah mulai memikirkan segala hal yang tidak
dimilikinya.
Semenjak malam itu,
Omah terpuruk dalam derita. Gurat kesedihan terpampang nyata di wajahnya.
Napsu makan Omah menghilang hingga
tubuhnya mengurus. Nini lantas menuduh
Omah tak rela menjadi tulang punggung keluarga.
"Bukan
begitu, Ni,” kata Omah sambil menangis. “Omah...ingin
ke mall seperti teman-teman.” Omah terpaksa jujur agar Nini tidak salah
duga.
“Masya
Allah...jadi hanya karena itu ya? Kamu
ingin ke mall tapi nggak punya uang?” Itu mah kecil,
Omah! Butuh sabaraha?
Limaratus ribu, mahi?” Nini memandangi Omah dengan tatapan menantang.
Omah
menelan ludah. Dia hendak bertanya
bagaimana mendapatkan uang hampir setara
gajinya per-bulan itu? Tapi, ia khawatir pertanyaannya menyinggung perasaan Nini.
Nini
tersenyum misterius, mengeluarkan saputangan
dari balik kutangnya, lalu membukanya
dengan takzim. Omah terbelalak takjub
melihat lembaran-lembaran ratusan ribu terlipat rapi dalam sapu tangan bercorak
batik itu. Nini mengangsurkan lima
lembar untuk Omah. Ternyata masih
tersisa sekitar sepuluh lembar di lipatan sapu tangan Nini.
"Nini
selalu mengumpulkan uang dari orang-orang
yang kasih sedekah,” jelas Nini sambil menjejalkan lima lembar ratusan ribu itu
ke dalam genggaman Omah. “Terimalah
pemberian kecil ini. Jadi, jangan sedih lagi ya! Minggu besok, pergilah ke mall sama sobatmu si Siti. Seharian
juga boleh. Tak perlu mengkhawatirkan Nini!
Bik Entim pasti mau menggantikanmu mengurus Nini.”
Minggu
pagi itu adalah hari yang bersejarah dalam hidup Omah. Untuk pertama kalinya, Omah bepergian keluar
kampung ditemani sahabat tercinta. Rencananya mereka akan menonton pertunjukan grup
band lokal di lantai dasar mall, belanja titipan Nini, lalu makan di
pujasera.
Omah belum pernah keluar dari kampungnya yang terletak di
bantaran Kali Ciapus. Keluarga Umi
maupun Bapanya tinggal di kampung itu.
Jadi, saat lebaran Omah tak perlu menyambangi keluarganya keluar
kampung. Sebenarnya sewaktu kelas VI SD, Omah hampir saja bepergian keluar kampung. Dia berniat rekreasi ke Ancol bersama teman
satu sekolahnya. Pada hari keberangkatan, Omah disusul
ke sekolah oleh adiknya. Kata adiknya,
Bapa mereka sakit keras. Omah pun
membatalkan kepergiannya. Ternyata, Bapa
mereka wafat saat Omah tiba di rumah. Semenjak Bapanya tiada, Omah tak berkesempatan lagi bepergian keluar kampungnya.
Waktu terasa cepat berlalu saat kita bahagia. Jam di HP Siti sudah menunjukan pukul 15.00, namun Omah
masih bersemangat mengelilingi mall
megah yang populer di kalangan remaja Kota Bogor. Tiba-tiba, nada pesan singkat di HP Siti
berbunyi. Setelah membaca pesan yang
masuk, Siti tampak panik. “Omah, pulang
yuk! Ninimu...Ninimu pingsan.”
Omah menjerit tertahan. Ia bersegera menyeret Siti menuju pintu keluar
mall. Untunglah ada ojeg, hingga belasan
menit kemudian mereka telah sampai ke rumah Omah.
Omah melihat para tetangga memenuhi beranda rumah kecilnya. Firasat buruk menyergapnya. “N..I...N...I. !” jerit Omah seraya menyibak
kerumunan orang di depan pintu rumahnya.
Pandangan Omah kabur oleh air mata.
Sesuatu yang pernah hadir dalam mimpi buruknya kini menjadi
kenyataan.
“Nini...maafkan Omah, harusnya Omah nggak jalan-jalan hari ini,” ratap Omah.
“Sabar ya, Neng! Terimalah takdir Yang Kuasa dengan
ikhlas. Bersyukurlah, Ninimu pergi dalam
keadaan bahagia. Tadi Nini sempat berkata pada Bibi, bangga bisa mengongkosimu ke mal,” hibur Bi Entim sambil memeluk Omah.
Omah memandangi wajah Nini dari balik bahu Bi Entim. Wajah almarhum cerah berseri. Senyum Nini, laksana ukiran indah terpahat
di bibir pucatnya. Itulah senyum termanis Nini yang pernah Omah lihat.
Senyum terakhir Nini membulatkan tekad Omah untuk tidak berekreasi lagi keluar kampungnya. Omah khawatir hal buruk menimpa keluarganya bila ia berlama-lama meninggalkan rumah. Dia yakin, Sang Pemberi Hidup telah memilihnya sebagai penjaga keluarga merangkap pencari nafkah. Bukankah pak kyai pernah berpetuah bahwa berjerih dalam mencari nafkah adalah penghapus dosa.
Senyum terakhir Nini membulatkan tekad Omah untuk tidak berekreasi lagi keluar kampungnya. Omah khawatir hal buruk menimpa keluarganya bila ia berlama-lama meninggalkan rumah. Dia yakin, Sang Pemberi Hidup telah memilihnya sebagai penjaga keluarga merangkap pencari nafkah. Bukankah pak kyai pernah berpetuah bahwa berjerih dalam mencari nafkah adalah penghapus dosa.
Bogor, Oktober 2013
Keterangan :
Nini = nenek
Salaki
pang bageurna = Suami paling baik
Awewe
bedegong = Perempuan yang susah dinasehati
Sabaraha = Berapa
Mahi = Cukup
Neng = Panggilan untuk anak perempuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar