Karya Fiksi Fabina Lovers
“Tolong pikirkan sekali lagi
keputusanmu itu, Pa! Anak-anak kita
masih sekolah. Masih butuh banyak
biaya.” Yeni menatap Seno dengan
pandangan memohon.
Seno bergeming, tetap bergumul dengan buku yang baru
dipinjamnya dari perpustakaan umum.
Yeni merebut buku dari tangan
Seno. “Gimana sih? Diajak diskusi malah baca buku. Hargai aku dong!”
“Ma, keputusanku sudah final,
nggak bisa berubah lagi,” tegas Seno. Sorot
matanya membara.
“Oh Tuhan.” Yeni menghempaskan diri di sisi Seno lalu
meremas-remas rambut indahnya.
Seno merangkul bahu isterinya. “Percayalah Ma, aku akan mendapatkan pekerjaan
yang lebih baik. Yang lebih halal. Karena aku tak mau menafkahi kalian dengan
uang haram.”
Yeni menepis lengan
suaminya. “Terserah Papa deh,” ujar Yeni
seraya berlalu ke kamar tidur mereka.
****
Telah lima bulan Seno menjadi
pengangguran. Kebanyakan orang akan
mengatakan Seno bodoh. Saat keluar
dari pekerjaannya, Seno tengah menduduki
jabatan eselon empat di sebuah instansi ‘basah’. Banyak orang mengidamkan posisi Seno. Bahkan bersedia menyogok demi mendapatkan
posisi tersebut. Tapi, Seno malah angkat
kaki dari posisi strategis itu.
“Pa, Ulan udah dua bulan nunggak
SPP,” lapor puteri sulungnya yang baru pulang sekolah.
“Papa tahu. Saran papa, kamu pindah aja ke SMP Negeri. Toh pelajarannya sama dengan di
sekolahmu. Tapi, biayanya terjangkau.” Seno mengusap kepala puterinya yang tertutup
jilbab putih.
“Cape deh! Kata teman SD-ku, guru sekolah negeri malas ngajar.
Terus, ekskulnya nggak asik. Ulan
pasti BT kalau bersekolah di negeri,” ujar Wulan sambil mengernyitkan alisnya
yang tebal.
“Ada apa sih?” Yeni meninggalkan pekerjaannya di dapur untuk
menghampiri mereka.
“Mama, kata Papa, Ulan harus
pindah ke sekolah negeri.” Wulan mengadu
pada mamanya.
“Nggak bisa. Kamu nggak boleh pindah sekolah. Kalau Papamu nggak sanggup bayar SPP, biar
mama yang cari uang,” tukas Yeni sambil mendelik sewot pada Seno.
“Emangnya Mama mau kerja apa?” Risa,
si anak kedua, bergabung dalam
percakapan keluarga.
“Eh, eh, kalian belum tahu ya? Dulu mama pernah jadi model. Sebentar, mama mau menunjukan sesuatu.”
Yeni berlari ke dalam
kamarnya. Sejurus kemudian, Yeni keluar
sambil membawa setumpuk majalah dan tabloid. “Nih, lihat, mama kalian pernah
muda dan cantik!” Yeni menunjukan
foto-foto dirinya saat menjadi model iklan dan cover majalah dengan mimik bangga.
“Aih, Mama dulu nggak pake jilbab
ya?” seru Risa dan Wulan, kompak.
“Ya ampun, Mama seksi
banget. Kok nggak malu sih berpose kayak
gini?” Wulan mengerucutkan bibirnya saat
melihat gambar ibunya mengenakan pakaian renang. Saat itu, Yeni menjadi model iklan wahana wisata air.
Yeni menjadi salah tingkah. “Itu masih wajar, Nak. Tahu nggak, sebenarnya mama diharuskan pakai
bikini? Tapi, mama nggak mau. Bahkan mengancam akan mundur dari proyek
pemotretan kalau harus pakai bikini. Penata gayanya mengalah. Mama boleh pakai baju renang.”
“Dulu, sewaktu mama masih remaja,
jarang banget lihat wanita berhijab.
Uwaknya mama yang udah naik haji aja nggak berhijab kok,” jelas Yeni
dengan suara terbata.
“Mama mau kerja jadi model
berhijab? Hm, menurut aku, saingan mama
tuh banyak. Ada Laudya, Inneke, Zaskia Sungkar, Natasha, Arzeti, haduh
pokoknya banyak banget artis cantik yang berhijab,” kata Risa seraya memandangi
mamanya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
“Jangan salah, ada yang nawarin
mama ikutan sinetron kejar tayang lho.
Mama diminta berperan sebagai ibunya bintang utama,” kata Yeni, jumawa.
“Boleh pake jilbab?” Kali ini Seno yang bertanya.
Yeni mendesah. “Itulah Pa.
Dalam sinetron itu, mama harus lepas jilbab. Tapi, mama berperan sebagai ibu-ibu tua
kok. Rambut mama akan dibuat penuh
uban. Pokoknya penampilan mama nggak
akan menarik perhatian pria. Ijinkan
mama jadi bintang sinetron itu ya, Pa? Please.”
Seno terdiam. “Maaf Ma, Papa akan memberikan ijin hanya
bila Mama berjilbab dalam adegan sinetron.
Sekarang ini produksi sinetron religi sudah banyak. Bahkan artis yang kesehariannya nggak
berjilbab pun, tampil berjilbab dalam
adegan sinetron,” tandas Seno.
Yeni mengumpulkan majalah dan
tabloid yang bertebaran di meja kopi sambil cemberut. “Iya deh, tapi kalau sampai dua bulan ke
depan Papa belum dapat pekerjaan, mama mau ambil semua tawaran sinetron yang
datang. Sekalipun harus berperan jadi
kuntilanak.”
Wulan dan Risa tertawa geli. “Aku punya ide, bagaimana kalau Mama berperan
jadi pocong? Sama-sama setan, tapi
nggak mengumbar aurat,” usul Risa. Seno pun tertawa saat mendengar usulan puteri
keduanya.
Yeni berderap menuju kamar
tidurnya sambil membawa majalah dan tabloid kebanggaannya. Tampangnya semasam belimbing wuluh. ‘Huh,
bapak dan anak sama-sama kampungan,’ Yeni membatin.
****
Seno terbaring lemah di
ranjangnya semasa bujangan. Menurut
dokter, Seno terserang typus dan radang
tenggorokan. Sebenarnya, sumber penyakit
Seno adalah luka hati yang mendalam.
“Jalani semuanya dengan
ikhlas. Inilah takdirmu.” Suara wanita tua itu terdengar manis dan
merdu.
“Maafkan aku yang selalu
merepotkan Ibu,” gumam Seno.
“Sst, jangan bilang begitu! Ketahuilah, ibu selalu bangga padamu. Ibu angkat topi karena kamu keluar dari
pekerjaanmu demi sebuah kejujuran.
Memanipulasi penerimaan negara adalah kejahatan besar. Tak bisa dibenarkan dengan dalih apapun,”
tegas Bu Hasanah.
“Tapi, harga kejujuranku terlalu
mahal...terlalu mahal, Bu.”
Seno melirik taboid gosip yang tergeletak
di meja belajar. Tempo hari, kakak
iparnya membelikan tabloid itu. Tentunya karena yang menjadi model cover tabloid adalah mantan isterinya. Tulisan besar berwarna jingga yang tercetak
di bagian bawah tabloid seolah mengejek Seno.
“PESINETRON YENI LUPITA HAMIL
TANPA SUAMI.”
Seno meninju-ninju kasur dengan
gemas. “Aku menyesali keputusan
pengadilan. Harusnya hak asuh Wulan dan
Risa diserahkan padaku.” Lelaki malang
itu terengah-engah menahan luapan emosi.
“Istighfar, Nak!” Bu Hasanah
mengusap kepala anaknya sambil beristighfar.
Suara bel tamu berkumandang di
seluruh penjuru rumah. Bu Hasanah
buru-buru ke ruang depan untuk membukakan pintu. Sejurus kemudian, Bu Hasanah memasuki kamar
Seno beserta seorang pria tua berkalung serban.
“Assalamu’alaikum Seno,” sapa
pria tua itu.
“Wa’alaikumussalam. Apa kabar, Ustadz Hasyim?” Seno berusaha bangkit dari posisi tidur. Bu Hasanah segera membantu Seno duduk lalu
mengganjal punggung anaknya dengan beberapa buah bantal.
“Ananda sakit apa?” tanya Ustadz
Hasyim dengan suara lembut.
“Sakit hati, Ustadz. Tapi, saya sedang belajar ikhlas menerima
suratan takdir.”
Seno teringat akan rumah dan
mobil yang dijual untuk memenuhi tuntutan Yeni.
Perempuan itu meminta harta gono-gini berikut nafkah bulanan bagi kedua
anak mereka. Karena Seno belum memiliki
penghasilan tetap, ia rela tak kebagian hasil penjualan seluruh asetnya
itu. Bukankah ia berkewajiban menafkahi kedua anak mereka?
“Bagaimana kabar anak-anakmu?”
Seno akan menitikan airmata bila
ditanyakan perihal anak-anaknya. Kedua
puterinya melenceng jauh dari tuntunan agama yang mereka anut. Tidak berhijab di hadapan pria yang bukan
mahramnya. Melalaikan shalat lima waktu. Bergaya hidup mewah. Ah,
Seno menyesali kegagalannya selaku manusia.
Gagal berkarir. Gagal pula membina rumah tangga.
“Jangan menangis, Nak! Kamu nggak sendirian. Nabi Nuh Alaihissalam pun tidak berhasil
membimbing keluarganya. Tetaplah
mendoakan mereka. Semoga Allah
menyemaikan hidayah di hati mereka.”
Mereka terdiam saat mendengar
suara pintu depan terhempas, dan derap langkah kaki di ruang tengah. Tampaknya ada dua pasang kaki yang mendekati
kamar Seno.
“Papa, oh papa...” Wulan dan Risa
menghambur ke dalam kamar sambil menangis.
Kepala mereka mengenakan bergo yang belum disetrika.
“Wulan, Risa, papa rindu kalian.” Seno memeluk kedua anaknya sambil menangis.
“Mana mama kalian?” tanya Bu Hasanah sewaktu huru-hara pertemuan
mereda.
“Kami kabur dari rumah, Oma. Lelaki teman mama itu jahat sekali. Dia...dia mau mem...” Risa terisak, tak
sanggup meneruskan kalimatnya.
“Bolehkah kami ikut Papa? Janji deh, kami nggak akan nyusahin Papa. Bila perlu, kami akan bekerja sambil
sekolah. Asalkan kami bisa tinggal
dengan Papa,” kata Wulan.
“Oh anakku.” Seno kembali memeluk kedua anaknya sambil
menangis. “Papa menerima kehadiran
kalian dengan tangan terbuka. Sekarang
papa punya bisnis kecil-kecilan.
Cukuplah untuk hidup sederhana bersama kalian.”
“Akan lebih memadai bila Ananda
Seno bersedia mengajar di pesantren kami,” imbuh ustadz Hasyim.
“Mengajar di pesantren?” tanya
Seno, bingung.
“Pesantren kami butuh guru
matematika. Saya tahu, Ananda Seno menguasai
ilmu matematika. Sejujurnya, kami tak
sanggup memberi gaji besar. Tapi, kami
menyediakan tempat tinggal dan makanan sederhana bagi para guru. Wulan dan Risa juga boleh bersekolah gratis
di pesantren, bagaimana?”
“Terima aja Pa. Kami ingin sekali masuk pesantren. Biar kami ngerti agama. Jadi, kelakuan kami nggak kacau lagi seperti
waktu tinggal dengan Mama,” cetus Risa, antusias.
Seno memandang Ustadz Hasyim
dengan mata berkabut. “Jazakallah ya Ustadz
Hasyim. Semoga pekerjaan ini membawa
kebaikan bagi kami.”
Nyanyian kenari yang
bertengger pada pohon sawo di halaman belakang terdengar merdu. Seiring alunan puja-puji ke hadirat Illahi nan
meluncur dari lisan Seno. Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada
kemudahan.
-TAMAT -
Catatan :
Bergo adalah kerudung yang bisa langsung dikenakan tanpa peniti.
Jazakallah artinya semoga Allah membalas kebaikanmu
Jazakallah artinya semoga Allah membalas kebaikanmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar