Fiksi Menyambut Hari Kemerdekaan oleh Fabina Lovers
Besok adalah hari
peringatan Kemerdekaan Indonesia.
Seluruh kampung mendadak dipenuhi ornamen merah putih. Aku dan teman sepermainanku mengikuti berbagai lomba berhadiah peralatan
sekolah. Ada lomba makan kerupuk, balap
karung, balap kelereng, dan panjat pinang.
Beberapa teman priaku ikut kompetisi sepakbola yang diselenggarakan di
lapangan voli kampung. Karena lapangan
voli sempit, tiap tim terdiri dari 6 orang saja. Kelak setelah pindah ke kota, aku dengar
anak-anak gaul menyebutkan futsal untuk permainan bola di lapangan voli.
Berbeda dengan kami,
kakakku Anwar yang saat itu berusia duabelas tahun, tak tertarik mengikuti
lomba apapun. Ia lebih suka mengintai
aktivitas kakek menjelang peringatan kemerdekaan. Aku sebut mengintai karena kakek sebenarnya
tak suka aktivitasnya itu diperhatikan orang lain.
Satu hari menjelang
hari kemerdekaan, kakekku biasa melakukan apel pagi tunggal di halaman
belakang. Pagi-pagi sekali kakek bangun
lalu mengenakan seragam veterannya. Saat
matahari terbit, kakek menggerek bendera merah-putih sambil menyenandungkan
Indonesia Raya. Kala bendera merah-putih
berkibar sempurna, kakek melakukan penghormatan dengan segenap jiwa-raga. Mata tuanya tampak berkaca-kaca.
Usai apel pagi, kakek
masuk ke gudang yang letaknya juga di halaman belakang. Tak seorang pun boleh melihat aktivitasnya di
sana. Anwar pernah mengintip kegiatan
kakek melalui celah ventilasi gudang.
Waktu itu Anwar memanjat pohon rambutan yang dahannya menjuntai ke dekat
ventilasi itu. Entah karena tubuh Anwar
yang berat atau dahannya memang rapuh, tiba-tiba saja Anwar terpelanting ke tanah. Suara gedubragnya sangat keras. Terdengar sampai halaman depan.
“Makanya jangan suka
ngintipin aku! Kualat kamu. Jadinya
celaka,” kata Kakek yang buru-buru keluar dari gudang.
Gara-gara jatuh dari
pohon, Anwar harus berbaring di tempat tidur selama sebulan penuh. Ia menderita patah kaki dan geger otak
ringan. Tentunya hal itu menjadi siksaan
berat bagi pemuda usia duabelas tahun.
Sejak itu, Anwar kapok mengutit
kakek. Kami, adik-adiknya pun bertekat
mengabaikan kegiatan kakek di gudang.
Kami takut, kalau nekad memata-matai kakek, akan mengalami kecelakaan
seperti Anwar. Karenanya rahasia kakek di
gudang nyaris tak terkuak hingga menjelang ajalnya.
“Apa kabar, Kek ?”
tanyaku yang baru pulang dari kota.
Kakek melambaikan
tangannya, memintaku lebih mendekat.
Kemudian tangan keriputnya merabai wajahku. Aku tahu, penglihatan kakek sudah kabur
akibat katarak. Makanya kakek berusaha
mengenali cucunya melalui pendengaran dan indera peraba.
“Ah, ini memang kamu.
Zara, cucu spesialku,” kata kakek dengan suara gemetar.
“Ih kakek, memangnya
saya martabak, pake istilah spesial segala.”
“Zara, kamu nggak
cantik, tapi banyak pemuda yang naksir kamu.
Itu karena kamu spesial, Nduk.”
“Halah, kakek bisa
aja.” Hatiku mencelos. Aku teringat Jay
yang telah membohongiku
“Mata kakek
memang rabun, tapi hati kakek bisa melihat semuanya dengan jelas.”
“Ada apa Kakek panggil
saya pulang? Demi kakek, saya
mengorbankan deadline lho. Boss sempat marah ke saya. Mudah-mudahan saya nggak dipecat.”
“Oh, maafkan kakek,
Nduk.” Kakek meremas lembut tanganku. “Kakek perlu berbicara denganmu. Mungkin kakek nggak akan lama lagi tinggal di
dunia ini.”
“Jangan bilang begitu,
Kek! Siapa tahu kakek masih sempat lihat saya bersanding di bale nyungcung.” Aku berusaha menyenangkan hati kakek.
“Mungkin kamu belum
tahu, setiap orang bisa merasakan detik-detik terkahir hidupnya,” kata Kakek
dengan pandangan menerawang.
Aku bergidik. Topik kematian selalu menakutkanku. Seperti kebanyakan manusia, aku tak siap mati
muda. “Ehm, hal penting apa yang akan
Kakek sampaikan pada saya?”
Kakek meraih rangkaian
kunci dari bawah bantalnya dan menyerahkannya padaku. “Bukalah gudang belakang, tolong ambilkan
kotak yang ada di dekat tungku menyan!
Bawakan kotak itu kemari!”
“Aduh, jangan saya
Kek!” Aku nyaris melemparkan kunci itu
ke lantai. “Sa..saya nggak mau kualat
kayak Mas Anwar dulu.”
Kakek terkekeh
geli. “Kamu nggak akan kualat. Sudah dapat ijin dari empunya gudang kok.”
“Kenapa nggak minta
tolong Mas Anwar saja, Kek? Sekarang dia
ada rumah. Katanya lagi cuti,” elakku
dengan nada sopan.
Kakek mendengus. “Oh, dia pasti mau banget masuk ke gudang
itu. Menyelidik seluruh isinya. Lalu, memberitakan semua yang dilihatnya di
koran-kuningnya.”
Aku tergelak demi
mendengar perkataan kakekku. Pasti Mas
Anwar murka kalau tabloidnya disebut koran kuning. Tabloid milik Mas Anwar berisi kajian
sosial-politik-ekonomi dengan referensi yang kompeten. Tirasnya cukup baik di tingkat nasional. Sama sekali bukan koran kuning.
“Kayaknya ada yang
nyebut nama saya.” Mas Anwar tiba-tiba
muncul di kamar.
“Eh, cucu kesayangan
Kakek baru pulang. Apa kabar, Cah
Ayu?” Mas Anwar merangkul bahuku. “Dengar-dengar kamu baru saja
putus dengan mahasiswa abal-abal itu, ya?”
Aku mencubit lengan
Mas Anwar sambil cemberut. “Senang ya
bikin adeknya sedih?” gumamku.
“Oke deh, aku nggak
akan ngomong kayak gitu lagi. Makanya,
lain kali hati-hati pilih pacar.” Mas
Anwar mengacak-acak rambutku seolah aku ini balita umur lima tahun.
“Zara, ambilkan barang
itu sekarang!” kata Kakek, tak sabar.
“Ya Kek, saya segera
ke sana.”
Aku menyeret Mas Anwar
yang menatapku dengan kening berkerut hingga tiba di luar kamar kakek. Aku ingin ditemani Mas Anwar ke gudang. Tapi, kakek tidak sependapat denganku.
“Jangan coba-coba ajak
Anwar kalau nggak ingin kualat,” teriak kakek dari dalam kamarnya.
“Ada apa sih?” tanya
Mas Anwar sambil melepaskan lengannya dari cengkeramanku.
“Kakek suruh aku ambil
kotak di gudang belakang, tapi aku nggak berani sendirian ke sana. Kata Mbok Sumi, di sana ada penunggunya,”
bisikku.
“Hih, aku juga ogah ke
sana. Selamat menjalankan tugas,
Nduk.” Mas Anwar sontak meninggalkanku.
Jadilah aku melangkah
sendirian ke gudang belakang. Jantungku
berdentam lebih keras saat aku tiba di depan pintu gudang. Tanganku gemetaran hingga nyaris tak bisa
memasukkan anak kunci ke lubangnya.
Pikiranku kalut. Apakah aku akan
selamat hingga berhasil membawa kotak itu keluar gudang? Ataukah aku akan menemui sesuatu yang
menakutkan di sana?
- BERSAMBUNG -
Catatan :
Bale nyungcung adalah bahasa sunda untuk pelaminan. Cerita ini mengisahkan keluarga asal Jawa Tengah yang tinggal di Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar