Karya Fiksi Fabina Lovers
Mursid
bertopang dagu di atas meja kerjanya.
Pikirannya mengembara tak tentu arah.
Kitab Bulughul Maram yang semula
hendak ditelaahnya, terbuka begitu saja.
Padahal ia tengah menjalani sepuluh hari terakhir di bulan ramadhan. Hari-hari penuh pengampunan yang sebaiknya
diisi dengan beramal saleh. Misalnya bersedekah
atau menuntut ilmu yang bermanfaat.
Lantunan
sholawat yang menjadi nada dering ponselnya, terasa menusuk-nusuk gendang telinganya. Ia enggan menerima telepon dari
Penguasa Kabupaten. Lelaki kecil yang
berambisi besar.
“Mursid,
kemana aja sih? Kenapa baru diangkat?” Suara berat Penguasa Kabupaten mengandung
amarah.
“Ma...maaf
Pak, saya baru selesai Dhuha.” Mursid
terpaksa berbohong. Lenyaplah pahala berpuasanya
hari ini.
“Ya
sudah. Bagaimana keputusanmu?”
“Hm...saya
masih belum bisa memutuskan.”
Penguasa
Kabupaten tertawa sumbang. “Sayang
sekali. Menurut saya, kamu berpotensi
jadi Sekretaris Daerah. Tentunya bila kamu menuruti saran saya.”
“Besok
saya akan membuat keputusan.”
“Keputusannya
harus hari ini. Ingat Mursid, CV itu
milik orang dekatnya RI-1. Kalau kita
memfasilitasi mereka, insya Allah masa depan kita cemerlang.”
“Ya
Pak, hari ini saya akan membuat keputusan.”
“Oke,
nanti sore kita akan berbuka bersama di tempat biasa. Mudah-mudahan saat itu kamu sudah bisa ambil
keputusan. Assalamu’alaikum.” Penguasa Kabupaten mengakhiri percakapan
telepon.
“Wa’alaikumussalam.”
Mursid
tercenung. Pikirannya kalut. Bila menuruti keinginan Penguasa Kabupaten,
masa depannya akan cemerlang. Tapi,
beranikah ia melanggar Undang-undang demi kelangsungan karirnya?
“Duar.
Hayo yang lagi bengong! Udah laper ya?” Naura,
puteri kedua pasangan Mursid-Komariah, memeluk ayahnya dari belakang.
Mursid
meremas tangan anaknya sambil tersenyum.
Sepasang bola mata Naura berbinar ceria.
Saat melihat kejora di mata gadisnya, separuh beban pikiran Mursid
hilang.
“Bukannya
kamu yang nggak puasa? Datang bulannya
lama amat sih?” goda Mursid.
“Ih
Ayah, baru juga empat hari.” Naura
bergelayut manja di lengan ayahnya.
“Awas,
jangan kelamaan nggak puasa! Nanti
hutang puasanya banyak. Susah lho bayar hutang
puasa di luar bulan ramadhan. Godaannya
besar.”
“Tenang
Yah, Naura udah tahu kewajiban bayar hutang puasa kok.” Naura mengerling jenaka. “Be Te We, Ayah lagi
mikirian apa sih? Kok mukanya jadi
berkerut-kerut begitu? Awas, nanti cepat
tua!”
“Kepo
deh kamu,” kata Mursid sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Yey,
kalau antara anak dan orang tua nggak ada istilah kepo. Oke, ceritakan saja masalah Ayah! Bisa jadi anakmu ini punya solusinya.” Naura memasang tampang serius.
Mursid
tergelak. Tapi, ia tergerak untuk menceritakan
masalahnya pada Naura. Seluruh beban
pikirannya seolah lenyap saat ia selesai bercerita.
“Kalau
menurut aku sih, sebaiknya Ayah tidak menandatangani permohonan rekomendasi
alih fungsi hutan itu. Bahaya lho. Bisa-bisa Ayah masuk penjara karena telah melanggar
Undang-undang,” saran Naura, mahasiswi semester dua di Fakultas Hukum.
“Tapi,
kalau Ayah menolak permintaan Pak Bupati, jabatan Ayah akan dicopot.”
“Biarin
aja nggak punya jabatan. Yang penting
Ayah tetap jadi PNS.”
“Kalau
nggak punya jabatan, penghasilan Ayah akan berkurang dalam jumlah besar. Memangnya kamu bisa makan sederhana? Kemana-mana naik angkot? Nunggak bayaran kuliah karena Ayahmu ini
kehabisan uang?”
Naura
terdiam beberapa saat. Keningnya
berkerut-kerut. “Hm, bingung juga
ya? Bagaimana menurut Ayah sendiri?”
“Ayah
akan menandatangani permohonan rekomendasi itu.
Menurut Pak Bupati, rekanan kami adalah orang dekatnya RI-1. Nggak mungkin
penegak hukum berani menindak mereka.
Mudah-mudahan bisnis kami aman dan lancar.”
“Amin. Semoga sukses, Yah. Kapan penandatanganannya?”
“Nanti
sore. Sekalian buka bersama di resto
langganan kami.”
“Ikut
dong, Yah,” kata Naura, iseng.
Mursid
pura-pura cemberut. “Weleh...weleh...nggak
puasa kok mau ikutan buka bersama?”
****
Komariah
dan Mursyid berpelukan sambil menangis.
Ketiga puteri mereka, Salma-Naura-Qanita, memandangi kedua orang tuanya
dengan mata berkaca-kaca. Mereka tak
pernah membayangkan ayah mereka berlebaran di penjara.
“Sudahlah
Yah, tak perlu kita sesali yang telah terjadi!
Makanlah dulu! Ibu bawakan
ketupat dan opor ayam kampung kesukaan Ayah,” Komariah menyodorkan sepiring ketupat-opor pada suaminya.
Mursid
menerima piring yang disodorkan isterinya.
“Anak-anak, ayo makan bersama!
Anggap saja ayah kalian sedang
masuk pesantren.” Mursid mencoba
bercanda.
Ketiga
anaknya tersenyum miris. “Ayah memang masuk pesantren. Di sini, Ayah bisa khatam
Quran sebulan sekali sekaligus memperdalam ilmu agama,” imbuh Salma, puteri
sulung Mursid.
Mereka
makan ketupat-opor dalam diam. Kronologi penangkapan Mursid kembali
terbayang. Saat itu, Mursid dan Pak
Bupati telah selesai berbuka bersama dengan pihak CV. Setelah menandatangani rekomendasi alih
fungsi hutan lindung, mereka menerima kardus bergambar jeruk dari perwakilan
CV. Kardus itu berisi uang sebesar 5 (lima) milyar rupiah sesuai kesepakatan. Tiba-tiba saja, beberapa pengunjung restoran menghampiri
meja mereka sambil menunjukan tanda pengenal KPK.
“Harap
ikut kami, Anda tertangkap tangan melakukan penyalahgunaan wewenang jabatan!” tukas
seorang pria berambut cepak.
“Nauran,
maafkan Ayah. Seandainya ayah mengikuti saranmu, semua ini
tak akan terjadi. Sekarang ayah
diberhentikan dari PNS,” kata Mursid, terbata-bata.
Naura
menggenggam tangan ayahnya. “Tak ada
yang perlu disesali. Kita ambil saja
hikmanya, Yah!”
“Bu,
ayah nggak dapat pensiun. Bagaimana
kelanjutan pendidikan anak-anak kita?” Mursid
tak berani menatap wajah isterinya.
Wanita
berwajah teduh itu tersenyum. “Ibu
yakin, Allah akan memberi rejeki selagi kita berusaha. Ibu akan menyediakan jasa katering bagi
karyawan pabrik makanan ringan di dekat rumah kita. Mudah-mudahan barokah.”
“Oh
Bu, I love you full.” Mursid memeluk dan menciumi kepala isterinya.
-
T
A M A T -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar