Karya Fiksi oleh Fabina Lovers
Masih melekat dalam kenanganku, kisah bulan
madu kami di Pantai Panjang. Pantai permai
berpasir putih nan terbentang sejauh 7 km.
Pepohonan cemara di tepian pantai seolah berlari bersama motor ATV yang kami gunakan
untuk menyusuri pantai. Chandra memeluk
erat pinggangku. Wangi parfum mahalnya
bercampur dengan bau basin air laut.
Ia menjerit sewaktu aku sengaja mengerem ATV. Tubuh sintalnya terasa hangat dan lembut di punggungku. Gelora birahiku tak tertahan lagi. Aku lantas mengarahkan ATV menuju hotel tempat kami menginap.
Ia menjerit sewaktu aku sengaja mengerem ATV. Tubuh sintalnya terasa hangat dan lembut di punggungku. Gelora birahiku tak tertahan lagi. Aku lantas mengarahkan ATV menuju hotel tempat kami menginap.
“Yang,
kok balik lagi ke hotel sih? Kita ‘kan
belum berenang di laut,” protes Chandra dengan suara manja.
“Cinta,
aku hanya mendambakan berenang di telukmu,” jawabku sok puitis.
Chandra
mencubit pinggangku sambil mengikik geli. Ia mempererat pelukannya di
pinggangku. Ah, istri mungilku yang
menggemaskan. Akulah lelaki paling
beruntung di dunia ini. Aku pemilik sah
seorang wanita yang cantik, muda, berbakat dan terkenal.
Penggemar infotaiment
di bumi nusantara ini tentu mengenal
Chandra Buana. Tak seperti beberapa
selebriti yang terkenal akibat huru-hara yang diperbuatnya, istriku ini
terkenal berkat prestasinya. Istriku
memulai karirnya melalui ajang pencarian bakat penyanyi. Walaupun dalam perlombaan tersebut ia hanya mencapai
peringkat lima besar, namun istriku
berhak menjadi model produk sponsor lomba.
Perlahan kepingan puzzle
karier istriku menemukan fomasinya. Ia
merambah dunia sinetron dari pemain pendukung hingga pemeran utama. Kemudian sutradara film layar lebar yang
terkenal sebagai pembuat film bermutu memercayai istriku bermain di filmnya.
Walaupun di sinetron selalu mendapat peran utama, istriku tak menampik peran
pendukung di film layar lebar itu.
Totalitasnya dalam berkesenian menyebabkan istriku berhasil membawa
pulang Piala Citra sebagai Aktris Pendukung Film Terbaik.
Ringtone
HP Chandra memupus lamunanku. Chandra
berseru kesal sewaktu mengetahui panggilan itu dari manajernya. “Harusnya aku matikan saja benda terkutuk
ini,” gerutu Chandra.
“Chandra, lobi hotel
tempat kalian menginap sudah dipenuhi wartawan.
Isu kalian menikah siri barusan muncul di media online. Saranku, kalian menginap
di rumah sepupuku saja! Nanti, aku WA posisi rumahnya.” Suara Jeni, manajer
Chandra, sayup terdengar olehku.
Kami tersentak. “Oh, wartawan jahanam itu!” rutuk
Chandra. Aku baru menyadari kemampuan
Chandra bersumpah-serapah yang tak pernah muncul semasa kami berpacaran. Tapi situasi darurat kerap membuat orang lepas
kendali. Aku segera menerima kebiasaan
Chandra yang kurang baik ini dengan lapang dada.
Sejurus kemudian, kami
menerima alamat sepupu Jeni melalui peta WA.
Letaknya di pelosok kota Bengkulu. Kalau menurut goggle map, sekitar tigapuluh kilometer dari pantai ini. Tentunya sangat riskan mengendari ATV ke
sana. Untunglah manajer Chandra cepat
tanggap. Tak lama kemudian, sebuah MPV
sewaan berkaca gelap telah menjemput kami.
Kami menaiki mobil sewaan, lalu segera bertolak menuju rumah sepupu
Jeni. Melalui kaca mobil, kami lihat
para kuli tinta berkerumun di lobi hotel. Beberapa wartawan berusaha menggali
informasi dari petugas hotel untuk mengetahui keberadaan kami. Mereka
tidak menyadari buruannya berhasil melarikan diri dengan MPV yang catnya sudah
mengelupas di sana-sini.
Empat puluh lima menit
kemudian, kami sampai di kediaman sepupu Jeni yang berhalaman luas dan
asri. Fadilah, sepupu Jeni, seorang
wanita ramah berusia awal empatpuluhan.
Ia memimpin kami menuju paviliun bernuansa etnik. “Nah, ini dia bilik cinta untuk yang berbulan
madu,” kata Fadilah seraya tersenyum cerah.
Kami langsung menyukai sepupu Jeni ini.
“Nah Candra, aku sudah
pesankan Ikan Pais untuk makan siang kalian. Kata Jeni, kamu suka sekali masakan
itu.”
Chandra langsung
bersemangat ketika mendengar pepes ikan khas bengkulu akan menjadi menu makan
siang kami. Chandra penggemar hidangan
tradisional nusantara. Menurut Chandra,
menyantap hidangan tradisional adalah wujud kecintaannya pada warisan budaya
leluhur. Kini Chandra memiliki klub
pencinta masakan nusantara yang anggotanya tersebar dari Aceh sampai Papua. Setahun sekali mereka kopi darat untuk
memasak aneka resep hidangan nusantara tempo dulu dengan didampingi ahlinya. Berkat aktivitasnya ini, Chandra didapuk
sebagai duta kuliner nusantara oleh sebuah produk bumbu masak terkemuka. Sungguh, aktivitas dan prestasi istriku
amatlah membanggakan.
Saat makan siang, aku mencium pipi istriku sambil berujar, ”Cinta, kau adalah belahan jiwaku. Aku menyayangi setiap inchi dirimu, yang baik maupun tidak.”
Chandra pura-pura
cemberut. “Apakah ada yang tidak baik
dariku?”
“Kamu cukup lihai
bersumpah serapah ya?”
“Itu
belum seberapa. Kamu akan mendengar yang
lebih dahsyat lagi sepanjang perkawinan kita,” kata Chandra sambil tertawa.
Itulah sekelumit kebahagiaan di awal
pernikahan kami. Sebulan kemudian,
kebanggaanku pada Chandra terkikis laksana gelombang laut menggempur batu
karang. Perilaku Chandra di rumah sangat
berbeda dengan yang ditampilkannya di layar kaca. Aku
cemburu pada penggemar Chandra yang senantiasa mendapatkan senyum manis
dan candanya.
Derit suara pintu
terbuka membangunkanku. Pukul 02.00
dinihari, Chandra baru pulang ke apartemen sewaan kami. Biasanya dia masuk kamar dalam kondisi
setengah tertidur. Aku paham, aktivitas
syutingnya dari pukul sepuluh pagi hingga dinihari ini sangat menguras tenaga. Tapi, ada sesuatu yang harus aku sampaikan
padanya. Semoga ia tidak murka.
“Chandra, aku boleh minta sesuatu?”
“Hm....aku capek,” kata
Chandra sambil berbaring membelakangiku.
“ML, yuk!” ajakku sambil mengurut lembut punggungnya.
Chandra langsung duduk
tegak di bibir ranjang seraya memunggungiku.
“Kamu seperti binatang, nggak bisa
mengendalikan napsu. Bukankah baru dua minggu lalu kita bermesraan, ingat?” desis Chandra.
Amarahku melesak ke
ubun-ubun. Untunglah aku cukup pandai
mengendalikan diri, hingga tidak kelepasan menampar pipi istriku. Tanganku gemetaran. Aku menghela napas panjang untuk meredakan
gejolak emosi.
“Aku salah menilai,
seharusnya aku sadar bahwa kamu tidak mencintaiku,” kataku dengan suara
bergetar.
Chandra menghadapkan
wajahnya kepadaku. “Justru kamu yang tidak
mencintaiku. Kalau benar-benar
mencintaiku, kamu pasti paham istrimu amat lelah dan butuh istirahat,” raung
Chandra sambil menatapku dengan mata menyala serupa macan menghadapi buruannya.
Aku turun dari ranjang, menghampiri lemari pakaian,
lalu mengemasi pakaianku dalam travel bag. Pergi sejenak dari perkawinan ini semestinya mampu
menyadarkan Chandra akan makna kebersamaan kami.
“Pergi sana, aku nggak
butuh suami tanpa empati seperti kamu!” Chandra menangis sambil menutupi wajahnya dengan bantal. Aku tersentak,
tak menyangka reaksi Chandra sekeras itu.
Setelah mengepak
pakaian yang jumlahnya tidak seberapa, aku bergerak ke arah Chandra. “Aku tidak akan pergi kalau kamu berjanji
memenuhi kebutuhan biologisku. Kamu
tahu, laki-laki sulit menahan libidonya.
Aku tidak mau berzinah dengan wanita lain,” kataku sambil membelai
lengan mulus istriku.
Chandra menjauhkan
tubuhnya dari jangkauanku. “Mulai sekarang,
aku bukan lagi istrimu. Kita hanya
menikah siri. Asal kau jatuhkan
talak, kita resmi cerai. Thank’s
God, aku nggak perlu urus tetek bengek di Pengadilan Agama.”
Aku tergagap. Dalam keluargaku, perceraian adalah hal yang
paling dibenci. “Apakah, apakah kamu
serius hendak bercerai dariku?” Chandra mengangguk seraya membuang muka.
“Baiklah, aku ceraikan
kamu saat ini, Jumat, tanggal 12 Januari 2012, pukul 02.15 WIB. Selamat tinggal, Chandra. Semoga kau bahagia dengan keputusan ini.”
Aku meninggalkan
perkawinanku dengan tubuh lunglai. Sejak
remaja, aku mendambakan pernikahan harmonis seperti yang dijalani orang-tuaku
selama puluhan tahun. Ternyata, nasib
rumah-tanggaku sungguh tragis. Menikah
siri tanpa restu orangtua untuk bercerai enam bulan kemudian. Entah apa tanggapan ibuku nanti?
Pagi itu, aku
mengundurkan diri dari pekerjaanku di perusahaan telekomunikasi. Malam harinya, aku telah berada dalam
penerbangan menuju Medan, kampung halamanku. Setibanya di rumah, aku langsung bersimpuh di
kaki ibuku. Aku memohon maaf atas semua
kesalahanku. Lima tahun lalu, aku kabur
ke Jakarta karena menolak dijodohkan dengan gadis pilihan ibuku.
Ternyata ibuku tidak kecewa dengan
pernikahanku yang seumur jagung. “Segala sesuatu ada hikmahnya. Sekarang kamu akan lebih berhati-hati memilih
calon isteri. Ketahuilah, budak buruk
rupa yang bertaqwa pada Tuhannya lebih mulia daripada ratu jelita namun ingkar
pada Tuhannya.
Oh ibuku, aku berjanji
tak akan meninggalkanmu lagi. Aku akan
membantumu membesarkan usaha tekstil milik keluarga kita. Bila tiba waktunya, aku akan memintamu
memilihkan calon isteri. Aku percaya,
naluri keibuan akan menuntunmu pada wanita yang
layak menjadi teman sejatiku dunia-akhirat.
Bogor, Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar