Karya Fiksi oleh Fabina Lovers.
Sepuluh tahun lalu, Rosma
menerima kiriman paket di hari ulang tahunnya.
Tak ada nama pengirim di pembungkus paket itu. Hanya ada nama Rosma berikut alamat rumahnya.
“Siapa pengirim paket ini, Mas?” tanya Rosma pada pengantar barang.
Pengantar
barang tersenyum misterius. “Dari seorang pengagum,” jawabnya penuh teka-teki.
“Kalau begitu
saya tak mau menerima paket ini.
Bagaimana kalau isinya bom?” Rosma bergidik ngeri. Dia teringat berita di televisi tentang maraknya
pengirimanan paket berisi bom.
Alih-alih
membawa kembali paketnya, pengantar paket malah membuka bungkusan paket dengan
kecekatan seorang ahli. Sejurus
kemudian, sebuah guci setinggi 50 cm berdiri anggun di teras rumah Rosma. Kilau cahaya matahari pagi memantul manis
dari permukaan porselen warna biru lazuardi itu.
"Mari bersama
lihat isi guci itu! Bisa jadi di dalamnya ada bom.” Rosma masih mencurigai
keberadaan bom dalam paket kiriman itu.
Pengantar
paket mengangkat guci itu dengan hati-hati lalu menyodorkannya mulut guci ke
wajah Rosma. “Kosong ‘kan, Mbak? Tak ada
bom di dalamnya.” Pengantar paket tersenyum geli melihat kepanikan gadis manis
itu.
Rosma
mendengus. “Ya sudah, saya percaya tak ada bom di dalamnya,” tukas Rosma.
Sebuah kartu bergambar
hati tergeletak pasrah di dekat kaki pengantar barang. Rosma meminta tolong diambilkan kartu itu.
Dengan tangan gemetar, Rosma membaca kartu beraroma kenanga.
Dear Rosma. Semoga kau menyukai guci zaman Dinasti Ming ini. Semula guci ini milik seorang kepala suku
dayak. Susah payah aku mendapatkan guci
ini. Kepala suku tak bersedia melepasnya
walau aku meminang guci seharga satu unit rumah tipe 21. Tatkala beliau wafat tanpa meninggalkan
pewaris tahta, barulah guci ini bisa aku miliki. Mengapa guci ini aku serahkan padamu? Karena aku percaya kau akan merawat guci ini
dengan baik sebagaimana kau merawat buku-buku perpustakaan. Selamat ulang
tahun. Semoga hidupmu penuh berkah. Dari
Seorang Pengagum.”
“Siapakah
pengirim guci ini?” lirih Rosma lebih pada dirinya sendiri.
“Hidup adalah
misteri. Jalani semuanya dengan lapang
hati. Fitrah manusia mempertanyakan arah hidupnya. Kelak kau akan menemukan jawaban beberapa
pertanyaanmu, walau ada pula pertanyaan
yang tak pernah kau ketahui jawabnya.
Maka biarkanlah hidup tetap menjadi misteri.” Pengirim paket membacakan
puisi dari selembar kertas lusuh dalam genggamannya.
“Mas......?”
Rosma ingin bertanya namun tak mampu merumuskan pertanyaan yang tepat karena
otaknya terasa kebas.
“Maaf Mbak,
saya diminta membacakan puisi ini kalau Mbak mempertanyakan jati diri pengirim guci,” kata pengantar barang sambil
tersenyum kikuk. “Oke Mbak, saya permisi dulu, masih banyak paket yang harus
saya kirim.”
Rosma
tercenung beberapa saat, tapi ia segera menyadari keberadaan guci Ming yang
indah namun rapuh itu. Segera Rosma
membawa guci itu ke dalam kamarnya.
Entah aura macam apa yang dimiliki guci itu? Yang jelas Rosma merasa damai
ketika memandang permukaannya yang berglasir halus. Lukisan flora terpatri molek di sekujur tubuh
guci. Nyata benar bahwa karya mumpuni
itu merupakan wujud dedikasi sang perajin terhadap seni pembuatan guci.
Kini, sepuluh tahun berlalu sejak menerima paket guci
perdananya, Rosma telah memiliki sepuluh buah guci porselen antik. Koleksi
gucinya tertata rapi dalam lemari pajangan khusus yang berdiri megah di ruang
tamu. Dengan ketekunan seorang
pustakawati, Rosma merawat koleksi gucinya. Rosma tak lagi memikirkan jati diri
pengirim guci itu. Bahkan kesadaran akan
dirinya yang memiliki pengagum rahasia membuat Rosma percaya diri. Dia tidak
minder lagi menerima kenyataan hidupnya sebagai lajang penderita kelainan
jantung bawaan.
Suatu ketika,
ibunda Rosma terserang stroke hingga
harus menginap di ICU sebuah rumah sakit swasta. Biaya rawat inap selama beberapa hari
mengguncang perekonomian keluarga Rosma.
Ayah merayu Rosma untuk menjual
salah satu guci koleksinya. Ada
seorang kolektor yang bersedia membeli guci koleksi Rosma dengan harga setara
mobil jenis MPV.
"Ros tidak
bisa sembarangan melepas guci itu. Belum
tentu pembelinya mau merawat guci itu sepenuh cinta,” tolak Rosma dengan suara
bergetar.
“Jadi, kamu
lebih mencintai guci itu daripada nyawa ibumu?”ayahnya mulai tak sabar.
“Rosma
bersedia membantu, tapi bukan dengan menjual guci itu.” tegas Rosma.
Rosma meminjam uang sebesar seratus
juta rupiah di bank dengan SK PNS sebagai jaminan. Uang itu diserahkan pada ayahnya untuk biaya
pengobatan ibunya.
"Ayah tidak
mengerti cara berpikirmu. Mengapa kamu
harus meminjam uang dengan resiko kehilangan sebagian gajimu hingga sepuluh
tahun mendatang? Padahal kamu memiliki
aset ratusan juta di lemari pajanganmu.”
Rosma hanya
diam. Percuma menjelaskan makna guci itu
pada ayahnya. Bagi Rosma, guci itu
adalah amanah, tak ubahnya seorang
anak. Mesti dijaga dan dipelihara dengan
seksama.
SEBELAS
TAHUN YANG LALU
Jam kunjugan perpustakaan telah usai. Rosma mulai
meletakan buku-buku di rak sesuai kode klasifikasi buku. Seorang pengunjung
pria tiba-tiba muncul di sisinya. Pria itu menggumamkan puisi Jalaluddin Rumi :
‘Cinta yang dibangkitkan oleh hayalan
yang salah dan tidak pada tempatnya bisa saja menghantarkanmu pada keadaan
ekstasi. Namun kenikmatan itu, jelas
tidak seperti bercinta dengan kekasih sebenarnya, kekasih yang sadar akan
hadirnya seseorang.’
Rosma
mencuri pandang pada pengunjung pria itu.
Seorang pria berpostur tubuh
sedang, tampak tekun membaca bukunya.
Pria ini perlu diingatkan bahwa jam kunjungan perpustakaan telah
berakhir.
“Dan
ternyata, Mbak Rosma terlihat lebih cantik daripada fotonya. Hakikatnya kenyataan lebih baik daripada
hayalan.” Tiba-tiba sang pengunjung pria
menoleh ke arah Rosma sambil tersenyum
riang.
Rosma
memandangi sosok pria di sampingnya.
Sebentuk foto, serta selarik sms hangat yang setia menemani paginya,
tergambar jelas di benak Rosma.
“Mas Adi, benarkah ini Mas Adi?” Norma menatap
pria itu dengan mimik takjub.
“Sebenarnya
aku ingin datang lebih awal kemari. Sayangnya
bus yang aku tumpangi dari Solo pecah ban di daerah Cirebon. Jadi mohon maaf kalau aku kesiangan,” kata
pria itu dengan logat jawa yang kental.
“Kenapa Mbak Ira tidak kasih kabar kalau
Mas mau kemari? Mas tentunya belum makam siang, ya? Ayo, kita makan siang
bersama! Hm...suka masakan sunda?”
“Makanan apapun pasti nikmat kalau
lapar begini.” Adi tertawa renyah.
Dalam hitungan menit, mereka telah
menempati sebuah meja di sudut Rumah Makan yang menyajikan masakan sunda. Jam makan siang sudah lewat, hingga rumah
makan itu kosong. Hanya mereka berdua di
sana.
“Pantas saja hari ini Mbak Ira ijin. Awas ya, besok aku mau memarahi Mbak Ira.”
Rosma pura-pura cemberut.
“Aku tak percaya kamu bisa marah pada sepupuku. Kata Ira, kamu gadis berkepribadian lembut.”
Rosma tersipu mendengar pujian
Adi. Ia mengalihkan pandangan keluar
jendela, berharap gemuruh jantungnya
mereda. Untuk sesaat mereka saling
berdiam diri. Untunglah makanan pesanan mereka tiba, hingga mereka terbebas
dari situasi kikuk itu
“Sayur asamnya nikmat ya? Perpaduan
manis, asam dan gurihnya pas sekali,” puji Adi setelah menghabiskan suapan
terakhirnya.
Rosma tertawa geli. “Ah, mas Adi bisa
jadi pembawa acara wisata kuliner nih,” goda Rosma.
Percakapan mengenai kuliner memecahkan
kebisuan mereka. Kemudian aneka topik
percakapan mengalir hangat. Sesekali
Rosma tertawa mendengar gurauan Adi.
Waktu seakan berhenti berputar.
Mereka terlena dalam jalinan percakapan.
“Bu Rosma, ini saya bawakan tas-nya. Kantor sudah tutup.” Suara Ujang, petugas
kebersihan perpustakan, menghempaskan sejoli itu ke alam nyata.
Sepasang sejoli itu serentak memandang
keluar jendela. Senja menyapa bumi. Lampu-lampu jalanan mulai menyala. Sejurus kemudian, azan maghrib menggema di
seantero kota. Kedua insan mabuk kepayang
itu bersegera menyambut panggilan azan di masjid dekat balai kota.
“Ros, apakah kamu berniat menikah dalam waktu
dekat?” tanya Adi sewaktu mereka menunggu Angkutan Kota yang rutenya melewati
rumah Rosma.
Rosma terkesiap. “Aa...apa maksud
Mas?” Gadis itu tergagap.
“Maukah kamu jadi isteriku? tanya Adi
dengan suara tenang.
“Secepat itukah? Mas belum benar-benar
mengenalku. Mas tidak tahu penyakitku. Sejak lahir, aku sudah menderita kelainan
jantung bawaan. Setahun lalu, aku
menjalani operasi penggantian katup jantung.
Kata dokter, aku tidak boleh kelelahan. Juga tidak boleh dilanda emosi
berlebihan. Sanggupkan Mas menerima
kondisiku itu?” Rosma menundukan kepalanya.
Tak berani menatap wajah Adi.
Adi tercenung. Dia tak menyangka Rosma menderita penyakit
berat. Ira tak pernah bercerita padanya.
“Bagaimana? Apakah Mas masih sudi menjadikan aku seorang
isteri?” tukas Rosma dengan suara bergetar.
Air matanya nyaris jatuh.
Ingin benar Adi merengkuh Rosma dalam
pelukannya. Tapi dia paham, gadis
semacam Rosma tak akan bersedia diperlakukan semacam itu oleh lelaki yang bukan
suaminya.
“Rosma,
percayalah, aku sangat menyayangimu. Aku ingin benar menjadikanmu isteri. Sekarang, aku akan balik bertanya. Sanggupkah
kamu ditinggal berminggu-minggu oleh suamimu? Sanggupkah kamu bila suami tidak
mendampingimu saat penyakitmu kambuh?”
“Aku bukan orang kantoran yang jam kerjanya
teratur. Aku bekerja tanpa kenal libur.
Bisnis nasi liwet instan ini bagai seorang bayi. Harus dirawat dengan
baik agar tumbuh besar. Walau telah mempromosikan
bisnisku secara online, aku tetap melakukan perjalanan bisnis untuk
memperkenalkan produkku pada masyarakat luas.
Andai aku berhenti bergerak untuk sesuatu di luar kepentingan bisnis,
maka bisnis ini akan mati. Puluhan orang akan kehilangan pekerjaan. Aku harap kamu mengerti kondisi ku,” Adi
menyentuh lembut lengan Rosma usai berbicara.
Rosma terisak-isak. Dadanya terasa
sakit. “Aku mengerti, Mas, sangat
mengerti. Sekarang, biarkan aku pulang!
Tak perlu menghubungiku lagi. Aku enggan
terjebak dalam harapan semu. Anggap saja
kita tak pernah berjumpa.” Rosma
menyetop Angkutan Kota. Ia meninggalkan Adi dan kenangan kebersamaan mereka.
Sejak saat itu, Rosma menutup hatinya
pada semua pria. Ia telah berdamai
dengan kenyataan bahwa penyakitnya merupakan aral sebuah pernikahan. Akibat penyakitnya, Rosma akan kesulitan mengandung dan melahirkan
secara normal. Pria mana yang tidak mau
punya keturunan? Pria mana pula yang
sudi mendedikasikan dirinya untuk merawat isteri penyakitan? Tidak ada,
kalaupun ada keberadaannya langka serupa harimau jawa.
**********************
TAHUN KESEBELAS
Sabtu yang cerah. Rosma sibuk merawat taman kecilnya. Sebuah mobil dengan plat nomor yang mencirikan kota di Jawa
Tengah, berhenti di muka rumah Rosma.
Kelima penumpangnya berbusana hitam, layaknya orang berkabung. Ia melihat Mbak Ira di antara empat orang berusia
setengah baya yang tidak dikenalnya, tengah menatap Rosma dari balik
pagar. Rosma mencuci tangan dan
menyambut tamu-tamunya dengan senyum ramah.
“Ayu ne sampeyan iki, nduk! Pantas
saja almarhum kesengsem sama kamu,”
kata seorang wanita usia 60-an sambil memeluk Rosma. Sejurus kemudian, ibu sepuh itu terkungkung
dalam jeram lara.
Rosma terperanjat. “Almarhum, almarhum
siapa?” Benaknya mulai menghubungkan informasi untuk mendapatkan kesimpulan.
“Sebulan yang lalu Mas Adi pergi, mobilnya
ditabrak truk yang oleng karena pecah ban.
Saat itu dia baru mengirim guci hadiah ulang tahunmu. Tentunya kamu tak tahu bahwa Mas Adi yang
mengirimimu guci sebelas tahun terakhir ini.
Seharusnya, hari ini Mas Adi melamarmu. ” jelas Mbak Ira sambil memapah tubuh ibu sepuh
yang mulai goyah.
Rosma kehilangan kata-kata. Rangkaian penjelasan ibu sepuh maupun Mbak Ira
memporakporandakan skenario hidupnya. “Mengapa Mas akan melamarku sekarang?” tanya
Rosma. Tetes air mata membasahi pipinya.
“Rosma, Mas Adi itu tipe orang yang
hidupnya penuh perencanaan. Sepuluh
tahun terakhir ini, ia tekun membesarkan usahanya. Ia latih kader-kader berintegritas yang
sanggup mengelola bisnis secara mandiri.
Sekarang bisnis Mas Adi sudah mapan. Dia
dapat mengontrol bisnisnya sambil bersantai di rumah. Dia bertekad
mendedikasikan waktunya untuk mendampingimu, Rosma.”
Mbak Ira kehilangan kendali dirinya, ia pun mengisak pilu. “Sungguh, ajal manusia adalah misteri Illahi,” pungkas Mbak Ira.
Mbak Ira kehilangan kendali dirinya, ia pun mengisak pilu. “Sungguh, ajal manusia adalah misteri Illahi,” pungkas Mbak Ira.
Kejadian tak terduga pada hari sabtu
itu menyebabkan detak jantung Rosma tak beraturan. Jantungnya yang lemah tak sanggup lagi
menanggung beban berat itu. Rosma merasakan tempat berpijaknya bagai komedi putar
sebelum pusaran gelap merenggutnya.
Beberapa saat Rosma terombang-ambing dalam pusaran gelap itu. Kemudian ia terhempas ke sebuah taman
permai. Keindahannya tak terlukiskan
dengan kata-kata. Sosok pria yang pernah mengisi hatinya telah menantinya di
sana. Mereka siap memadu janji yang tak bisa direalisasikan di dunia fana.
Bogor,
21 November 2014
Cerpen ini adalah hadiah ultah adik bungsuku
Semoga umurnya barokah , aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar