Jumat, 21 November 2014

Koleksi Guci Rosma


Karya Fiksi oleh Fabina Lovers.


Image result for gambar cinta guci
   
Sepuluh tahun lalu,  Rosma menerima kiriman paket di hari ulang tahunnya.  Tak ada nama pengirim di pembungkus paket itu.  Hanya ada nama Rosma berikut alamat rumahnya.

“Siapa pengirim paket ini, Mas?” tanya Rosma pada pengantar barang.

Pengantar barang tersenyum misterius. “Dari seorang pengagum,” jawabnya penuh teka-teki.

“Kalau begitu saya tak mau menerima paket ini.  Bagaimana kalau isinya bom?”  Rosma bergidik ngeri.  Dia teringat berita di televisi tentang maraknya pengirimanan paket berisi bom. 

Alih-alih membawa kembali paketnya, pengantar paket malah membuka bungkusan paket dengan kecekatan seorang ahli.  Sejurus kemudian, sebuah guci setinggi 50 cm berdiri anggun di teras rumah Rosma.  Kilau cahaya matahari pagi memantul manis dari permukaan porselen warna biru lazuardi itu.

"Mari bersama lihat isi guci itu! Bisa jadi di dalamnya ada bom.” Rosma masih mencurigai keberadaan bom dalam paket kiriman itu.

Pengantar paket mengangkat guci itu dengan hati-hati lalu menyodorkannya mulut guci ke wajah Rosma.  “Kosong ‘kan, Mbak? Tak ada bom di dalamnya.” Pengantar paket tersenyum geli melihat kepanikan gadis manis itu.

Rosma mendengus. “Ya sudah, saya percaya tak ada bom di dalamnya,” tukas Rosma.

Sebuah kartu bergambar hati tergeletak pasrah di dekat kaki pengantar barang.  Rosma meminta tolong diambilkan kartu itu. Dengan tangan gemetar, Rosma membaca kartu beraroma kenanga.

Dear RosmaSemoga kau menyukai guci zaman Dinasti Ming ini.  Semula guci ini milik seorang kepala suku dayak.  Susah payah aku mendapatkan guci ini.  Kepala suku tak bersedia melepasnya walau aku meminang guci seharga satu unit rumah tipe 21.  Tatkala beliau wafat tanpa meninggalkan pewaris tahta, barulah guci ini bisa aku miliki.  Mengapa guci ini aku serahkan padamu?  Karena aku percaya kau akan merawat guci ini dengan baik sebagaimana kau merawat buku-buku perpustakaan. Selamat ulang tahun.  Semoga hidupmu penuh berkah.  Dari Seorang Pengagum.”

 “Siapakah pengirim guci ini?” lirih Rosma lebih pada dirinya sendiri.

 “Hidup adalah misteri.  Jalani semuanya dengan lapang hati. Fitrah manusia mempertanyakan arah hidupnya.  Kelak kau akan menemukan jawaban beberapa pertanyaanmu,  walau ada pula pertanyaan yang tak pernah kau ketahui jawabnya.  Maka biarkanlah hidup tetap menjadi misteri.” Pengirim paket membacakan puisi dari selembar kertas lusuh dalam genggamannya. 

“Mas......?” Rosma ingin bertanya namun tak mampu merumuskan pertanyaan yang tepat karena otaknya terasa kebas.

“Maaf Mbak, saya diminta membacakan puisi ini kalau Mbak mempertanyakan jati diri  pengirim guci,” kata pengantar barang sambil tersenyum kikuk. “Oke Mbak, saya permisi dulu, masih banyak paket yang harus saya kirim.”

Rosma tercenung beberapa saat, tapi ia segera menyadari keberadaan guci Ming yang indah namun rapuh itu.  Segera Rosma membawa guci itu ke dalam kamarnya.  Entah aura macam apa yang dimiliki guci itu? Yang jelas Rosma merasa damai ketika memandang permukaannya yang berglasir halus.  Lukisan flora terpatri molek di sekujur tubuh guci.  Nyata benar bahwa karya mumpuni itu merupakan wujud dedikasi sang perajin terhadap seni pembuatan guci.

Kini, sepuluh tahun berlalu sejak menerima paket guci perdananya, Rosma telah memiliki sepuluh buah guci porselen antik. Koleksi gucinya tertata rapi dalam lemari pajangan khusus yang berdiri megah di ruang tamu.  Dengan ketekunan seorang pustakawati, Rosma merawat koleksi gucinya. Rosma tak lagi memikirkan jati diri pengirim guci itu.  Bahkan kesadaran akan dirinya yang memiliki pengagum rahasia membuat Rosma percaya diri. Dia tidak minder lagi menerima kenyataan hidupnya sebagai lajang penderita kelainan jantung bawaan.  

Suatu ketika, ibunda Rosma terserang stroke hingga harus menginap di ICU sebuah rumah sakit swasta.  Biaya rawat inap selama beberapa hari mengguncang perekonomian keluarga Rosma.  Ayah merayu Rosma untuk menjual  salah satu guci koleksinya.  Ada seorang kolektor yang bersedia membeli guci koleksi Rosma dengan harga setara mobil jenis MPV.

"Ros tidak bisa sembarangan melepas guci itu.  Belum tentu pembelinya mau merawat guci itu sepenuh cinta,” tolak Rosma dengan suara bergetar.

“Jadi, kamu lebih mencintai guci itu daripada nyawa ibumu?”ayahnya mulai tak sabar.

“Rosma bersedia membantu, tapi bukan dengan menjual guci itu.” tegas Rosma.   

Rosma meminjam uang sebesar seratus juta rupiah di bank dengan SK PNS sebagai jaminan.  Uang itu diserahkan pada ayahnya untuk biaya pengobatan ibunya.

"Ayah tidak mengerti cara berpikirmu.  Mengapa kamu harus meminjam uang dengan resiko kehilangan sebagian gajimu hingga sepuluh tahun mendatang?  Padahal kamu memiliki aset ratusan juta di lemari pajanganmu.”

Rosma hanya diam.  Percuma menjelaskan makna guci itu pada ayahnya.  Bagi Rosma, guci itu adalah amanah,  tak ubahnya seorang anak.  Mesti dijaga dan dipelihara dengan seksama.

SEBELAS TAHUN YANG LALU

Jam kunjugan perpustakaan telah usai. Rosma mulai meletakan buku-buku di rak sesuai kode klasifikasi buku. Seorang pengunjung pria tiba-tiba muncul di sisinya. Pria itu menggumamkan puisi Jalaluddin Rumi : ‘Cinta yang dibangkitkan oleh hayalan yang salah dan tidak pada tempatnya bisa saja menghantarkanmu pada keadaan ekstasi.  Namun kenikmatan itu, jelas tidak seperti bercinta dengan kekasih sebenarnya, kekasih yang sadar akan hadirnya seseorang.’

Rosma mencuri pandang pada pengunjung pria itu.  Seorang pria  berpostur tubuh sedang, tampak tekun membaca bukunya.  Pria ini perlu diingatkan bahwa jam kunjungan perpustakaan telah berakhir.

“Dan ternyata, Mbak Rosma terlihat lebih cantik daripada fotonya.  Hakikatnya kenyataan lebih baik daripada hayalan.”  Tiba-tiba sang pengunjung pria  menoleh ke arah Rosma sambil tersenyum riang.

Rosma memandangi sosok pria di sampingnya.  Sebentuk foto, serta selarik sms hangat yang setia menemani paginya, tergambar jelas di benak Rosma.

“Mas Adi, benarkah ini Mas Adi?” Norma menatap pria itu dengan mimik takjub.             

“Sebenarnya aku ingin datang lebih awal kemari.  Sayangnya bus yang aku tumpangi dari Solo pecah ban di daerah Cirebon.  Jadi mohon maaf kalau aku kesiangan,” kata pria itu dengan logat jawa yang kental.

“Kenapa Mbak Ira tidak kasih kabar kalau Mas mau kemari? Mas tentunya belum makam siang, ya? Ayo, kita makan siang bersama!  Hm...suka masakan sunda?”

“Makanan apapun pasti nikmat kalau lapar begini.” Adi tertawa renyah.

Dalam hitungan menit, mereka telah menempati sebuah meja di sudut Rumah Makan yang menyajikan masakan sunda.  Jam makan siang sudah lewat, hingga rumah makan itu kosong.  Hanya mereka berdua di sana.

 “Pantas saja hari ini Mbak Ira ijin.  Awas ya, besok aku mau memarahi Mbak Ira.” Rosma pura-pura cemberut.

“Aku tak percaya kamu  bisa marah pada sepupuku.  Kata Ira, kamu gadis berkepribadian lembut.”

Rosma tersipu mendengar pujian Adi.   Ia mengalihkan pandangan keluar jendela,  berharap gemuruh jantungnya mereda.  Untuk sesaat mereka saling berdiam diri. Untunglah makanan pesanan mereka tiba, hingga mereka terbebas dari situasi kikuk itu

“Sayur asamnya nikmat ya? Perpaduan manis, asam dan gurihnya pas sekali,” puji Adi setelah menghabiskan suapan terakhirnya.

Rosma tertawa geli. “Ah, mas Adi bisa jadi pembawa acara wisata kuliner nih,” goda Rosma.

Percakapan mengenai kuliner memecahkan kebisuan mereka.  Kemudian aneka topik percakapan mengalir hangat.  Sesekali Rosma tertawa mendengar gurauan Adi.  Waktu seakan berhenti berputar.  Mereka terlena dalam jalinan percakapan.

“Bu Rosma, ini saya bawakan tas-nya.  Kantor sudah tutup.” Suara Ujang, petugas kebersihan perpustakan, menghempaskan sejoli itu ke alam nyata.

Sepasang sejoli itu serentak memandang keluar jendela.  Senja menyapa bumi.  Lampu-lampu jalanan mulai menyala.  Sejurus kemudian, azan maghrib menggema di seantero kota.  Kedua insan mabuk kepayang itu bersegera menyambut panggilan azan di masjid dekat balai kota.

“Ros, apakah kamu berniat menikah dalam waktu dekat?” tanya Adi sewaktu mereka menunggu Angkutan Kota yang rutenya melewati rumah Rosma.

Rosma terkesiap. “Aa...apa maksud Mas?” Gadis itu tergagap.

“Maukah kamu jadi isteriku? tanya Adi dengan suara tenang.

“Secepat itukah? Mas belum benar-benar mengenalku.  Mas tidak tahu penyakitku.  Sejak lahir, aku sudah menderita kelainan jantung bawaan.  Setahun lalu, aku menjalani operasi penggantian katup jantung.  Kata dokter, aku tidak boleh kelelahan. Juga tidak boleh dilanda emosi berlebihan.  Sanggupkan Mas menerima kondisiku itu?” Rosma menundukan kepalanya.  Tak berani menatap wajah Adi.

Adi tercenung.  Dia tak menyangka Rosma menderita penyakit berat.  Ira tak pernah bercerita padanya.

“Bagaimana?  Apakah Mas masih sudi menjadikan aku seorang isteri?” tukas Rosma dengan suara bergetar.  Air matanya nyaris jatuh.

Ingin benar Adi merengkuh Rosma dalam pelukannya.  Tapi dia paham, gadis semacam Rosma tak akan bersedia diperlakukan semacam itu oleh lelaki yang bukan suaminya.

“Rosma, percayalah, aku sangat menyayangimu. Aku ingin benar menjadikanmu isteri.  Sekarang, aku akan balik bertanya. Sanggupkah kamu ditinggal berminggu-minggu oleh suamimu? Sanggupkah kamu bila suami tidak mendampingimu saat penyakitmu kambuh?”

 “Aku bukan orang kantoran yang jam kerjanya teratur.  Aku bekerja tanpa kenal  libur.  Bisnis nasi liwet instan ini bagai seorang bayi. Harus dirawat dengan baik agar tumbuh besar.  Walau telah mempromosikan bisnisku secara online,  aku tetap melakukan perjalanan bisnis untuk memperkenalkan produkku pada masyarakat luas.  Andai aku berhenti bergerak untuk sesuatu di luar kepentingan bisnis, maka bisnis ini akan mati. Puluhan orang akan kehilangan pekerjaan.  Aku harap kamu mengerti kondisi ku,” Adi menyentuh lembut lengan Rosma usai berbicara.

Rosma terisak-isak. Dadanya terasa sakit.  “Aku mengerti, Mas, sangat mengerti.  Sekarang, biarkan aku pulang! Tak perlu menghubungiku lagi.  Aku enggan terjebak dalam harapan semu.  Anggap saja kita tak pernah berjumpa.”  Rosma menyetop Angkutan Kota.  Ia meninggalkan Adi dan kenangan kebersamaan mereka.

Sejak saat itu, Rosma menutup hatinya pada semua pria.  Ia telah berdamai dengan kenyataan bahwa penyakitnya merupakan aral sebuah pernikahan.  Akibat penyakitnya,  Rosma akan kesulitan mengandung dan melahirkan secara normal.  Pria mana yang tidak mau punya keturunan?  Pria mana pula yang sudi mendedikasikan dirinya untuk merawat isteri penyakitan? Tidak ada, kalaupun ada keberadaannya langka serupa harimau jawa.
**********************
TAHUN KESEBELAS

 Sabtu yang cerah.  Rosma sibuk merawat taman kecilnya.  Sebuah mobil dengan  plat nomor yang mencirikan kota di Jawa Tengah, berhenti di muka rumah Rosma.  Kelima penumpangnya berbusana hitam, layaknya orang berkabung.  Ia melihat Mbak Ira di antara empat orang berusia setengah baya yang tidak dikenalnya, tengah menatap Rosma dari balik pagar.  Rosma mencuci tangan dan menyambut tamu-tamunya dengan senyum ramah.

 Ayu ne sampeyan iki, nduk! Pantas saja almarhum kesengsem sama kamu,” kata seorang wanita usia 60-an sambil memeluk Rosma.  Sejurus kemudian, ibu sepuh itu terkungkung dalam jeram lara.

Rosma terperanjat. “Almarhum, almarhum siapa?” Benaknya mulai menghubungkan informasi untuk mendapatkan kesimpulan. 

 “Sebulan yang lalu Mas Adi pergi, mobilnya ditabrak truk yang oleng karena pecah ban.  Saat itu dia baru mengirim guci hadiah ulang tahunmu.  Tentunya kamu tak tahu bahwa Mas Adi yang mengirimimu guci sebelas tahun terakhir ini.  Seharusnya, hari ini Mas Adi melamarmu. ”  jelas Mbak Ira sambil memapah tubuh ibu sepuh yang mulai goyah.

Rosma kehilangan kata-kata.  Rangkaian penjelasan ibu sepuh maupun Mbak Ira memporakporandakan skenario hidupnya.   “Mengapa Mas akan melamarku sekarang?” tanya Rosma. Tetes air mata membasahi pipinya.

“Rosma, Mas Adi itu tipe orang yang hidupnya penuh perencanaan.  Sepuluh tahun terakhir ini, ia tekun membesarkan usahanya.  Ia latih kader-kader berintegritas yang sanggup mengelola bisnis  secara mandiri. Sekarang bisnis Mas Adi sudah mapan.  Dia dapat mengontrol bisnisnya sambil bersantai di rumah. Dia bertekad mendedikasikan waktunya untuk mendampingimu, Rosma.” 

Mbak Ira kehilangan kendali dirinya, ia pun mengisak pilu. “Sungguh, ajal manusia adalah misteri Illahi,” pungkas Mbak Ira.

Kejadian tak terduga pada hari sabtu itu menyebabkan detak jantung Rosma tak beraturan.  Jantungnya yang lemah tak sanggup lagi menanggung beban berat itu. Rosma merasakan tempat berpijaknya bagai komedi putar sebelum pusaran gelap merenggutnya.  Beberapa saat Rosma terombang-ambing dalam pusaran gelap itu.  Kemudian ia terhempas ke sebuah taman permai.  Keindahannya tak terlukiskan dengan kata-kata. Sosok pria yang pernah mengisi hatinya telah menantinya di sana.  Mereka siap memadu janji  yang tak bisa direalisasikan di dunia fana.

Bogor,  21 November 2014
Cerpen ini adalah hadiah ultah adik bungsuku
Semoga umurnya barokah , aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar