Rabu, 19 Agustus 2015

Miniseri 4 : Rahasia Kakek (Tamat)

Hasil gambar untuk gambar topeng
Karya Fiksi Fabina Lovers
Bagian 4 : Pembalasan setimpal.



“Mungkin pelaku pembunuhan Mas Anwar nggak bisa ditemukan,” keluhku saat kami bersantap siang di warteg.

“Nah, kamu mulai nyerah ‘kan?  Makanya, nggak usah ikut-ikutan penyelidikan deh!  Kembalilah pada pekerjaanmu di Jakarta!   Insya Allah, beberapa bulan ke depan aku sudah menemukan pelakunya,” kata Aldi, kalem.

Aku menghentikan suapanku, lalu memandang jengkel pada Aldi.  “Enak aja.  Pokoknya aku mau terus menyelidiki kasus ini.  Kalau kamu keberatan kubuntuti, aku mau jalan sendiri.”

“Ah, Zaraku yang penuh semangat!”  Aldi tertawa renyah.  “Jangan jalan sendiri!  Lawan kita cukup tangguh.  Mereka bekerja sistematis dan pandai menghilangkan jejak.  Kemungkinan dalang pembunuhan ini ‘berkuasa’.  Zara, berhati-hatilah! Aku nggak mau kamu jadi korban berikutnya!”

Ponsel Aldi berbunyi.  “Ya Den, ada apa?” tanya Aldi pada penelepon.

Selanjutnya Aldi hanyai mengatakan ‘oh’ dan ‘ya’.  Aku tak bisa menebak identitas penelepon Aldi.  “Oke, besok aku akan menemui target,” pungkas Aldi.

“Dari siapa?” tanyaku setelah Aldi meletakan ponsel di saku kemejanya.

“Deni, salah seorang agen kami.  Kakeknya mengenal almarhum kakekmu.  Tampaknya, beliau tahu isi dokumen rahasia kakekmu.”

Mataku membulat karena antusias.  “Ah, pertolongan Tuhan datang tepat pada waktunya.  Kapan kita menemui kakeknya Deni?”

“Besok sore deh, saat orang tua itu bersantai.  Sekarang kita pulang dulu ke Pangandaran.”  Aldi membayar makanan kami, lalu mengajakku pulang.

****
Aldi memandangiku lekat-lekat saat aku baru keluar dari dalam rumah.  Hal itu membuatku jengah.  Berhubung dia teman akrabku sejak SMA, aku bebas menyampaikan pendapatku padanya.

“Jangan liatin aku kayak gitu, risih tau!” sergahku.

“Kamu ini, masih aja jutek kayak dulu.”  Aldi tersenyum jahil.

Gara-gara Aldi memandangiku seperti itu, aku teringat kembali pada Jay.  Playboy cap jengkol itu.  Ia gemar menatapku lekat-lekat, dan menghujaniku dengan pujian gombal. 

“Sejujurnya Zara, kamu nggak cantik.  Tapi, kamu pandai menata semua atribut yang melekat di tubuhmu.  Penampilanmu terlihat manis dan elegan.”  Begitulah cara Jay melenakan hatiku.  Hingga aku serahkan segenap cintaku padanya.

“Udah deh, jangan mikirin masa lalu!  Kamu harus move on.”  Aldi seolah bisa membaca pikiranku.

“Kamu benar, kita harus segera move on supaya nggak kemalaman di jalan,” selorohku.   Aldi tertawa saat mendengar candaanku yang ‘garing’.  Ehm, mungkin Aldi penggemar kerupuk.

Rumah keluarga Deni terletak di Jalan Merdeka, dekat stasiun kereta api.  Hanya berselisih jarak lima kilometer dari rumahku.  Rumah model kuno itu menempati  lahan seluas 300m2.  Pekarangan rumah tampak asri dan terawat.  Tentunya keluarga Deni gemar berkebun.

“Masukan saja motornya, Kang!   Sekarang lagi musim curanmor.  Mereka nggak peduli sekalipun itu motor polisi,” kata Deni yang menunggu kami di muka gerbang rumahnya.  Ia membukakan pintu pagar lebih lebar agar motor Aldi dapat masuk ke halaman rumah.

Kumaha, damang?” Aldi mengajak Deni bersalaman seraya menepuk-nepuk punggungnya.

Kieu wae, Kang.  Sekarang mah yang penting tiap hari bisa makan.  Jangan mimpi punya tabungan deh.  Maklum, apa-apa serba mahal.”  Deni tersenyum ceria dalam keluh kesahnya.

Geus atuh ulah mikiran harga sembako, pusing ah!  Ngomong-ngomong, kakekmu bersedia nggak ketemu kami sore ini?”

“Pasti bersedia, asal kalian bawa rokok kretek kesukaannya.  Itu lho, yang merknya aku sebutkan tempo hari.”

“Yang begini, bukan?”  Aldi menunjukan sebungkus rokok kretek langka.  Saking langkanya, Aldi harus berkelana ke seluruh pelosok kota untuk mendapatkannya.

Leres nu eta, Kang.  Wah, Mbah Kung pasti suka.  Ayo kita ke dalam!  Mbah Kung lagi nonton TV di ruang tengah.”

Mbah Kung terkantuk-kantuk di kursi goyangnya.  Pada sebuah rak yang terbuat dari kayu mahoni,  bertengger televisi ukuran 32 inchi yang menyiarkan demo pedagang daging di Jakarta.

“Mbah, aya rerencangan Deni.  Mereka bawa oleh-oleh rokok kesukaan Mbah.”  Deni menyerahkan rokok yang kami bawa pada kakeknya.

“Oalah, udah lama aku kepingin rokok kayak gini.  Kamu dapat darimana, Cah Bagus?” Mbah Kung menatap Aldi dengan mata berbinar.  Cara bertutur Mbah Kung mengingatkanku pada almarhum kakek.  Keharuan sontak memenuhi rongga dadaku.  Mataku terasa panas.

“Alhamdulillah Mbah menyukai oleh-oleh kecil dari kami.  Oh ya, kenalkan, ini cucunya Pak Wardoyo!”  Aldi mengamit lenganku sehingga posisiku lebih dekat dengan Mbah Kung.

“Pak Wardoyo mana ya?  Oh, ingatanku payah benar.  Maklum, sudah tua.” Mbah Kung memandangiku sambil mengerutkan kening.

“Kakek saya asli Sleman, Mbah.  Tapi sudah puluhan tahun tinggal di sini.  Katanya, kakek dulu bergabung dengan pasukan gerilya Jenderal Sudirman.”

“Oh Wardoyo yang bangga buanget dengan seragam pejuangnya itu, ya?  Yang minta dijahitkan baju seragam baru tepat sebulan sebelum perayaan kemerdekaan.  Yang lebih suka dipanggil kakek daripada Mbah karena ingin menghapuskan sekat-sekat budaya.”  Kakeknya Deni terkekeh geli.  “Ah, sudah lama aku nggak ketemu dia.  Bagaimana kabar kakekmu sekarang?”

“Kakek meninggal sekitar enampuluh hari yang lalu.”  Aku mulai terisak.  Kenangan akan kakek selalu membuatku sedih.

Mbah Kung menepuk-nepuk lenganku.  “Jangan sedih, Nduk!  Yang namanya ajal yo nggak bisa dimajukan atau dimundurkan.  Ikhlaskan kepergian kakekmu.  Doakan agar mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya.”

“Sebenarnya,  saya sedih karena Mas Anwar membocorkan dokumen rahasia kakek pada seseorang,” cetusku, tanpa sadar.

“Duh Gusti Pangeran, itu...itu sangat riskan, Nduk.  Masmu bisa celaka.”  Wajah kakeknya Deni mendadak pias.

“Mas Anwar terbunuh dua hari yang lalu,” kataku dengan suara bergetar.

“Innalillahi...” ucap Deni dan kakeknya berbarengan.

“Oh, harusnya kakakmu nggak sembarangan membocorkan isi dokumen itu.  Isinya bisa mencemarkan nama baik seseorang yang kejam sekaligus amat berkuasa hingga hari ini.  Kaki-tangannya ada di mana-mana.”  Mbah Kung menoleh ke kiri-kanan saat bicara.   Ia tampak ketakutan.

“Saya ingin tahu, apa sih isi dokumen rahasia itu?” tanya Aldi.

“Dulu, komandan kompi meminta kami mendata nama mata-mata Belanda yang menyusup dalam kompi kami.  Ada tiga orang yang berhasil kami buka kedoknya.  Lantas, atasan memerintahkan kami mengeksekusi ketiga orang itu.  Begitulah hukum perang, bila tidak membunuh kau akan terbunuh.”

“Apakah para mata-mata itu telah dihukum mati?” Aldi kembali bertanya.

“Salah seorang di antara mereka berhasil melarikan diri, walaupun tali yang meliliti tubuhnya tersimpul mati.  Mungkin dia pernah berguru pada Houdini.”  Mbah Kung menertawakan leluconnya sendiri. 

“Ia menghilang dan baru muncul saat Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.  Anehnya, ia malah ditetapkan sebagai pejuang kemerdekaan.  Aku bingung, bagaimana cara si ular berkepala dua itu meyakinkan para petinggi negara bahwa dialah pejuang sejati?  Padahal aku dan Wardoyo tahu benar penghiatannya.  Dia itu antek-antek Belanda.”

Mbah Kung terbatuk-batuk lalu meneguk teh tawar yang terhidang di meja samping kursi goyangnya.   “Ya, begitulah dunia.  Yang salah bisa jadi benar.  Yang benar bisa jadi salah.”  Mbah Kung tersenyum sinis.

Ponsel Aldi berdering.  Berdasarkan sikap Aldi sewaktu menerima telepon, aku tahu atasannya yang menelepon.

“Baik, baik Pak.  Ya, saya sependapat dengan Bapak.  Terima kasih.  Sore, Pak.” Aldi menghela napas berat saat menyudahi pembicaraan teleponnya.

“Ada masalah?” tanyaku, penasaran.

“Kata komandanku, Mabes menginstruksikan kami untuk berhenti menyelidiki kasus pembunuhan Mas Anwar.   Aldi terlihat kecewa dengan keputusan atasannya.

“Ya Nak, hentikan saja penyelidikan kalian!  Karena kalian sedang menghadapi pria paling berkuasa di negeri ini.  Berkuasa berkat kecerdikan dan kepandaian cari muka.”

“Saya penasaran, siapa sih nama antek-antek Belanda itu?” tanya Deni.

“Lebih baik kalian tak mengenalnya.  Hanya bikin sakit hati saja bila kalian tahu betapa kaya dan berkuasanya keluarga itu sekarang.  Harta mereka tak akan habis sampai tujuh turunan.”

“Nasehat Mbah, berbaktilah pada negara ini sesuai kemampuan kalian.  Biarlah Allah yang membalas kebaikan kalian.  Percayalah, balasan Allah selalu paling adil.”

“Tapi Mbah, kenapa orang-orang jahat malah kaya dan berkuasa?” tanya Deni.

“Bisa jadi ada petaka di balik harta dan kekuasaan yang didapat dengan cara yang salah.”  Mbah Kung berayun di kursi goyangnya sambil tersenyum bijaksana.

Azan maghrib berkumandang.   Kami sholat berjamaah di ruang tengah.  Aldi didapuk menjadi iman.  Tak kuduga, Aldi bisa melafalkan ayat-ayat Allah secara fasih dan indah.

“Jangan pulang dulu, ibu sudah siapkan makan malam kalian!” kata ibunda Deni dengan ramah.

“Asik, dapat makan malam enak,” kata Aldi, tanpa basa basi.

“Aih Nak Aldi ini bisa aja.  Ayo, kita serbu makanan sederhana ini!”  Ibunda Deni memimpin kami menuju meja makan yang menghidangkan aneka hidangan laut.

“Wow, ada kepiting saos padang.”  Aldi langsung memenuhi piringnya dengan nasi dan kepiting saos padang.

Kami makan secara lesehan di hadapan pesawat TV.  Aldi benar, ibunda Aldi pandai meracik masakan nikmat.  Aku bersemangat sekali menandaskan kakap bakar bumbu kecap.   Padahal sejatinya aku ini malas makan. 

“Pemirsa, telah terjadi kecelakaan pesawat terbang pribadi milik keluarga Suwiryo.  Pesawat tersebut jatuh saat mengudara di atas Selat Sunda.  Penumpang yang kemungkinan menjadi korban adalah Suami-Isteri Suwiryo beserta sebagian besar anak dan cucu mereka.    Keluarga Suwiryo akan bertolak ke Hongkong untuk berlibur sekaligus melakukan kerja sama usaha.  Letjen Purnawirawan Suwiryo adalah mantan pejuang kemerdekaan yang sukses berwira-usaha.  Ia membuka lapangan pekerjaan bagi ribuan orang.   Keluarga Suwiryo juga dikenal sebagai filantropis sejati.  Mereka telah mendermakan  milyaran rupiah bagi korban bencana dan kaum dhuafa.  Selamat jalan Keluarga Suwiryo.  Surga menanti kalian.”  Pembawa berita dari stasiun TV ternama itu berusaha menahan derai air matanya.

Kami pun merasakan duka mendalam saat mendengar berita itu. “Innalillahi....” ucap kami berbarengan.

Sebagian besar pemirsa TV pasti mengagumi keluarga Suwiryo yang kedermawanannya sering diberitakan media massa.  Aku termasuk pengagum mereka.  Aku pernah memohon pada Mbak Anna agar diijinkan mewawancarai mereka.  Mbak Anna mengabulkan keinginanku.  Syaratnya, aku harus bersedia didampingi redaktur senior.  Menyenangkan sekali bertemu keluarga jutawan nan rendah hati.  Usai sesi wawancara, kami ditraktir makan siang di sebuah restoran mewah.  Malam harinya, kami diajak menonton pertunjukan balet yang harga tiketnya hampir menyamai gaji kami selama sebulan. 

Tawa sinis Mbah Kung membuyarkan lamunanku.  “Oh, aku ini seperti peramal saja.  Beberapa menit lalu aku berkata tentang petaka di balik kekayaan yang didapat dengan cara yang salah, dan sekarang petaka itu menimpa mereka.”

“Apa maksud, Mbah?” tanya Deni.

“Pikirkan saja sendiri.”  Mbah Kung beranjak dari kursi goyang, lalu melangkah tertatih menuju kamarnya.

Tinggallah kami yang berusaha menghubungkan komentar Mbah Kung dengan berita kecelakaan yang barusan kami dengar. 

“Jangan-jangan ....”  Aldi menggantung kalimatnya. 

Tampaknya kami punya pikiran yang sama.  Pikiran yang berusaha kami enyahkan dari kepala.  Sulit bagi kami untuk memercayai kenyataannya.   Tokoh idola kami adalah penghianat bangsa.

****

Malam itu aku dan Aldi berdiam diri di teras rumah orangtuaku.  Kami memikirkan peristiwa yang terjadi sore ini.  Yang jelas, aku lega karena pembunuh Mas Anwar telah mendapatkan balasan setimpal.

“Dunia ini penuh ketidakpastian, ya?” gumam Aldi.

“Benar kata pepatah, dalam lautan bisa diduga, dalamnya hati siapa tahu,” imbuhku.

“Zara, aku menyukaimu karena kamu selalu tampil apa adanya.  Hatimu selaras dengan perbuatanmu.”

Aku pura-pura memerhatikan tanaman wijaya kusuma yang sedang berbunga.  Sumpah, aku tak mau lagi terpedaya rayuan lelaki.

Would you marry me?” tanya Aldi sambil berlutut di hadapanku.

Aku terdiam.  Terkenang akan perjuangan Aldi berhenti merokok demi aku.  Suaranya yang indah saat melafalkan ayat suci terngiang di telingaku.  Tak bisa dipungkiri, aku merasa aman dan nyaman di dekatnya.  Tiba-tiba saja bibirku bergerak dan mengucapkan ”Yes, I do.

TAMAT

Keterangan :

Houdini adalah nama pesulap asal hongaria yang hidup
pada tahun 1874 sd 1926.  Ia mahir membebaskan diri
dari jeratan tali, borgol maupun rantai.

Filantropis adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama
manusia hingga menyumbangkan dana, tenaga dan
pikirannya untuk menolong orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar