Minggu, 28 Juni 2015

Si Ceroboh


gambar milik www.semboyan35.com

Karya Fiksi Fabina Lovers

Kalau ada kontes manusia paling ceroboh se-JABODETABEK, temanku Sarwati pasti jadi pemenangnya.  Ibarat penyakit, kecerobohan Sarwati sudah mencapai stadium empat.

Suatu saat Sarwati diperintahkan boss untuk mengirim dua buah rangkaian bunga bagi mitra penting perusahaan.  Sebuah rangkaian bunga harus berisi ucapan selamat atas pernikahan seorang mitra, dan satunya lagi berisi ucapan belasungkawa atas wafatnya orangtua dari mitra lainnya .

“Jangan lupa, nama perusahaan kita mesti tertera dalam ukuran besar di bawah kedua rangkaian bunga itu!” perintah Pak Boss.

“Siap, boss!” kata Sarwati sambil beranjak ke toko bunga terdekat.

Sarwati kembali ke kantor dan melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.  Laporan keuangan kantornya mengalami sedikit kendala.  Ada selisih antara saldo laporan dan keadaan keuangan sebenarnya.  Pasti ada transaksi yang belum tercatat.

Beberapa jam kemudian, Pak Boss menghampiri meja kerja Sarwati dengan ekspresi ‘kompeni ketemu Bang Pitung’.  “Watiiiii, otakmu dimana sih?” geram Pak Boss sambil berkacak pinggang.

“A..ada dalam tempurung kepala saya, Pak,” jawab Sarwati, polos.

“Oh, saya kira sudah sudah pindah ke dengkulmu.  Kalau begitu, coba jelaskan, kenapa kamu bisa salah kirim karangan bunga?  Ucapan selamat untuk yang wafat, dan berduka cita untuk yang baru menikah?” Pak Boss menatap Wati penuh kemarahan.

Sarwati gelagapan.  Untuk sesaat ia kehilangan kemampuannya berbicara.  “Oh, eh, biar saya urus ke florist-nya.  Pasti ada kesalahan.” Sarwati beranjak dari tempat duduknya.

“Nggak perlu, saya sudah suruh OB untuk mengurusnya.  Kamu ini benar-benar nggak bisa diandalkan, huh!”

Pak Boss pergi dari hadapan Sarwati sambil mengomel.  Ingin benar ia memecat Sarwati.  Tapi, gadis itu punya banyak keunggulan.  Dia disiplin, pekerja keras, luar biasa jujur, dan yang terpenting... bersedia menerima gaji di bawah UMR.

“Salah sendiri, kenapa suruh aku pesan karangan bunga?  Memangnya aku kurang kerjaan?” gerutu Sarwati saat Pak Boss menghilang dari ruangan staf akuntan.

****

Sekitar pukul 07.50 pagi, Sarwati berada di antara arus pemudik yang memenuhi Stasiun Gambir.  Wajahnya semringah.  Sudah berbilang tahun ia tak berlebaran di kampung halamannya.  Maklum, gaji Sarwati hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari.  Demi kebutuhan mudik, Sarwati menabung pendapatannya selama berdagang ‘angkringan’ di malam hari.  Setelah tiga tahun, Sarwati berhasil mengumpulkan  cukup uang untuk ongkos kereta api pulang-pergi dan oleh-oleh bagi sekompi kemenakannya.

Sarwati memasuki gerbong kereta api kelas eksekutif dengan langkah ringan.  Ia sengaja memilih kelas eksekutif agar nyaman beristirahat  sepanjang perjalanan.  Penumpang yang duduk di sebelah Sarwati adalah wanita muda berpenampilan glamor.  Ia tengah menikmati lagu dari gadget mahalnya melalui headset.   Wanita itu mengacuhkan Sarwati.  Sarwati pun balas mengacuhkannya. 

“Baguslah.  Aku tak perlu  berbasa-basi dengannya.  Bisa tidur sepuasnya sampai  tujuan.”  Sarwati berkata dalam hati.

Setelah menempuh delapan jam perjalanan, Kereta Api memasuki  Stasiun Tugu di Yogyakarta.  Sarwati menghembuskan napas lega.  Ia buru-buru mengambil kopernya dari bagasi di bagian atas kereta, lalu melangkah cepat ke pintu keluar. Rupanya si wanita glamor juga turun di Stasiun Tugu.  Ia berada beberapa langkah di belakang Sarwati.  

“Wah, kopernya mirip punyaku.  Pasti branded.  Punyaku sih hanya KW,” keluh Sarwati seusai melirik koper warna merah marun milik ‘teman’ seperjalanannya.

Saat menjejakan kakinya di Stasiun Tugu, Sarwati berhenti melangkah.  Ia menghirup udara Yogya sepenuh rongga dadanya.  Oh, betapa ia selalu merindukan kota ini.   Sarwati mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru stasiun berusia 138 tahun itu.  Arsitekturnya belum berubah. Masih seperti era kolonial Belanda.  Langit-langit  ruangan yang tinggi.  Pintu-pintu besar berwarna cokelat.  Cat dinding warna putih yang membuat seisi stasiun seolah baru keluar dari binatu.

“Mbak, kalau berdiri jangan di depan pintu kereta!  Kami jadi susah keluar nih.” Sebuah suara beraksen timur mengejutkan Sarwati.

“Oh...eh...maafkan saya.”  Sarwati buru-buru melangkah ke sebuah bangku di pinggir stasiun.  Ia menghempaskan tubuhnya di sana dan kembali menikmati pemandangan vintage di hadapannya.

Setelah puas menikmati pemandangan stasiun, Sarwati menyeret langkahnya ke bagian barat stasiun.  Ia ingin melihat para montir memperbaiki lokomotif kereta api.  Sejak kanak-kanak, Sarwati suka melihat aneka komponen lokomotif.  Ia selalu takjub saat menyadari komponen-komponen kecil itulah yang memberi daya gerak pada gerbong-gerbong kereta sepanjang puluhan meter.  Ah, mudah-mudahan Pak Wito masih jadi montir di sana.  Montir tua itu selalu sabar menjawab pertanyaan kritis Sarwati.

Tiba-tiba, Sarwati menyadari keanehan pada kopernya.  Mengapa kopernya terasa ringan?  Padahal Sarwati menempatkan lusinan baju untuk kemenakannya di sana.   Sarwati berjongkok untuk mengamati kopernya lebih seksama.  Alangkah terkejutnya Sarwati sewaktu menyadari ia salah mengambil koper.

“Astaghfirullah, ini koper branded.  Pasti ketuker sama punyanya cewek itu,” seru Sarwati.

“Ada yang bisa dibantu, Mbak?” tanya seorang Petugas Stasiun yang kebetulan lewat di dekat Sarwati.

“Anu Mas, tampaknya koper saya  ketuker dengan punya penumpang lain.”

“Oalah, Mbak tahu orangnya?”

“Tahu Mas, dia kebetulan duduk di sebelah saya.”  Tubuh Sarwati terasa lemas karena cemas.  Bagaimana bila wanita itu melaporkan dirinya ke polisi?  Bisa saja Sarwati dianggap sengaja menukar kopernya dengan yang lebih mahal.

“Mbak, mbak, jangan pingsan dong!”  Petugas Stasiun buru-buru menahan tubuh Sarwati yang nyaris jatuh ke lantai peron.

Sarwati lantas dipapah oleh petugas stasiun  ke kantornya.  “Nah, duduklah di sini! Saya mau bikin teh manis untuk Mbak.”  Pria itu mendudukan Sarwati di sebuah sofa berwarna kelabu.

“Nggak usah Mas.  Saya masih kuat puasa.  Sayang, tinggal dua jam lagi,” kata Sarwati sambil memijiti keningnya.

“Jangan dipaksakan kalau nggak kuat,” kata  petugas stasiun dengan suara lembut.   Kelembutannya memikat Sarwati.  Gadis itu lantas menatap wajah petugas stasiun dan...terkesima akan ketampanannya.

“Insya Allah kuat.  Ngomong-ngomong, koper ini mau saya tinggal di sini saja.  Siapa tahu ada yang cari.”  Sarwati ingin segera pergi dari hadapan pemuda ganteng itu.  Ia enggan terjerat harapan semu.

“Bagaimana kalau Mbak menunggu di sini sampai waktu berbuka.  Jadi, kalau orangnya muncul, Mbak bisa langsung tukaran koper.”

“Oh ya, ide  bagus tuh.”

“Monggo,  istirahatlah di ruangan ini!  Ehm...bagaimana kalau kita bukber?” Petugas itu menatap Sarwati dengan mimik memohon.

Jantung Sarwati berdentam lebih keras saat ditatap seperti itu.  “Boleh,” jawab Sarwati dengan suara bergetar.

“Oke, saya akan kembali bertugas.  Nggak apa-apa kalau mau selonjoran.  Bebas kok,” kata si ganteng sambil beranjak keluar ruangan.

Sepeninggal petugas ganteng, Sarwati merebahkan diri di sofa nyaman itu.  Rasa kantuk langsung menderanya.  Perlahan, Sarwati memasuki dunia mimpi.   Tapi, kok ada suara ribut ya? Sarwati terjaga dan segera merapikan busananya.

Sang petugas ganteng memasuki ruangan bersama dua orang polisi.  Kedua polisi itu memegangi lengan wanita glamor, teman seperjalanan Sarwati.

“Saya tidak bersalah, tolong lepaskan saya!”  Wanita glamor berusaha melepaskan dirinya dari cengkeraman polisi.

“Apakah koper ini kepunyaan Mbak?” tanya Petugas Stasiuan sambil menunjuk koper di dekat Sarwati.

“Itu bukan punya saya,” elak wanita glamor.

“Alhamdulillah, ketemu juga koper saya.” Sarwati menghampiri koper yang tengah dipegang si wanita glamor.

“Jangan sembarangan, ya!  Ini koper saya,” sergah wanita glamor itu.

“Kalau saya bisa menebak isinya, berarti koper itu milik saya,” kata Sarwati, tenang.

“Apa isi koper yang dipegang Mbak ini?” tanya polisi bernama Senopati pada Sarwati.

“Dua lusin baju anak.  Tiga set mukena baru.  Tiga baju koko.  Bagian dalam tas menyimpan lima amplop yang bertuliskan Ibu, Bapak, Mbah Kung, Mbah Ti dan Bude Nung,” papar Sarwati dengan wajah berbinar.

Senopati menggeledah koper yang diduga milik Sarwati dengan gesit.  Ternyata....isinya sesuai dengan pemaparan Sarwati.

“Oke, ini memang tas Anda,” tegas Polisi.  Sarwati gembira mendengarnya hingga nyaris meloncat-loncat.

“Mari kita lihat, apakah isi tas yang satunya?” tanya polisi bernama Sembiring.  Ia memandang wanita glamor dengan sorot jahil.

“Hanya kue-kue saja.”  Si wanita glamor tampak ketakutan.

Sembiring segera menggeledah koper milik wanita glamor.  Isinya memang beberapa stoples kue puteri salju.  Tapi, Sembiring tak mudah percaya.  Ia membuka salah satu stoples, lalu mengambil sebuah kue.  Karena tidak berpuasa, Sembiring bisa menjilati serbuk putih yang menyelimuti kue.

“Aha,  Anda bisa bikin kue dengan serbuk heroin, ya?” Sembiring tertawa sumbang.

“I..itu bukan punya saya.  Titipan teman.”  Wanita glamor kian ketakutan.

“Mari ikut kami ke kantor Polsek!  Ketahuilah, komplotan Anda sudah lama kami incar.”  Senopati dan Sembiring menggelandang wanita glamor ke kantor Polsek terdekat.  Wanita itu hanya bisa pasrah menerima akibat perbuatannya.

“Oh, peristiwa yang luar bisa.  Untunglah koper cewek itu nggak sempat aku bawa ke rumah.”  Sarwati tersenyum lega.

“Makanya, lain kali jangan ceroboh!” nasehat petugas ganteng.  Ia melihat jam tangannya dan terkejut kala menyadari waktu berbuka tinggal duapuluh menit lagi.

“Wah, kita harus segera cari tempat bukber nih.  Kalau telat, bisa kehabisan tempat.” Petugas ganteng tanpa sungkan merengkuh lengan Sarwati.

“Eh Mas, belum kenalan kok udah pegang-pegang sih?” Sarwati melepaskan dirinya dari rengkuhan petugas ganteng.  Wajah gadis itu semerah kepiting rebus.

“Oh iya.  Namaku Prasetyo.  Kamu?”

“Namaku Sarwati.  Panggil saja Wati.”

“Wati, kita sudah kenalan.  Boleh gandengan nggak?” tanya Prasetyo, iseng.

Sarwati mendelik sewot.  “Boleh, kalau kamu sudah melamarku, ups.”  Sarwati menutup mulutnya yang berhianat.

Prasetyo tertawa riang.  “Siap, tampaknya setelah lebaran nanti, kamu nggak perlu balik ke Jakarta,” kata Prasetyo dengan suara dalam.  Entah mengapa, Sarwati memercayai kata-kata pria yang baru dikenalnya itu.


TAMAT

Catatan :

Angkringan adalah gerobag dorong yang berisi makanan 
dan minuman dengan harga terjangkau.  Biasa terdapat
di pinggiran jalan kota Yogya dan sekitarnya.
Makanan yang dijual adalah nasi kucing, gorengan,
sate usus ayam, sate telur puyuh, keripik, dan lainnya.
Minumannya adalah teh, kopi wedang jahe dan susu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar