Jumat, 28 Agustus 2015

Pembalasan Sempurna

 

Karya Fiksi Fabina Lovers
Malam beranjak tua.  Kukuk burung hantu mendirikan bulu roma.  Sesuatu yang menyerupai bintang berekor terbang di keheningan malam, lalu menjatuhkan diri pada atap sebuah ruko.  Bintang berekor menembus plafon ruko dan merasuki tubuh Yanto.  Pemilik bengkel per mobil itu sontak terjaga.  Ia memegangi tenggorokannya yang terasa panas.

“Ma, Ma...bangun Ma, uhuk...uhuk...” Yanto terbatuk dan mengeluarkan darah segar dari mulutnya.

“Ya Tuhan, Papa kenapa?” Btari  panik saat melihat suaminya bersimbah darah.  Perempuan itu meraih ponsel dari laci tempat tidurnya, lalu menelepon dokter langganan mereka.

“Sabar ya Pa, sebentar lagi dokter datang.”  

Btari membersihkan darah yang menempel di mulut dan leher suaminya dengan handuk basah.  Air matanya tak putus mengalir.  Ia tak pernah membayangkan musibah ini terjadi pada suaminya.  Yanto tak punya riwayat penyakit dalam.  Mustahil dirinya muntah darah.

Yanto terbatuk-batuk lagi.  Kali ini darah yang dikeluarkannya lebih banyak.  Untunglah Btari telah menyiapkan ember untuk wadahnya. 

“Asyhadu an-laa ilaa ha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadan-rasuulullaah...Ma, papa udah nggak kuat lagi.”  Yanto terkulai di tempat tidurnya.

“Papa, Papa...tahan Pa... aduh Dokter Wijaya kok belum datang, sih.”   

Btari menyelimuti tubuh suaminya, dan berusaha menelepon lagi dokter mereka.  Saat itulah bel tamu berdering.  Btari buru-buru turun ke bagian bawah bangunan yang berfungsi sebagai bengkel.   Ia berharap Dokter Wijaya yang datang.  Btari menghembuskan napas lega saat melihat siluet Dokter Wijaya dari balik jendela.

“Ada apa Pak Yan...”  Dokter Wijaya nyaris berteriak sewaktu melihat kondisi Yanto.  Wajah dan sekujur tubuh pria itu membiru.

“Innalillahi...Bu Yanto, mohon maaf, saya tak bisa menolong Bapak,” kata Dokter Wijaya seusai meraba nadi Yanto.  Btari tak kuat lagi membendung duka hatinya.  Tubuh langsingnya berdebam di lantai kamar.

*****
Telah dua bulan Yanto meninggalkan dunia fana ini.  Keluarga besarnya berduka.  Terlebih ibunya yang berusia enampuluh lima tahun.  Yanto berbakti pada ibunya, dan menyayangi saudara-saudaranya.  Ia tak pernah menolak permintaan tolong dari kerabatnya.

“Bu, saya mau pulang kampung saja.  Saya udah nggak betah tinggal di ruko.  Bayang-bayang Mas Yanto selalu menghantui saya,” kata Btari dalam sebuah kunjungan ke rumah mertuanya.

“Btari, tinggallah bersama ibu di rumah ini.  Kamu sudah ibu anggap anak sendiri,” pinta Bu Salim.

“Terima kasih, Ibu baik sekali.  Tapi, emak juga ingin ditemani saya.  Beliau merasa kesepian sejak Abah berpulang setahun lalu.”

“Kalau begitu, ibu tidak bisa memaksamu.  Cuma ibu bingung, siapa yang akan mengelola bengkel per mobil peninggalan suamimu?  Prospek bengkel itu bagus lho.  Berapa omsetnya per hari, Nak?”

“Enam juta rupiah, Bu.”

“Masya Allah, besar tuh.  Btari, apakah kamu benar-benar ingin pulang kampung? Kamu mau kerja apa di sana?  Apa Rafi betah tinggal di rumah ibumu?  Bagaimana kalau dia ingin ke mall?”

“Saya mau bantu emak jaga warung.  Tentang Rafi, dia akan segera terbiasa tinggal di kampung.  Anak kecil mudah beradaptasi kok, Bu.”

Bu  Salim menghembuskan napas berat.  “Okelah kalau begitu.  Biar Tora yang meneruskan usaha Yanto.  Toh bengkel itu masih warisan ayah kalian.”

“Setuju Bu, Mas Tora pernah minta ijin meneruskan usaha peninggalan almarhum.  Mbak Kenanga juga nggak keberatan tinggal di ruko.”

“Btari,”  Bu Salim menggenggam tangan menantunya.  “Sering-sering main kemari, ya!”

“Insya Allah, Bu.”  Btari mencium punggung tangan mertuanya penuh hikmat
*****

Wanita muda itu tampaknya sedang menunggu seseorang.  Ia mengenakan wig model bob berwarna cokelat gelap dan kacamata hitam besar.   Barangkali untuk menyembunyikan jati dirinya.

“Ehem, lagi nungguin aku ya?” sapa seorang pria berambut kribo dan berkacamata hitam.

“Marsel, kamu kok ikut-ikutan nyamar?” tanya wanita itu, setengah berbisik.

Honey, aku nggak mau keluargamu mengetahui hubungan kita.  Bisa-bisa kematian misterius itu dihubungkan dengan kebersamaan kita.” Marsel duduk di hadapan si wanita muda lalu memegang tangannya.

“Kamu memang cerdik, sayang.  Love you so much.”  Wanita muda  meletakan tangan Marsel di pipinya.  Sama sekali tak merasa risih.   Dia yakin seluruh pengunjung kafe sibuk dengan kegiatan masing-masing, dan tidak memerhatikan dirinya. 

So, kamu  sudah berkunjung lagi ke gurumu?” Marsel membelai pipi kekasihnya. 

“Ya sayang.  Sebentar lagi kita akan menjadi pasangan milyarder paling romantis.” Wanita muda itu tersenyum manis.  Lantas sebuah lagu lawas mengalun  dari celah bibir sensualnya.     And now,  I do believe that even in the storm we find some light.  Knowing you beside me I’m alright.’

Honey, ayo segera ke mobilku.  Aku kangen kamu.”  Marsel setengah menyeret kekasihnya keluar kafe.

****
Kenanga tak menangis saat melihat jenazah Tora dimakamkan.  Rasanya seperti bermimpi.  Baru saja mereka merayakan lebaran bersama keluarga besar suaminya.  Saat itu suaminya terlihat bugar dan bahagia.  
Beberapa hari setelah lebaran, suaminya mengeluhkan rasa sakit di dadanya.  Saat suaminya memeriksakan diri ke dokter, tak ditemukan kelainan apapun.  Jantung dan paru-parunya berfungsi dengan baik.  Hasil pemeriksaan sampel darah pun normal.  Tak mengindikasikan keberadaan suatu penyakit  di tubuh suaminya.  Anehnya, rasa sakit itu kian tak tertanggungkan.  Hingga suaminya harus meregang nyawa saat matahari muncul di cakrawala.

Dua hari setelah kepergian Tora, keluarga besar Salim mengadakan rapat.  Anak, cucu dan menantu  menghadiri rapat keluarga, kecuali Kenanga.

“Kemana Kenanga?” tanya Bu Salim yang bermata sembab.  Kentara benar bila dua hari terakhir ini Bu Salim sering menangis.

“Pulang kampung, Bu.  Katanya, takut tinggal sendirian di ruko.  Dia dapat ancaman dari seseorang yang tak dikenalnya,” kata Hendra, anak ketiga dari kelima anak keluarga Salim.

“Kok nggak pamitan ke Ibu?” tanya Bu Salim sambil mengerutkan kening.

“Kayaknya Mbak Kenanga  buru-buru.  Pamit ke saya pun lewat SMS.  Mungkin udah nggak tahan lagi tinggal di sana,” jelas Hendra.

“Nah, karena itulah ibu mengumpulkan kalian di sini.  Ibu pikir, lahan ruko itu pembawa sial bagi keluarga kita.  Ibu nggak mau kehilangan anak lagi gara-gara tinggal di sana.  Lama-lama, anak ibu bisa habis.”  Bu Salim kembali menangis.  Salah seorang menantunya memijat lembut punggung Bu Salim.

“Bagaimana kalau ruko itu kita jual?” usul Maya, si bungsu.

 “Setuju,” ujar seluruh saudaranya, kompak.

“Masalahnya, sertifikat tanahnya disimpan almarhum Tora.   Sebentar,  saya mau ngebel Mbak Kenanga dulu. Pasti dia tahu tempat penyimpanan sertifikat itu.”   Hendra memencet nomor kontak Kenanga di ponselnya, dan menunggu nada panggil.  Namun, tak terdengar nada panggil di ponselnya.   Hanya ada pesan suara semacam ini : ‘maaf,  nomor yang anda panggil berada di luar jangkauan’.

Keringat dingin mulai membanjiri kening Hendra.  “Ya Allah, Mbak Kenanga kok nggak bisa dihubungi, ya?  Mudah-mudahan dia tidak dalam bahaya,” gumam Hendra, panik.

****

Kenanga bersandar di bahu Marsel.  Laut Tiongkok Selatan  terbentang di hadapan mereka.  Mereka tengah menyaksikan ‘pertunjukan’ ikan terbang berlatar birunya lautan.

“Sayangku, ternyata lautan lebih menarik daripada daratan, ya?” desah Kenanga.

“Benar Honey, makanya aku jadi pelaut.” Marsel mengecup kepala kekasihnya yang beraroma buah kiwi.

“Makasih Sayang, berkat bantuanmu, aku berhasil menjual ruko  dengan harga fantastis.”  Kenanga mengecup pipi pujaan hatinya.

“Oh, aku bangga jadi kekasihnya milyarder pintar.  Harusnya Agatha Christie berguru padamu.  Racun arsenik, racun sianida, semua itu mudah dilacak polisi.”

Kenanga terkikik geli.  “Santet guruku tepat sasaran.  Yanto dan Tora pun KO  dalam hitungan menit.  Pantas saja guruku dijuluki  Tyson.”

“Milyarderku yang manis, apakah kamu sudah mengubah  pin ATM-mu?”

“Tentu, Sayang.  Pin-nya sama dengan tanggal lahirmu.   Kamu boleh ambil berapapun yang kamu mau.”  Kenanga menyodorkan sebuah kartu ATM pada Marsel.

“Hati-hati Sayang, nanti aku jatuh ke laut!” jerit Kenanga saat Marsel membopong tubuhnya.

“Memang itu yang akan kulakukan,” kata Marsel sambil melempar tubuh Kenanga ke laut.  Tak seorang pun menyaksikan perbuatannya.  Seluruh penumpang kapal pesiar tengah menikmati makan siang nan mewah di restoran kapal.

Marsel buru-buru menuruni tangga kapal untuk mencapai kabinnya di lantai tiga. “Sekarang, aku jadi milyarder,” gumam Marsel, jumawa. 

Kehilangan Kenanga akan  diumumkannya sekitar pukul lima sore.  Ia akan mengaku ketiduran sepanjang siang dan terkejut saat menyadari ketiadaan Kenanga di sisinya.   Bila perlu, Marsel akan menangis saat memohon pencarian kekasihnya pada kapten kapal.  Ya, Marsel piawai berakting seperti itu. 

Marsel tak menyadari, Pemilik Semesta Raya melihat kejahatannya dan tengah merencanakan pembalasan sempurna untuknya.  Karena  kejahatan  sebesar biji zarah pun akan mendapatkan pembalasan.

-TAMAT-
Catatan :
Agatha Christie (1890 - 1976) adalah pengarang novel bertema pembunuhan. Korban dalam cerita novelnya terbunuh akibat racun arsenik atau sianida.

Tyson adalah panggilan untuk Mike Tyson, petinju legendaris tahun delapanpuluhan yang mahir meng-KO lawannya.

Zarah adalah partikel seukuran atom.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar