Karya Fiksi Fabina Lovers
Bagian 3 : Penyelidikan Dimulai
Kematian Anwar mengubah
kehidupanku. Rasanya seperti sebelah
tanganku terlepas, lalu tangan itu
dikuburkan. Hari-hari berikutnya, aku akan
terbiasa hidup dengan satu tangan. Tapi,
perasaan kehilangan sebelah tangan yang berguna itu, tak akan pupus hingga
akhir hayatku.
Mama dan kakak iparku menangis histeris saat jenazah Anwar dikebumikan. Kakak iparku sedang mengandung anak kedua mereka. Si sulung Ardan yang berusia empat tahun, menatap ibunya dengan mimik bingung. Tentunya bocah seusia Ardan belum memahami arti kehilangan figur ayah.
Seandainya aku bisa menangis
seperti mama dan kakak iparku, tentunya aku bisa melepaskan beban kesedihan
ini. Tapi, aku hanya bisa menatap nanar
nisan kakaku. ‘Anwar Margono; Lahir :
Pangandaran, 12 September 1980; Wafat : Bandung : 8 Agustus 2015’. Literasi pada nisan kayu kakakku seolah pisau
yang menusuk ulu hatiku.
Upacara pemakaman telah usai. Aku berada dalam barisan pelayat yang meninggalkan
komplek pemakaman keluarga kami di Pangandaran.
Sedangkan mama dan kakak iparku masih mengaji di sisi pembaringan
terakhir Anwar.
“Zara, bisakah kita bicara
sebentar?” Aldi, sang polisi berwajah imut, tengah menjejeri langkahku.
Aku tak menjawab. Hanya menatap Aldi dengan sorot mata tak
bersahabat.
“Aku tahu, kamu terpukul oleh
kejadian ini. Percayalah, aku nggak berniat
menambah kesulitanmu. Aku hanya ingin
menemukan pelaku pembunuhan kakakmu.”
Aku menghela napas berat. “Oke, mari kita bicara di kafe
langgananku. Aku sedang ingin minum secangkir kopi hitam kental
dengan sedikit gula,” kataku.
Aldi memboncengku dengan motornya
hingga tiba di kafe langgananku. Letaknya
dekat alun-alun kota. Kebetulan waktu
sarapan pagi telah berlalu. Kafe nyaris
kosong. Hanya ada seorang pria tua yang
menempati kursi di bagian tengah kafe.
Pria itu tampak serius membaca korannya.
Aku dan Aldi menempati kursi yang
memungkinkan kami memantau pintu masuk kafe.
Ya, kami harus memastikan orang-orang yang kami kenal tidak menguping
pembicaraan kami. Hanya selang beberapa
menit, pesanan kami tiba. Setelah menghabiskan cangkir kopi pertamaku, aku baru
bersedia dimintai keterangan.
“Menurutmu, apa kira-kira motif
pembunuhan Mas Anwar?” tanya Aldi.
“Kupikir, ada kaitannya dengan
dokumen rahasia kakek.”
“Dokumen rahasia?”
“Kakek punya beberapa berkas yang
diinginkan orang tertentu. Berkas itu
sudah kuhancurkan. Tapi Mas Anwar punya
dokumentasinya. Ia mau bicara soal berkas itu dengan Aceng, kalau aku nggak
salah ingat.”
Aldi mengusap-usap
dagunya sambil berpikir. “Tampaknya aku
harus menemui Aceng. Kamu tahu
orangnya?”
“Aku nggak kenal Aceng. Mungkin wartawan baru di Persepsi.”
“Oh Persepsi, tabloid terkenal
yang kantor redaksinya di Dago, Bandung?” Aldi menatapku dengan mata berbinar.
“Iya, tabloid itu kepunyaan Mas
Anwar.”
“Wah, aku nggak tahu kalau
pemiliknya kakakmu. Tabloid yang sangat
berkelas. Aku salah satu pelanggannya
lho.”
“Terima kasih,” kataku. Tanpa kusadari, tetes-tetes air mata telah
membasahi pipiku.
“Maafkan aku.” Aldi menyodorkan sapu tangannya padaku. Tampaknya ia merasa bersalah.
“Aku akan memulai penyidikan kasus
ini dengan mewawancari Aceng,” gumam Aldi.
“Aku ikut,” kataku sambil mengusap
air mataku dengan sapu tangan Aldi.
“Mana mungkin, kamu ‘kan punya
pekerjaan di Jakarta?”
“Aku mau resign aja.”
“Sing eling atuh Zara, nggak mudah cari pekerjaan baru di zaman
resesi begini.”
“Aku nggak bisa tenang bekerja
selama pembunuhnya belum tertangkap.”
“Ya udah, besok kamu ikut aku ke
Bandung. Kita akan memulai penyidikan di
kantor redaksi persepsi.”
“Aldi, HP Mas Anwar menyimpan
dokumen rahasia kakek. HP itu menghilang
beberapa saat sebelum dia terbunuh.
Menurutmu, apakah kehilangan HP kakakku terkait dengan pembunuhan ini?”
Aldi kembali mengusap dagunya yang
tercukur rapi. “Hm, bisa jadi ada
hubungannya. Oke, besok aku mau
berangkat selepas subuh ke Bandung. Kira-kira
kamu bisa ikut aku, nggak?”
“Aku akan ikut sekalipun kamu
berangkat pukul satu dinihari,” tegasku.
“Kenakan jaketmu yang paling
tebal, karena aku mau bersepeda-motor ke Bandung. Bagaimana?”
“Siap, boss!” Aku mengacungkan jempol tanda tak keberatan
membonceng sepeda motor ke Bandung.
Sumpah, seumur hidup aku tak pernah bepergian jauh dengan sepeda motor.
***
Suasana di kantor redaksi Tabloid Persepsi
tetap sibuk seperti biasanya. Seolah
kematian kakakku tak mempengaruhi kinerja mereka. Memang, hampir semua penghuni ruangan ini
menghadiri pemakaman Mas Anwar kemarin.
Tampaknya setelah dari pemakaman mereka tidak pulang dulu ke rumah
masing-masing. Aku lihat, mereka memakai kaos hitam yang sama dengan busana mereka saat pemakaman kakakku.
“Zara, kenapa nggak bilang mau
datang?” Anto, mitra bisnis Mas Anwar di Persepsi, menyambut kami.
“Mas Anto, kenalin nih, teman SMA
saya yang sekarang jadi polisi!”
“Aldi.” Aldi mengajak Mas Anto bersalaman.
“Anto.” Anto menepuk pundak Aldi sambil tersenyum. “Ayo, masuklah ke ruanganku! Mau minum kopi?”
“Boleh,” jawab aku dan Aldi
berbarengan.
“Lek Jono, tolong buatkan kopi
tiga cangkir!” seru Anto pada OB yang sedang menyapu.
“Siap, bos.” Lek Jono bergerak tangkas menuju pantry untuk
membuatkan kami kopi.
Sejurus kemudian, kami telah duduk
di ruang kerja Anto yang sempit.
“Rokok?” tawar Anto pada Aldi.
“Nggak Mas, makasih,” tolak
Aldi. Aku takjub melihat penolakan
itu. Sepengetahuanku, Aldi sudah
kecanduan rokok sejak SMA.
“Baguslah kamu nggak merokok. Saya ingin banget bisa berhenti. Tapi belum bisa.” Anto menghembuskan asap
rokok membentuk lingkaran-lingkaran kecil.
“Saya juga pernah kecanduan rokok,
tapi sekarang berhasil berhenti merokok karena suatu hal.”
“Kamu sakit, Aldi?” tanyaku,
cemas.
“Hm, aku berhenti bukan karena
sakit, tapi karena cewek idolaku alergi asap rokok,” jelas Aldi dengan suara
hangat.
Aku terbatuk-batuk saat asap rokok
Anto menyerbu hidungku. “Maaf, saya
alergi asap rokok,” kataku, terbata.
“Oh, begitu ya?” Anto menekan-nekan ujung rokoknya di asbak
hingga baranya mati, lalu memandangi kami dengan pandangan penuh arti. Aku menjadi salah tingkah.
“Maaf, apakah Mas Anwar pernah
bicara tentang dokumen rahasia atau yang semacam itu dengan Mas Anto?” tanya
Aldi.
“Dokumen rahasia apa?” Anto memandang Aldi dengan kening
berkerut. “Anwar nggak pernah
membicarakan materi berita denganku. Ia
tahu, aku buta politik, tapi punya naluri bisnis yang baik. Pembicaraan kami lebih ke arah pemasaran
tabloid ini. Misalnya bagaimana cara memenangkan
persaingan pasar dengan tabloid sejenis?
Ya, hal-hal semacam itulah.”
“Siapakah Aceng?” tanyaku.
“Dia wartawan kami. Baru tiga bulan kerja di sini. Kamu belum kenal dia, Zara. Tampaknya sih nggak akan pernah kenal dia.”
“Kenapa begitu, Mas?” Dadaku
berdebar-debar tak menentu. Kami
berpotensi kehilangan informasi penting.
“Seminggu yang lalu, dia meninggal
akibat tabrak lari.”
Keterangan Anto membuat kami bersandar
lemas di kursi. Pupus sudah peluang kami
mengetahui isi dokumen rahasia kakek.
Dokumen yang kami yakini akan membawa kami pada pelaku pembunuhan Mas
Anwar. Ataukah kematian Aceng juga terkait
dengan isi dokumen rahasia itu?”
Bersambung
Keterangan :
Sing eling atuh = sadar dong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar