Senin, 29 September 2014

Suami Selebriti

Karya Fiksi oleh Fabina Lovers

 


Masih melekat dalam kenanganku, kisah bulan madu kami di Pantai Panjang.  Pantai permai berpasir putih nan terbentang sejauh 7 km.  Pepohonan cemara di tepian pantai seolah  berlari bersama motor ATV yang kami gunakan untuk menyusuri pantai.  Chandra memeluk erat pinggangku.  Wangi parfum mahalnya bercampur dengan bau basin air laut. 
 
Ia menjerit sewaktu aku sengaja mengerem ATV.  Tubuh sintalnya terasa hangat dan lembut di punggungku. Gelora birahiku tak tertahan lagi.  Aku lantas mengarahkan ATV menuju hotel tempat kami menginap.

“Yang, kok balik lagi ke hotel sih?  Kita ‘kan belum berenang di laut,” protes Chandra dengan suara manja.

“Cinta, aku hanya mendambakan berenang di telukmu,” jawabku sok puitis.

Chandra mencubit pinggangku sambil mengikik geli. Ia mempererat pelukannya di pinggangku.  Ah, istri mungilku yang menggemaskan.  Akulah lelaki paling beruntung di dunia ini.  Aku pemilik sah seorang wanita yang cantik, muda, berbakat dan terkenal.

Penggemar infotaiment di bumi nusantara ini  tentu mengenal Chandra Buana.  Tak seperti beberapa selebriti yang terkenal akibat huru-hara yang diperbuatnya, istriku ini terkenal berkat prestasinya.  Istriku memulai karirnya melalui ajang pencarian bakat penyanyi.  Walaupun dalam perlombaan tersebut ia hanya mencapai peringkat lima besar, namun istriku berhak menjadi model produk sponsor lomba.  Perlahan kepingan puzzle karier istriku menemukan fomasinya.  Ia merambah dunia sinetron dari pemain pendukung hingga pemeran utama.   Kemudian sutradara film layar lebar yang terkenal sebagai pembuat film bermutu memercayai istriku bermain di filmnya. Walaupun di sinetron selalu mendapat peran utama, istriku tak menampik peran pendukung di film layar lebar itu.  Totalitasnya dalam berkesenian menyebabkan istriku berhasil membawa pulang Piala Citra sebagai Aktris Pendukung Film Terbaik. 

Ringtone HP Chandra memupus lamunanku.  Chandra berseru kesal sewaktu mengetahui panggilan itu dari manajernya.  “Harusnya aku matikan saja benda terkutuk ini,” gerutu Chandra.

“Chandra, lobi hotel tempat kalian menginap sudah dipenuhi wartawan.  Isu kalian menikah siri barusan muncul di media online.  Saranku, kalian menginap di rumah sepupuku saja! Nanti, aku WA posisi rumahnya.” Suara Jeni, manajer Chandra, sayup terdengar olehku.

Kami tersentak.  “Oh, wartawan jahanam itu!” rutuk Chandra.  Aku baru menyadari kemampuan Chandra bersumpah-serapah yang tak pernah muncul semasa kami berpacaran.  Tapi situasi darurat kerap membuat orang lepas kendali.  Aku segera menerima kebiasaan Chandra yang kurang baik ini dengan lapang dada.

Sejurus kemudian, kami menerima alamat sepupu Jeni melalui peta WA.  Letaknya  di pelosok kota Bengkulu.  Kalau menurut goggle map, sekitar tigapuluh kilometer dari pantai ini.  Tentunya sangat riskan mengendari ATV ke sana.  Untunglah manajer Chandra cepat tanggap.  Tak lama kemudian, sebuah MPV sewaan berkaca gelap telah menjemput kami.  Kami menaiki mobil sewaan, lalu segera bertolak menuju rumah sepupu Jeni.  Melalui kaca mobil, kami lihat para kuli tinta berkerumun di lobi hotel. Beberapa wartawan berusaha menggali informasi dari petugas hotel untuk mengetahui keberadaan kami.   Mereka tidak menyadari buruannya berhasil melarikan diri dengan MPV yang catnya sudah mengelupas di sana-sini.

Empat puluh lima menit kemudian, kami sampai di kediaman sepupu Jeni yang berhalaman luas dan asri.  Fadilah, sepupu Jeni, seorang wanita ramah berusia awal empatpuluhan.  Ia memimpin kami menuju paviliun bernuansa etnik.  “Nah, ini dia bilik cinta untuk yang berbulan madu,” kata Fadilah seraya tersenyum cerah.  Kami langsung menyukai sepupu Jeni ini.

“Nah Candra, aku sudah pesankan Ikan Pais untuk makan siang kalian. Kata Jeni, kamu suka sekali masakan itu.”

Chandra langsung bersemangat ketika mendengar pepes ikan khas bengkulu akan menjadi menu makan siang kami.  Chandra penggemar hidangan tradisional nusantara.  Menurut Chandra, menyantap hidangan tradisional adalah wujud kecintaannya pada warisan budaya leluhur.  Kini Chandra memiliki klub pencinta masakan nusantara yang anggotanya tersebar dari Aceh sampai Papua.  Setahun sekali mereka kopi darat untuk memasak aneka resep hidangan nusantara tempo dulu dengan didampingi ahlinya.  Berkat aktivitasnya ini, Chandra didapuk sebagai duta kuliner nusantara oleh sebuah produk bumbu masak terkemuka.  Sungguh, aktivitas dan prestasi istriku amatlah membanggakan.

Saat makan siang, aku mencium pipi istriku sambil berujar, ”Cinta, kau adalah belahan jiwaku.  Aku menyayangi setiap inchi dirimu, yang baik maupun tidak.”

Chandra pura-pura cemberut.   “Apakah ada yang tidak baik dariku?”

“Kamu cukup lihai bersumpah serapah ya?”

“Itu belum seberapa.  Kamu akan mendengar yang lebih dahsyat lagi sepanjang perkawinan kita,” kata Chandra sambil tertawa.

Itulah sekelumit kebahagiaan di awal pernikahan kami.  Sebulan kemudian, kebanggaanku pada Chandra terkikis laksana gelombang laut menggempur batu karang.  Perilaku Chandra di rumah sangat berbeda dengan yang ditampilkannya di layar kaca.  Aku  cemburu pada penggemar Chandra yang senantiasa mendapatkan senyum manis dan candanya.

Derit suara pintu terbuka membangunkanku.  Pukul 02.00 dinihari, Chandra baru pulang ke apartemen sewaan kami.  Biasanya dia masuk kamar dalam kondisi setengah tertidur.  Aku paham, aktivitas syutingnya dari pukul sepuluh pagi hingga dinihari ini sangat menguras tenaga.  Tapi, ada sesuatu yang harus aku sampaikan padanya.  Semoga ia tidak murka.

 “Chandra, aku boleh minta sesuatu?”

“Hm....aku capek,” kata Chandra sambil berbaring membelakangiku.

ML, yuk!” ajakku sambil mengurut lembut punggungnya.


Chandra langsung duduk tegak di bibir ranjang seraya memunggungiku.  “Kamu   seperti binatang, nggak bisa mengendalikan napsu. Bukankah baru dua minggu lalu kita bermesraan,  ingat?” desis Chandra.

Amarahku melesak ke ubun-ubun.  Untunglah aku cukup pandai mengendalikan diri, hingga tidak kelepasan menampar pipi istriku.  Tanganku gemetaran.  Aku menghela napas panjang untuk meredakan gejolak emosi.

“Aku salah menilai, seharusnya aku sadar bahwa kamu tidak mencintaiku,” kataku dengan suara bergetar.

Chandra menghadapkan wajahnya kepadaku.  “Justru kamu yang tidak mencintaiku.  Kalau benar-benar mencintaiku, kamu pasti paham istrimu amat lelah dan butuh istirahat,” raung Chandra sambil menatapku dengan mata menyala serupa macan menghadapi buruannya.

Aku turun dari ranjang, menghampiri lemari pakaian, lalu mengemasi pakaianku dalam travel bag.  Pergi sejenak dari perkawinan ini semestinya mampu menyadarkan Chandra akan makna kebersamaan kami.

“Pergi sana, aku nggak butuh suami tanpa empati seperti kamu!” Chandra menangis sambil menutupi wajahnya dengan bantal.  Aku tersentak, tak menyangka reaksi Chandra sekeras itu.

Setelah mengepak pakaian yang jumlahnya tidak seberapa, aku bergerak ke arah Chandra.  “Aku tidak akan pergi kalau kamu berjanji memenuhi kebutuhan biologisku.  Kamu tahu, laki-laki sulit menahan libidonya.  Aku tidak mau berzinah dengan wanita lain,” kataku sambil membelai lengan mulus istriku.

Chandra menjauhkan tubuhnya dari jangkauanku.  “Mulai sekarang, aku bukan lagi istrimu.  Kita hanya menikah siri.  Asal kau jatuhkan talak,  kita resmi cerai.  Thank’s God, aku nggak perlu urus tetek bengek di Pengadilan Agama.”

Aku tergagap.  Dalam keluargaku, perceraian adalah hal yang paling dibenci.  “Apakah, apakah kamu serius hendak bercerai dariku?” Chandra mengangguk seraya membuang muka. 

“Baiklah, aku ceraikan kamu saat ini, Jumat, tanggal 12 Januari 2012, pukul 02.15 WIB.  Selamat tinggal, Chandra.  Semoga kau bahagia dengan keputusan ini.”

Aku meninggalkan perkawinanku dengan tubuh lunglai.  Sejak remaja, aku mendambakan pernikahan harmonis seperti yang dijalani orang-tuaku selama puluhan tahun.  Ternyata, nasib rumah-tanggaku sungguh tragis.  Menikah siri tanpa restu orangtua untuk bercerai enam bulan kemudian.  Entah apa tanggapan ibuku nanti?

Pagi itu, aku mengundurkan diri dari pekerjaanku di perusahaan telekomunikasi.   Malam harinya, aku telah berada dalam penerbangan menuju Medan, kampung halamanku.  Setibanya di rumah, aku langsung bersimpuh di kaki ibuku. Aku  memohon maaf atas semua kesalahanku.  Lima tahun lalu, aku kabur ke Jakarta karena menolak dijodohkan dengan gadis pilihan ibuku.

Ternyata ibuku tidak kecewa dengan pernikahanku yang seumur jagung. “Segala sesuatu ada hikmahnya.  Sekarang kamu akan lebih berhati-hati memilih calon isteri.  Ketahuilah, budak buruk rupa yang bertaqwa pada Tuhannya lebih mulia daripada ratu jelita namun ingkar pada Tuhannya.  

"Pernikahan bukan ajang pamer pasangan.  Pernikahan adalah sarana menempa kedewasaan diri, sekaligus membentuk individu baru yang paham akan tugasnya sebagai hamba Allah.  Semoga engkau kelak mendapatkan isteri sholehah, kata ibu sambil membelai lembut kepalaku yang tertunduk di pangkuannya.

Oh ibuku, aku berjanji tak akan meninggalkanmu lagi.  Aku akan membantumu membesarkan usaha tekstil milik keluarga kita.  Bila tiba waktunya, aku akan memintamu memilihkan calon isteri.  Aku percaya, naluri keibuan akan menuntunmu pada wanita yang  layak menjadi teman sejatiku dunia-akhirat.

Bogor,  Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar