Minggu, 12 Juli 2015

Lebaran Mursid

Ketupat (wahyuinqatar.com)


Karya Fiksi Fabina Lovers

Mursid bertopang dagu di atas meja kerjanya.   Pikirannya mengembara tak tentu arah.  Kitab  Bulughul Maram yang semula hendak ditelaahnya, terbuka begitu saja.  Padahal ia tengah menjalani sepuluh hari terakhir di bulan ramadhan.  Hari-hari penuh pengampunan yang sebaiknya diisi dengan beramal saleh.  Misalnya bersedekah atau menuntut ilmu yang bermanfaat.

Lantunan sholawat yang menjadi nada dering ponselnya,  terasa menusuk-nusuk gendang telinganya.  Ia enggan menerima telepon dari Penguasa Kabupaten.  Lelaki kecil yang berambisi besar.   

“Mursid, kemana aja sih?  Kenapa baru diangkat?”  Suara berat Penguasa Kabupaten mengandung amarah.

“Ma...maaf Pak, saya baru selesai Dhuha.”  Mursid terpaksa berbohong.  Lenyaplah pahala berpuasanya hari ini.

“Ya sudah.  Bagaimana  keputusanmu?”

“Hm...saya masih belum bisa memutuskan.”

Penguasa Kabupaten tertawa sumbang.  “Sayang sekali.  Menurut saya, kamu berpotensi jadi Sekretaris Daerah.   Tentunya bila kamu menuruti saran saya.”

“Besok saya akan membuat keputusan.”

“Keputusannya harus hari ini.  Ingat Mursid, CV itu milik orang dekatnya RI-1.  Kalau kita memfasilitasi mereka, insya Allah masa depan kita cemerlang.”

“Ya Pak, hari ini saya akan membuat keputusan.”

“Oke, nanti sore kita akan berbuka bersama di tempat biasa.  Mudah-mudahan saat itu kamu sudah bisa ambil keputusan.  Assalamu’alaikum.”  Penguasa Kabupaten mengakhiri percakapan telepon.

“Wa’alaikumussalam.”

Mursid tercenung.  Pikirannya kalut.  Bila menuruti keinginan Penguasa Kabupaten, masa depannya akan cemerlang.  Tapi, beranikah ia melanggar Undang-undang demi kelangsungan karirnya?

“Duar. Hayo yang lagi bengong!  Udah laper ya?” Naura, puteri kedua pasangan Mursid-Komariah, memeluk ayahnya dari belakang.

Mursid meremas tangan anaknya sambil tersenyum.  Sepasang bola mata Naura berbinar ceria.  Saat melihat kejora di mata gadisnya, separuh beban pikiran Mursid hilang.

“Bukannya kamu yang nggak puasa?  Datang bulannya lama amat sih?” goda Mursid.

“Ih Ayah, baru juga empat hari.”  Naura bergelayut manja di lengan ayahnya.

“Awas, jangan kelamaan nggak puasa!  Nanti hutang puasanya banyak.  Susah lho bayar hutang puasa di luar bulan ramadhan.  Godaannya besar.”

“Tenang Yah, Naura udah tahu kewajiban bayar hutang puasa kok.”   Naura mengerling jenaka. “Be Te We, Ayah lagi mikirian apa sih?  Kok mukanya jadi berkerut-kerut begitu?  Awas, nanti cepat tua!”

“Kepo deh kamu,” kata Mursid sambil mengedipkan sebelah matanya.

“Yey, kalau antara anak dan orang tua nggak ada istilah kepo.  Oke, ceritakan saja masalah Ayah!  Bisa jadi anakmu ini punya solusinya.”  Naura memasang tampang serius.

Mursid tergelak.  Tapi, ia tergerak untuk menceritakan masalahnya pada Naura.  Seluruh beban pikirannya seolah lenyap saat ia selesai bercerita.

“Kalau menurut aku sih, sebaiknya Ayah tidak menandatangani permohonan rekomendasi alih fungsi hutan itu.  Bahaya lho.  Bisa-bisa Ayah masuk penjara karena telah melanggar Undang-undang,” saran Naura, mahasiswi semester dua di Fakultas Hukum.

“Tapi, kalau Ayah menolak permintaan Pak Bupati, jabatan Ayah akan dicopot.”

“Biarin aja nggak punya jabatan.  Yang penting Ayah tetap jadi PNS.”

“Kalau nggak punya jabatan, penghasilan Ayah akan berkurang dalam jumlah besar.  Memangnya kamu bisa makan sederhana?  Kemana-mana naik angkot?  Nunggak bayaran kuliah karena Ayahmu ini kehabisan uang?”

Naura terdiam beberapa saat.  Keningnya berkerut-kerut.  “Hm, bingung juga ya?  Bagaimana menurut Ayah sendiri?”

“Ayah akan menandatangani permohonan rekomendasi itu.  Menurut Pak Bupati, rekanan kami adalah orang dekatnya RI-1.  Nggak mungkin  penegak hukum berani menindak mereka.  Mudah-mudahan bisnis kami aman dan lancar.”

“Amin.  Semoga sukses, Yah.  Kapan penandatanganannya?”

“Nanti sore.  Sekalian buka bersama di resto langganan kami.”

“Ikut dong, Yah,” kata Naura, iseng.

Mursid pura-pura cemberut.  “Weleh...weleh...nggak puasa kok mau ikutan buka bersama?”
****

Komariah dan Mursyid berpelukan sambil menangis.  Ketiga puteri mereka, Salma-Naura-Qanita, memandangi kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca.  Mereka tak pernah membayangkan ayah mereka berlebaran di penjara.

“Sudahlah Yah, tak perlu kita sesali yang telah terjadi!  Makanlah dulu!  Ibu bawakan ketupat dan opor ayam kampung kesukaan Ayah,” Komariah menyodorkan sepiring ketupat-opor pada suaminya.

Mursid menerima piring yang disodorkan isterinya.  “Anak-anak, ayo makan bersama!  Anggap saja  ayah kalian sedang masuk pesantren.”  Mursid mencoba bercanda.

Ketiga anaknya tersenyum miris.  “Ayah memang masuk pesantren.  Di sini, Ayah bisa khatam Quran sebulan sekali sekaligus memperdalam ilmu agama,” imbuh Salma, puteri sulung Mursid.

Mereka makan ketupat-opor dalam diam.   Kronologi penangkapan Mursid kembali terbayang.  Saat itu, Mursid dan Pak Bupati telah selesai berbuka bersama dengan pihak CV.  Setelah menandatangani rekomendasi alih fungsi hutan lindung, mereka menerima kardus bergambar jeruk dari perwakilan CV.  Kardus itu berisi uang sebesar  5 (lima)  milyar rupiah sesuai kesepakatan.  Tiba-tiba saja, beberapa pengunjung restoran menghampiri meja mereka sambil menunjukan tanda pengenal KPK.

“Harap ikut kami, Anda tertangkap tangan melakukan penyalahgunaan wewenang jabatan!” tukas seorang pria berambut cepak.

“Nauran, maafkan Ayah.   Seandainya ayah mengikuti saranmu, semua ini tak akan terjadi.  Sekarang ayah diberhentikan dari PNS,” kata Mursid, terbata-bata.

Naura menggenggam tangan ayahnya.  “Tak ada yang perlu disesali.  Kita ambil saja hikmanya, Yah!”

“Bu, ayah nggak dapat pensiun.  Bagaimana kelanjutan pendidikan anak-anak kita?”  Mursid tak berani menatap wajah isterinya.

Wanita berwajah teduh itu tersenyum.  “Ibu yakin, Allah akan memberi rejeki selagi kita berusaha.  Ibu akan menyediakan jasa katering bagi karyawan pabrik makanan ringan di dekat rumah kita.  Mudah-mudahan barokah.”

“Oh Bu, I love you full.”  Mursid  memeluk dan menciumi kepala isterinya.


-          T A M A T -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar