Jumat, 14 Agustus 2015

Miniseri 3 : Rahasia Kakek


Hasil gambar untuk gambar perempuan menyelidiki

Karya Fiksi Fabina Lovers
Bagian 3 : Penyelidikan Dimulai



Kematian Anwar mengubah kehidupanku.   Rasanya seperti sebelah tanganku terlepas, lalu tangan  itu dikuburkan.  Hari-hari berikutnya, aku akan terbiasa hidup dengan satu tangan.  Tapi, perasaan kehilangan sebelah tangan yang berguna itu, tak akan pupus hingga akhir hayatku.

Mama dan kakak iparku menangis histeris saat jenazah Anwar dikebumikan.  Kakak iparku sedang mengandung anak kedua mereka.  Si sulung Ardan yang berusia empat tahun, menatap ibunya dengan mimik bingung.  Tentunya bocah seusia Ardan belum memahami arti kehilangan figur ayah.

Seandainya aku bisa menangis seperti mama dan kakak iparku, tentunya aku bisa melepaskan beban kesedihan ini.  Tapi, aku hanya bisa menatap nanar nisan kakaku.  ‘Anwar Margono; Lahir : Pangandaran, 12 September 1980; Wafat : Bandung : 8 Agustus 2015’.  Literasi pada nisan kayu kakakku seolah pisau yang menusuk ulu hatiku.

Upacara pemakaman telah usai.  Aku berada dalam barisan pelayat yang meninggalkan komplek pemakaman keluarga kami di Pangandaran.  Sedangkan mama dan kakak iparku masih mengaji di sisi pembaringan terakhir Anwar.

“Zara, bisakah kita bicara sebentar?” Aldi, sang polisi berwajah imut, tengah menjejeri langkahku.

Aku tak menjawab.   Hanya menatap Aldi dengan sorot mata tak bersahabat.

“Aku tahu, kamu terpukul oleh kejadian ini.  Percayalah, aku nggak berniat menambah kesulitanmu.  Aku hanya ingin menemukan pelaku pembunuhan kakakmu.”

Aku menghela napas berat.  “Oke, mari kita bicara di kafe langgananku.   Aku sedang ingin minum secangkir kopi hitam kental dengan sedikit gula,” kataku.

Aldi memboncengku dengan motornya hingga tiba di kafe langgananku.  Letaknya dekat alun-alun kota.  Kebetulan waktu sarapan pagi telah berlalu.  Kafe nyaris kosong.  Hanya ada seorang pria tua yang menempati kursi di bagian tengah kafe.  Pria itu tampak serius membaca korannya.

Aku dan Aldi menempati kursi yang memungkinkan kami memantau pintu masuk kafe.  Ya, kami harus memastikan orang-orang yang kami kenal tidak menguping pembicaraan kami.  Hanya selang beberapa menit, pesanan kami tiba. Setelah menghabiskan cangkir kopi pertamaku, aku baru bersedia dimintai keterangan.

“Menurutmu, apa kira-kira motif pembunuhan Mas Anwar?” tanya Aldi.

“Kupikir, ada kaitannya dengan dokumen rahasia kakek.”

“Dokumen rahasia?”

“Kakek punya beberapa berkas yang diinginkan orang tertentu.  Berkas itu sudah kuhancurkan.  Tapi Mas Anwar punya dokumentasinya.  Ia mau bicara soal  berkas itu dengan Aceng, kalau aku nggak salah ingat.”

Aldi mengusap-usap dagunya sambil berpikir.  “Tampaknya aku harus menemui Aceng.  Kamu tahu orangnya?”

“Aku nggak kenal Aceng.  Mungkin wartawan baru di Persepsi.”

“Oh Persepsi, tabloid terkenal yang kantor redaksinya di Dago, Bandung?” Aldi menatapku dengan mata berbinar.

“Iya, tabloid itu kepunyaan Mas Anwar.”

“Wah, aku nggak tahu kalau pemiliknya kakakmu.  Tabloid yang sangat berkelas.  Aku salah satu pelanggannya lho.”

“Terima kasih,” kataku.  Tanpa kusadari, tetes-tetes air mata telah membasahi pipiku.

“Maafkan aku.”  Aldi menyodorkan sapu tangannya padaku.  Tampaknya ia merasa bersalah.

“Aku akan memulai penyidikan kasus ini dengan mewawancari Aceng,” gumam Aldi.

“Aku ikut,” kataku sambil mengusap air mataku dengan sapu tangan Aldi.

“Mana mungkin, kamu ‘kan punya pekerjaan di Jakarta?”

“Aku mau resign aja.”

Sing eling atuh Zara, nggak mudah cari pekerjaan baru di zaman resesi begini.”

“Aku nggak bisa tenang bekerja selama pembunuhnya belum tertangkap.”

“Ya udah, besok kamu ikut aku ke Bandung.  Kita akan memulai penyidikan di kantor redaksi persepsi.”

“Aldi, HP Mas Anwar menyimpan dokumen rahasia kakek.  HP itu menghilang beberapa saat sebelum dia terbunuh.  Menurutmu, apakah kehilangan HP kakakku terkait dengan pembunuhan ini?”

Aldi kembali mengusap dagunya yang tercukur rapi.  “Hm, bisa jadi ada hubungannya.  Oke, besok aku mau berangkat selepas subuh ke Bandung.  Kira-kira kamu bisa ikut aku, nggak?”

“Aku akan ikut sekalipun kamu berangkat pukul satu dinihari,” tegasku.

“Kenakan jaketmu yang paling tebal, karena aku mau bersepeda-motor ke Bandung.  Bagaimana?”

“Siap, boss!”  Aku mengacungkan jempol tanda tak keberatan membonceng sepeda motor ke Bandung.  Sumpah, seumur hidup aku tak pernah bepergian jauh dengan sepeda motor.

***

Suasana di kantor redaksi Tabloid Persepsi tetap sibuk seperti biasanya.  Seolah kematian kakakku tak mempengaruhi kinerja mereka.  Memang, hampir semua penghuni ruangan ini menghadiri pemakaman Mas Anwar kemarin.  Tampaknya setelah dari pemakaman mereka tidak pulang dulu ke rumah masing-masing.  Aku lihat, mereka memakai kaos hitam yang sama dengan busana mereka saat pemakaman kakakku.

“Zara, kenapa nggak bilang mau datang?” Anto, mitra bisnis Mas Anwar di Persepsi, menyambut kami.

“Mas Anto, kenalin nih, teman SMA saya yang sekarang jadi polisi!”

“Aldi.”  Aldi mengajak Mas Anto bersalaman.

“Anto.”  Anto menepuk pundak Aldi sambil tersenyum.  “Ayo, masuklah ke ruanganku!  Mau minum kopi?”

“Boleh,” jawab aku dan Aldi berbarengan.

“Lek Jono, tolong buatkan kopi tiga cangkir!” seru Anto pada OB yang sedang menyapu.

“Siap, bos.”  Lek Jono bergerak tangkas menuju pantry untuk membuatkan kami kopi.

Sejurus kemudian, kami telah duduk di ruang kerja Anto yang sempit.  “Rokok?” tawar Anto pada Aldi.

“Nggak Mas, makasih,” tolak Aldi.  Aku takjub melihat penolakan itu.  Sepengetahuanku, Aldi sudah kecanduan rokok sejak SMA.

“Baguslah kamu nggak merokok.  Saya ingin banget bisa berhenti.  Tapi belum bisa.” Anto menghembuskan asap rokok membentuk lingkaran-lingkaran kecil.

“Saya juga pernah kecanduan rokok, tapi sekarang berhasil berhenti merokok karena suatu hal.”

“Kamu sakit, Aldi?” tanyaku, cemas.

“Hm, aku berhenti bukan karena sakit, tapi karena cewek idolaku alergi asap rokok,” jelas Aldi dengan suara hangat.

Aku terbatuk-batuk saat asap rokok Anto menyerbu hidungku.  “Maaf, saya alergi asap rokok,” kataku, terbata.

“Oh, begitu ya?”  Anto menekan-nekan ujung rokoknya di asbak hingga baranya mati, lalu memandangi kami dengan pandangan penuh arti.  Aku menjadi salah tingkah.

“Maaf, apakah Mas Anwar pernah bicara tentang dokumen rahasia atau yang semacam itu dengan Mas Anto?” tanya Aldi.

“Dokumen rahasia apa?”  Anto memandang Aldi dengan kening berkerut.  “Anwar nggak pernah membicarakan materi berita denganku.  Ia tahu, aku buta politik, tapi punya naluri bisnis yang baik.  Pembicaraan kami lebih ke arah pemasaran tabloid ini.  Misalnya bagaimana cara memenangkan persaingan pasar dengan tabloid sejenis?  Ya, hal-hal semacam itulah.”

“Siapakah Aceng?” tanyaku.

“Dia wartawan kami.  Baru tiga bulan kerja di sini.  Kamu belum kenal dia, Zara.  Tampaknya sih nggak akan pernah kenal dia.”

“Kenapa begitu, Mas?” Dadaku berdebar-debar tak menentu.  Kami berpotensi kehilangan informasi penting.

“Seminggu yang lalu, dia meninggal akibat tabrak lari.”

Keterangan Anto membuat kami bersandar lemas di kursi.  Pupus sudah peluang kami mengetahui isi dokumen rahasia kakek.  Dokumen yang kami yakini akan membawa kami pada pelaku pembunuhan Mas Anwar.  Ataukah kematian Aceng juga terkait dengan isi dokumen rahasia itu?”

          Bersambung

Keterangan :

Sing eling atuh = sadar dong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar