Minggu, 09 Agustus 2015

Miniseri 1 : Rahasia Kakek


Hasil gambar untuk gambar veteran perang kemerdekaan dan bendera

Fiksi Menyambut Hari Kemerdekaan oleh Fabina Lovers



Besok adalah hari peringatan Kemerdekaan Indonesia.  Seluruh kampung mendadak dipenuhi ornamen merah putih.  Aku dan teman sepermainanku mengikuti berbagai lomba berhadiah peralatan sekolah.  Ada lomba makan kerupuk, balap karung, balap kelereng, dan panjat pinang.  Beberapa teman priaku ikut kompetisi sepakbola yang diselenggarakan di lapangan voli kampung.  Karena lapangan voli sempit, tiap tim terdiri dari 6 orang saja.  Kelak setelah pindah ke kota, aku dengar anak-anak gaul menyebutkan futsal untuk permainan bola di lapangan voli.
Berbeda dengan kami, kakakku Anwar yang saat itu berusia duabelas tahun, tak tertarik mengikuti lomba apapun.  Ia lebih suka mengintai aktivitas kakek menjelang peringatan kemerdekaan.  Aku sebut mengintai karena kakek sebenarnya tak suka aktivitasnya itu diperhatikan orang lain.

Satu hari menjelang hari kemerdekaan, kakekku biasa melakukan apel pagi tunggal di halaman belakang.  Pagi-pagi sekali kakek bangun lalu mengenakan seragam veterannya.  Saat matahari terbit, kakek menggerek bendera merah-putih sambil menyenandungkan Indonesia Raya.  Kala bendera merah-putih berkibar sempurna, kakek melakukan penghormatan dengan segenap jiwa-raga.  Mata tuanya tampak berkaca-kaca.
Usai apel pagi, kakek masuk ke gudang yang letaknya juga di halaman belakang.  Tak seorang pun boleh melihat aktivitasnya di sana.  Anwar pernah mengintip kegiatan kakek melalui celah ventilasi gudang.  Waktu itu Anwar memanjat pohon rambutan yang dahannya menjuntai ke dekat ventilasi itu.  Entah karena tubuh Anwar yang berat atau dahannya memang rapuh, tiba-tiba saja  Anwar terpelanting ke tanah.  Suara gedubragnya sangat keras.  Terdengar sampai halaman depan.
“Makanya jangan suka ngintipin aku! Kualat kamu.  Jadinya celaka,” kata Kakek yang buru-buru keluar dari gudang.
Gara-gara jatuh dari pohon, Anwar harus berbaring di tempat tidur selama sebulan penuh.  Ia menderita patah kaki dan geger otak ringan.  Tentunya hal itu menjadi siksaan berat bagi pemuda usia duabelas tahun.  Sejak itu, Anwar  kapok mengutit kakek.  Kami, adik-adiknya pun bertekat mengabaikan kegiatan kakek di gudang.  Kami takut, kalau nekad memata-matai kakek, akan mengalami kecelakaan seperti Anwar.  Karenanya rahasia kakek di gudang nyaris tak terkuak hingga menjelang ajalnya.
“Apa kabar, Kek ?” tanyaku yang baru pulang dari kota.
Kakek melambaikan tangannya, memintaku lebih mendekat.  Kemudian tangan keriputnya merabai wajahku.  Aku tahu, penglihatan kakek sudah kabur akibat katarak.  Makanya kakek berusaha mengenali cucunya melalui pendengaran dan indera peraba.
“Ah, ini memang kamu. Zara, cucu spesialku,” kata kakek dengan suara gemetar.
“Ih kakek, memangnya saya martabak, pake istilah spesial segala.”
“Zara, kamu nggak cantik, tapi banyak pemuda yang naksir kamu.  Itu karena kamu spesial, Nduk.”
“Halah, kakek bisa aja.”  Hatiku mencelos. Aku teringat Jay yang telah membohongiku
“Mata kakek memang rabun, tapi hati kakek bisa melihat semuanya dengan jelas.”
“Ada apa Kakek panggil saya pulang?  Demi kakek, saya mengorbankan deadline lho.  Boss sempat marah ke saya.  Mudah-mudahan saya nggak dipecat.”
“Oh, maafkan kakek, Nduk.”  Kakek meremas lembut tanganku.  “Kakek perlu berbicara denganmu.  Mungkin kakek nggak akan lama lagi tinggal di dunia ini.”
“Jangan bilang begitu, Kek! Siapa tahu kakek masih sempat lihat saya bersanding di bale nyungcung.” Aku berusaha menyenangkan hati kakek.
“Mungkin kamu belum tahu, setiap orang bisa merasakan detik-detik terkahir hidupnya,” kata Kakek dengan pandangan menerawang.
Aku bergidik.  Topik kematian selalu menakutkanku.  Seperti kebanyakan manusia, aku tak siap mati muda.  “Ehm, hal penting apa yang akan Kakek sampaikan pada saya?”
Kakek meraih rangkaian kunci dari bawah bantalnya dan menyerahkannya padaku.  “Bukalah gudang belakang, tolong ambilkan kotak yang ada di dekat tungku menyan!  Bawakan kotak itu kemari!”
“Aduh, jangan saya Kek!”  Aku nyaris melemparkan kunci itu ke lantai.  “Sa..saya nggak mau kualat kayak Mas Anwar dulu.”
Kakek terkekeh geli.  “Kamu nggak akan kualat.  Sudah dapat ijin dari empunya gudang kok.”
“Kenapa nggak minta tolong Mas Anwar saja, Kek?  Sekarang dia ada rumah.  Katanya lagi cuti,” elakku dengan nada sopan.
Kakek mendengus.  “Oh, dia pasti mau banget masuk ke gudang itu.  Menyelidik seluruh isinya.  Lalu, memberitakan semua yang dilihatnya di koran-kuningnya.”
Aku tergelak demi mendengar perkataan kakekku.  Pasti Mas Anwar murka kalau tabloidnya disebut koran kuning.  Tabloid milik Mas Anwar berisi kajian sosial-politik-ekonomi dengan referensi yang kompeten.  Tirasnya cukup baik di tingkat nasional.  Sama sekali bukan koran kuning.
“Kayaknya ada yang nyebut nama saya.”  Mas Anwar tiba-tiba muncul di kamar. 
“Eh, cucu kesayangan Kakek baru pulang.  Apa kabar, Cah Ayu?”  Mas Anwar merangkul bahuku.  “Dengar-dengar kamu baru saja putus dengan mahasiswa abal-abal itu, ya?”
Aku mencubit lengan Mas Anwar sambil cemberut.  “Senang ya bikin adeknya sedih?” gumamku.
“Oke deh, aku nggak akan ngomong kayak gitu lagi.  Makanya, lain kali hati-hati pilih pacar.”  Mas Anwar mengacak-acak rambutku seolah aku ini balita umur lima tahun.
“Zara, ambilkan barang itu sekarang!” kata Kakek, tak sabar.
“Ya Kek, saya segera ke sana.” 
Aku menyeret Mas Anwar yang menatapku dengan kening berkerut hingga tiba di luar kamar kakek.  Aku ingin ditemani Mas Anwar ke gudang.  Tapi, kakek tidak sependapat denganku.
“Jangan coba-coba ajak Anwar kalau nggak ingin kualat,” teriak kakek dari dalam kamarnya.
“Ada apa sih?” tanya Mas Anwar sambil melepaskan lengannya dari cengkeramanku.
“Kakek suruh aku ambil kotak di gudang belakang, tapi aku nggak berani sendirian ke sana.  Kata Mbok Sumi, di sana ada penunggunya,” bisikku.
“Hih, aku juga ogah ke sana.  Selamat menjalankan tugas, Nduk.”  Mas Anwar sontak meninggalkanku.
Jadilah aku melangkah sendirian ke gudang belakang.  Jantungku berdentam lebih keras saat aku tiba di depan pintu gudang.  Tanganku gemetaran hingga nyaris tak bisa memasukkan anak kunci ke lubangnya.  Pikiranku kalut.  Apakah aku akan selamat hingga berhasil membawa kotak itu keluar gudang?  Ataukah aku akan menemui sesuatu yang menakutkan di sana?
-      BERSAMBUNG -
 Catatan : 
  Bale nyungcung adalah bahasa sunda untuk pelaminan.  Cerita ini mengisahkan keluarga asal Jawa Tengah yang tinggal di Jawa Barat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar