Sabtu, 01 Agustus 2015

Bulan Biru




Karya Fiksi Fabina Lovers



“Cintaku, berjanjilah, kita akan bertemu lagi di tempat ini saat bulan biru itu kembali!  Lantas kita akan memintal benang asa menjadi lembaran kisah indah.  Saat itu, aku telah bergelar Master.  Master Manajemen sekaligus Master Cinta untukmu.”  Jay tertawa renyah lalu mengecup punggung tangan Zara.  Bulan Biru yang sebenarnya berwarna merah, menyaksikan janji mereka di kejauhan.

Itu terjadi dua setengah tahun lalu.  Tahun-tahun penuh tekanan rindu.  Zara dilarang menemui Jay selama hari-hari penantian itu.

“Mama melarangku berteman dekat dengan wanita sebelum aku lulus S2,” kata Jay waktu itu. “Bersabarlah Sayang, semua akan indah pada waktunya.”

Zara setia menanti hari pertemuan mereka.  Hingga bulan biru kembali hadir di langit Pangandaran.  Hari masih sore saat Zara tiba di pantai itu.  Menyaksikan bola surya tenggelam di birunya samudera.  Perlahan-lahan, dewi purnama muncul.  Paras bulatnya berbinar di langit kelam.  Sang Dewi muncul di luar kebiasaannya.  Seharusnya dia muncul pada tanggal empat belas bulan hijriah.  Namun, kali ini dia muncul lebih awal.  Karenanya dia dijuluki bulan biru.

Tepat pukul tujuh malam, sosok itu muncul di kejauhan.  Tertatih-tatih menghampiri Zara.  Walaupun telah dua tahun tak berjumpa, Zara mengenali sosok kekasihnya.  Dia tahu pria itu bukan Jay.

“Selamat malam, ini Zara ya?” tanya pria bermantel panjang itu.  Kepalanya yang berambut gondrong tertutup topi kanvas.

Zara mengangguk samar.  Rasanya ingin kabur dari sosok asing yang terlihat mengancam itu.

“Jangan takut, aku nggak akan menyakitimu.  Benarkah malam ini kamu mau ketemu Jay?” Pria itu bersandar di pohon cemara dekat tempat duduk Zara, lalu menyalakan rokoknya.

“Betul, Anda siapa?” Zara bertanya tanpa menatap lawan bicaranya. Tangannya mengibaskan kepulan asap rokok yang menghampiri penciumannya.

“Hanya seorang teman yang juga ingin ketemu Jay.”

“Oh ya.”

“Tapi, aku nggak akan menampakan diri.  Biar jadi kejutan.  Lihatlah, dia sudah datang!”  Pria bertopi kanvas menghilang dalam kegelapan.

“Zara...aku rindu kamu.”  Jay membentangkan sepasang lengannya.  Zara pun membenamkan dirinya dalam pelukan Jay.

“Aku takut sekali Jay, ada cowok misterius yang mengaku temanmu,” kata Zara sambil menyandarkan kepalanya di dada Jay.

Jay merenggangkan pelukannya lalu meraih dagu kekasihnya.  “Tak ada seorang pun yang bisa menyakitimu selama aku ada di dekatmu.” 

“Oh Jay, betapa beruntungnya aku memilikimu.  Apa saja yang kamu lakukan selama kita tak bertemu?”  Zara mengajak Jay duduk di bangku semen.  Jemari mereka bertautan.

“Aku kuliah sambil berbisnis.  Lumayanlah, untuk tambahan uang saku.  Sekarang aku sedang melamar pekerjaan di beberapa perusahaan asing.”  Jay menunjukan sebuah amplop cokelat tebal ukuran folio.

“Kasih, aku bangga padamu.  Tentunya kamu berhasil lulus S2 dengan nilai bagus.” Zara menepuk pipi kekasihnya.

“Begitulah, Sayang.”  Jay meremas tangan Zara yang masih bertengger di pipinya.  Wajah mereka kian mendekat, bagai dua kutub magnet yang berbeda.  

“Angkat tangan!  Jatuhkan senjata anda!”  Sepasukan polisi tiba-tiba telah mengepung mereka. 

Zara ketakutan.  Sementara Jay menjatuhkan pistol yang tersimpan di balik jaketnya.  Polisi lantas meringkus Jay berikut amplop cokelat yang tadi ia tunjukan pada Zara.   Saat Zara akan diringkus, pria berambut gondrong muncul dari kegelapan.

“Perempuan ini nggak usah ditangkap, dia nggak bersalah!” kata si rambut gondrong.

Para polisi menurut.  Zara urung ditangkap.  Tapi, Jay yang malang digelandang dengan tangan terborgol.  Pemuda itu tampak pasrah.

“Zara, masihkah kau mencintainya?  Pemuda itu pembohong.   Dia nggak pernah lulus S2.  SMA saja nggak tamat kok. ”  Si gondrong berbicara dengan nada suara yang akrab di telinga Zara.

“Aldi?”

Sosok gondrong itu tertawa,  membuka wig dan mantel panjangnya, lalu duduk di sisi Zara.  “Zara, kamu memang gampang tertipu.”

“Mungkin aku bodoh.  Tapi cintaku tak akan beralih dari Jay.  Aku mencintainya apa adanya,” kata Zara dengan suara kering.

“Sekalipun dia udah punya isteri dan dua orang anak?”

Zara menatap Aldi dengan mulut separuh terbuka.  “Kamu punya bukti?”

 “Ini buktinya.” Aldi meletakkan setumpuk foto ukuran kartupos di sisi Zara. 

Melalui penerangan cahaya bulan biru, Zara mengamati lembar demi lembar foto itu.  Jay sedang menyetir mobil boks.  Jay berduaan dengan seorang pramuria berbusana minim.  Jay bersama wanita bermata sayu dan dua orang balita.   Jemari Zara gemetaran saat ia menatap foto terakhir.

“Dari mana kamu dapatkan foto-foto ini?”

“Dari para agen kami.  Jay adalah target operasi kami dua tahun terakhir ini.  Dia pengedar narkoba yang licin seperti belut.”

Zara menutup wajahnya dan mulai terisak.  “Tinggalkan aku seorang diri, Aldi!”

Aldi menghela napas berat seraya menatap iba  teman SMA-nya.  Zara, cinta sejati bukanlah ungkapan kata-kata manis.  Cinta sejati adalah rangkaian perbuatan nyata demi kebahagiaan sang pujaan hati.” 

Zara melihat Aldi berlalu dari hadapannya dengan langkah gontai.   Zara tahu, sang intel polisi memendam cinta padanya.  Cinta yang tak pernah terbalas.  Ah, mengapa cinta biasa jatuh di tempat yang salah?  Di kejauhan,  bulan biru bersemayam anggun di atas tahtanya.  Menyaksikan tragedi dan romansa anak manusia.

TAMAT

Catatan :

Fenomena bulan biru terjadi  pada jumat malam, tanggal 31 Juli 2015.  Informasi lengkapnya bisa dilihat di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar