gambar milik www.semboyan35.com
Karya Fiksi Fabina Lovers
Kalau ada kontes manusia
paling ceroboh se-JABODETABEK, temanku Sarwati pasti jadi pemenangnya. Ibarat penyakit, kecerobohan Sarwati sudah
mencapai stadium empat.
Suatu saat Sarwati
diperintahkan boss untuk mengirim dua buah rangkaian bunga bagi mitra penting
perusahaan. Sebuah rangkaian bunga harus
berisi ucapan selamat atas pernikahan seorang mitra, dan satunya lagi berisi
ucapan belasungkawa atas wafatnya orangtua dari mitra lainnya .
“Jangan lupa, nama
perusahaan kita mesti tertera dalam ukuran besar di bawah kedua rangkaian bunga
itu!” perintah Pak Boss.
“Siap, boss!” kata
Sarwati sambil beranjak ke toko bunga terdekat.
Sarwati kembali ke kantor dan melanjutkan pekerjaannya yang sempat
tertunda. Laporan keuangan kantornya
mengalami sedikit kendala. Ada selisih
antara saldo laporan dan keadaan keuangan sebenarnya. Pasti ada transaksi yang belum tercatat.
Beberapa jam kemudian,
Pak Boss menghampiri meja kerja Sarwati dengan ekspresi ‘kompeni ketemu Bang
Pitung’. “Watiiiii, otakmu dimana sih?”
geram Pak Boss sambil berkacak pinggang.
“A..ada dalam tempurung
kepala saya, Pak,” jawab Sarwati, polos.
“Oh, saya kira sudah
sudah pindah ke dengkulmu. Kalau begitu,
coba jelaskan, kenapa kamu bisa salah kirim karangan bunga? Ucapan selamat untuk yang wafat, dan berduka
cita untuk yang baru menikah?” Pak Boss menatap Wati penuh kemarahan.
Sarwati gelagapan. Untuk sesaat ia kehilangan kemampuannya
berbicara. “Oh, eh, biar saya urus ke
florist-nya. Pasti ada kesalahan.” Sarwati beranjak dari tempat duduknya.
“Nggak perlu, saya sudah
suruh OB untuk mengurusnya. Kamu ini
benar-benar nggak bisa diandalkan, huh!”
Pak Boss pergi dari
hadapan Sarwati sambil mengomel. Ingin
benar ia memecat Sarwati. Tapi, gadis
itu punya banyak keunggulan. Dia
disiplin, pekerja keras, luar biasa jujur, dan yang terpenting... bersedia
menerima gaji di bawah UMR.
“Salah sendiri, kenapa
suruh aku pesan karangan bunga?
Memangnya aku kurang kerjaan?” gerutu Sarwati saat Pak Boss menghilang
dari ruangan staf akuntan.
****
Sekitar pukul 07.50 pagi,
Sarwati berada di antara arus pemudik yang memenuhi Stasiun Gambir. Wajahnya semringah. Sudah berbilang tahun ia tak berlebaran di kampung
halamannya. Maklum, gaji Sarwati hanya
cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Demi kebutuhan mudik, Sarwati menabung pendapatannya selama berdagang
‘angkringan’ di malam hari. Setelah tiga
tahun, Sarwati berhasil mengumpulkan cukup
uang untuk ongkos kereta api pulang-pergi dan oleh-oleh bagi sekompi
kemenakannya.
Sarwati memasuki gerbong
kereta api kelas eksekutif dengan langkah ringan. Ia sengaja memilih kelas eksekutif agar nyaman
beristirahat sepanjang perjalanan. Penumpang yang duduk di sebelah Sarwati
adalah wanita muda berpenampilan glamor.
Ia tengah menikmati lagu dari gadget mahalnya melalui headset. Wanita itu mengacuhkan Sarwati. Sarwati pun balas mengacuhkannya.
“Baguslah. Aku tak perlu
berbasa-basi dengannya. Bisa
tidur sepuasnya sampai tujuan.” Sarwati berkata dalam hati.
Setelah menempuh delapan
jam perjalanan, Kereta Api memasuki Stasiun
Tugu di Yogyakarta. Sarwati
menghembuskan napas lega. Ia buru-buru
mengambil kopernya dari bagasi di bagian atas kereta, lalu melangkah cepat ke pintu
keluar. Rupanya si wanita glamor juga turun di Stasiun
Tugu. Ia berada beberapa langkah di
belakang Sarwati.
“Wah, kopernya mirip
punyaku. Pasti branded. Punyaku sih hanya
KW,” keluh Sarwati seusai melirik koper warna merah marun milik ‘teman’
seperjalanannya.
Saat menjejakan kakinya
di Stasiun Tugu, Sarwati berhenti melangkah.
Ia menghirup udara Yogya sepenuh rongga dadanya. Oh, betapa ia selalu merindukan kota ini. Sarwati mengedarkan pandangannya ke seluruh
penjuru stasiun berusia 138 tahun itu.
Arsitekturnya belum berubah. Masih seperti era kolonial Belanda. Langit-langit ruangan yang tinggi. Pintu-pintu besar berwarna cokelat. Cat dinding warna putih yang membuat seisi stasiun
seolah baru keluar dari binatu.
“Mbak, kalau berdiri
jangan di depan pintu kereta! Kami jadi
susah keluar nih.” Sebuah suara beraksen timur mengejutkan Sarwati.
“Oh...eh...maafkan saya.” Sarwati buru-buru melangkah ke sebuah bangku
di pinggir stasiun. Ia menghempaskan
tubuhnya di sana dan kembali menikmati pemandangan vintage di hadapannya.
Setelah puas menikmati
pemandangan stasiun, Sarwati menyeret langkahnya ke bagian barat stasiun. Ia ingin melihat para montir memperbaiki
lokomotif kereta api. Sejak kanak-kanak,
Sarwati suka melihat aneka komponen lokomotif.
Ia selalu takjub saat menyadari komponen-komponen kecil itulah yang
memberi daya gerak pada gerbong-gerbong kereta sepanjang puluhan meter. Ah, mudah-mudahan Pak Wito masih jadi montir
di sana. Montir tua itu selalu sabar
menjawab pertanyaan kritis Sarwati.
Tiba-tiba, Sarwati
menyadari keanehan pada kopernya. Mengapa kopernya terasa ringan? Padahal Sarwati menempatkan lusinan baju
untuk kemenakannya di sana. Sarwati
berjongkok untuk mengamati kopernya lebih seksama. Alangkah terkejutnya Sarwati sewaktu
menyadari ia salah mengambil koper.
“Astaghfirullah, ini
koper branded. Pasti ketuker sama punyanya cewek itu,” seru Sarwati.
“Ada yang bisa dibantu,
Mbak?” tanya seorang Petugas Stasiun yang kebetulan lewat di dekat Sarwati.
“Anu Mas, tampaknya
koper saya ketuker dengan punya penumpang lain.”
“Oalah, Mbak tahu
orangnya?”
“Tahu Mas, dia kebetulan
duduk di sebelah saya.” Tubuh Sarwati
terasa lemas karena cemas. Bagaimana
bila wanita itu melaporkan dirinya ke polisi? Bisa saja Sarwati dianggap sengaja menukar kopernya
dengan yang lebih mahal.
“Mbak, mbak, jangan
pingsan dong!” Petugas Stasiun buru-buru
menahan tubuh Sarwati yang nyaris jatuh ke lantai peron.
Sarwati lantas dipapah oleh
petugas stasiun ke kantornya. “Nah, duduklah di sini! Saya mau bikin teh manis untuk Mbak.” Pria itu mendudukan Sarwati di sebuah sofa berwarna
kelabu.
“Nggak usah Mas. Saya masih kuat puasa. Sayang, tinggal dua jam lagi,” kata Sarwati
sambil memijiti keningnya.
“Jangan dipaksakan kalau
nggak kuat,” kata petugas stasiun dengan
suara lembut. Kelembutannya memikat
Sarwati. Gadis itu lantas menatap wajah
petugas stasiun dan...terkesima akan ketampanannya.
“Insya Allah kuat. Ngomong-ngomong, koper ini mau saya tinggal
di sini saja. Siapa tahu ada yang cari.” Sarwati ingin segera pergi dari hadapan
pemuda ganteng itu. Ia enggan terjerat harapan semu.
“Bagaimana kalau Mbak
menunggu di sini sampai waktu berbuka.
Jadi, kalau orangnya muncul, Mbak bisa langsung tukaran koper.”
“Oh ya, ide bagus tuh.”
“Monggo, istirahatlah di ruangan ini! Ehm...bagaimana kalau kita bukber?” Petugas
itu menatap Sarwati dengan mimik memohon.
Jantung Sarwati berdentam
lebih keras saat ditatap seperti itu. “Boleh,”
jawab Sarwati dengan suara bergetar.
“Oke, saya akan kembali
bertugas. Nggak apa-apa kalau mau
selonjoran. Bebas kok,” kata si ganteng
sambil beranjak keluar ruangan.
Sepeninggal petugas
ganteng, Sarwati merebahkan diri di sofa nyaman itu. Rasa kantuk langsung menderanya. Perlahan, Sarwati memasuki dunia mimpi. Tapi, kok ada suara ribut ya? Sarwati terjaga dan segera merapikan busananya.
Sang petugas ganteng
memasuki ruangan bersama dua orang polisi.
Kedua polisi itu memegangi lengan wanita glamor, teman seperjalanan
Sarwati.
“Saya tidak bersalah,
tolong lepaskan saya!” Wanita glamor
berusaha melepaskan dirinya dari cengkeraman polisi.
“Apakah koper ini
kepunyaan Mbak?” tanya Petugas Stasiuan sambil menunjuk koper di dekat Sarwati.
“Itu bukan punya saya,”
elak wanita glamor.
“Alhamdulillah, ketemu
juga koper saya.” Sarwati menghampiri koper yang tengah dipegang si wanita glamor.
“Jangan sembarangan,
ya! Ini koper saya,” sergah wanita
glamor itu.
“Kalau saya bisa menebak
isinya, berarti koper itu milik saya,” kata Sarwati, tenang.
“Apa isi koper yang dipegang Mbak ini?” tanya
polisi bernama Senopati pada Sarwati.
“Dua lusin baju
anak. Tiga set mukena baru. Tiga baju koko. Bagian dalam tas menyimpan lima amplop yang
bertuliskan Ibu, Bapak, Mbah Kung, Mbah Ti dan Bude Nung,” papar Sarwati dengan
wajah berbinar.
Senopati menggeledah
koper yang diduga milik Sarwati dengan gesit.
Ternyata....isinya sesuai dengan pemaparan Sarwati.
“Oke, ini memang tas
Anda,” tegas Polisi. Sarwati gembira
mendengarnya hingga nyaris meloncat-loncat.
“Mari kita lihat, apakah
isi tas yang satunya?” tanya polisi bernama Sembiring. Ia memandang wanita glamor dengan sorot
jahil.
“Hanya kue-kue saja.” Si wanita glamor tampak ketakutan.
Sembiring segera menggeledah
koper milik wanita glamor. Isinya memang
beberapa stoples kue puteri salju. Tapi,
Sembiring tak mudah percaya. Ia membuka
salah satu stoples, lalu mengambil sebuah kue.
Karena tidak berpuasa, Sembiring bisa menjilati serbuk putih yang
menyelimuti kue.
“Aha, Anda bisa bikin kue dengan serbuk heroin, ya?”
Sembiring tertawa sumbang.
“I..itu bukan punya
saya. Titipan teman.” Wanita glamor kian ketakutan.
“Mari ikut kami ke
kantor Polsek! Ketahuilah, komplotan
Anda sudah lama kami incar.” Senopati
dan Sembiring menggelandang wanita glamor ke kantor Polsek terdekat. Wanita itu hanya bisa pasrah menerima akibat
perbuatannya.
“Oh, peristiwa yang luar
bisa. Untunglah koper cewek itu nggak
sempat aku bawa ke rumah.” Sarwati
tersenyum lega.
“Makanya, lain kali
jangan ceroboh!” nasehat petugas ganteng.
Ia melihat jam tangannya dan terkejut kala menyadari waktu berbuka
tinggal duapuluh menit lagi.
“Wah, kita harus segera
cari tempat bukber nih. Kalau telat,
bisa kehabisan tempat.” Petugas ganteng tanpa sungkan merengkuh lengan Sarwati.
“Eh Mas, belum kenalan
kok udah pegang-pegang sih?” Sarwati melepaskan dirinya dari rengkuhan petugas
ganteng. Wajah gadis itu semerah
kepiting rebus.
“Oh iya. Namaku Prasetyo. Kamu?”
“Namaku Sarwati. Panggil saja Wati.”
“Wati, kita sudah
kenalan. Boleh gandengan nggak?” tanya
Prasetyo, iseng.
Sarwati mendelik
sewot. “Boleh, kalau kamu sudah
melamarku, ups.” Sarwati menutup mulutnya yang berhianat.
Prasetyo tertawa riang. “Siap, tampaknya setelah lebaran nanti, kamu
nggak perlu balik ke Jakarta,” kata Prasetyo dengan suara dalam. Entah mengapa, Sarwati memercayai kata-kata
pria yang baru dikenalnya itu.
TAMAT
Catatan :
Angkringan adalah gerobag dorong yang berisi makanan
dan minuman dengan harga terjangkau. Biasa terdapat
di pinggiran jalan kota Yogya dan sekitarnya.
Makanan yang dijual adalah nasi kucing, gorengan,
sate usus ayam, sate telur puyuh, keripik, dan lainnya.
Minumannya adalah teh, kopi wedang jahe dan susu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar