Bagian 4 : Pembalasan setimpal.
“Mungkin pelaku pembunuhan Mas
Anwar nggak bisa ditemukan,” keluhku saat kami bersantap siang di warteg.
“Nah, kamu mulai nyerah ‘kan? Makanya, nggak usah ikut-ikutan penyelidikan
deh! Kembalilah pada pekerjaanmu di
Jakarta! Insya Allah, beberapa bulan ke depan aku sudah
menemukan pelakunya,” kata Aldi, kalem.
Aku menghentikan suapanku, lalu
memandang jengkel pada Aldi. “Enak
aja. Pokoknya aku mau terus menyelidiki
kasus ini. Kalau kamu keberatan
kubuntuti, aku mau jalan sendiri.”
“Ah, Zaraku yang penuh semangat!” Aldi tertawa renyah. “Jangan
jalan sendiri! Lawan kita cukup
tangguh. Mereka bekerja sistematis dan
pandai menghilangkan jejak. Kemungkinan
dalang pembunuhan ini ‘berkuasa’. Zara,
berhati-hatilah! Aku nggak mau kamu jadi korban berikutnya!”
Ponsel Aldi berbunyi. “Ya Den, ada apa?” tanya Aldi pada penelepon.
Selanjutnya Aldi hanyai mengatakan
‘oh’ dan ‘ya’. Aku tak bisa menebak
identitas penelepon Aldi. “Oke, besok
aku akan menemui target,” pungkas Aldi.
“Dari siapa?” tanyaku setelah Aldi
meletakan ponsel di saku kemejanya.
“Deni, salah seorang agen
kami. Kakeknya mengenal almarhum
kakekmu. Tampaknya, beliau tahu isi
dokumen rahasia kakekmu.”
Mataku membulat karena antusias. “Ah, pertolongan Tuhan datang tepat pada
waktunya. Kapan kita menemui kakeknya
Deni?”
“Besok sore deh, saat orang tua
itu bersantai. Sekarang kita pulang dulu
ke Pangandaran.” Aldi membayar makanan
kami, lalu mengajakku pulang.
****
Aldi memandangiku lekat-lekat saat
aku baru keluar dari dalam rumah. Hal
itu membuatku jengah. Berhubung dia
teman akrabku sejak SMA, aku bebas menyampaikan pendapatku padanya.
“Jangan liatin aku kayak gitu,
risih tau!” sergahku.
“Kamu ini, masih aja jutek kayak
dulu.” Aldi tersenyum jahil.
Gara-gara Aldi memandangiku seperti
itu, aku teringat kembali pada Jay. Playboy
cap jengkol itu. Ia gemar menatapku
lekat-lekat, dan menghujaniku dengan pujian gombal.
“Sejujurnya Zara, kamu nggak
cantik. Tapi, kamu pandai menata semua
atribut yang melekat di tubuhmu. Penampilanmu
terlihat manis dan elegan.” Begitulah
cara Jay melenakan hatiku. Hingga aku
serahkan segenap cintaku padanya.
“Udah deh, jangan mikirin masa
lalu! Kamu harus move on.” Aldi seolah bisa
membaca pikiranku.
“Kamu benar, kita harus segera move on supaya nggak kemalaman di jalan,”
selorohku. Aldi tertawa saat mendengar
candaanku yang ‘garing’. Ehm, mungkin
Aldi penggemar kerupuk.
Rumah keluarga Deni terletak di
Jalan Merdeka, dekat stasiun kereta api.
Hanya berselisih jarak lima kilometer dari rumahku. Rumah model kuno itu menempati lahan seluas
300m2. Pekarangan rumah
tampak asri dan terawat. Tentunya
keluarga Deni gemar berkebun.
“Masukan saja motornya, Kang! Sekarang lagi musim curanmor. Mereka nggak peduli sekalipun itu motor
polisi,” kata Deni yang menunggu kami di muka gerbang rumahnya. Ia membukakan pintu pagar lebih lebar agar
motor Aldi dapat masuk ke halaman rumah.
“Kumaha, damang?” Aldi mengajak Deni bersalaman seraya menepuk-nepuk
punggungnya.
“Kieu wae, Kang. Sekarang mah
yang penting tiap hari bisa makan.
Jangan mimpi punya tabungan deh.
Maklum, apa-apa serba mahal.”
Deni tersenyum ceria dalam keluh kesahnya.
“Geus atuh ulah mikiran harga sembako, pusing ah! Ngomong-ngomong,
kakekmu bersedia nggak ketemu kami sore ini?”
“Pasti bersedia, asal kalian bawa
rokok kretek kesukaannya. Itu lho, yang
merknya aku sebutkan tempo hari.”
“Yang begini, bukan?” Aldi menunjukan sebungkus rokok kretek langka. Saking langkanya, Aldi harus berkelana ke
seluruh pelosok kota untuk mendapatkannya.
“Leres nu eta, Kang. Wah, Mbah Kung pasti suka. Ayo kita ke dalam! Mbah Kung lagi nonton TV di ruang tengah.”
Mbah Kung terkantuk-kantuk di
kursi goyangnya. Pada sebuah rak yang terbuat dari kayu mahoni, bertengger
televisi ukuran 32 inchi yang menyiarkan demo pedagang daging di Jakarta.
“Mbah, aya rerencangan Deni. Mereka
bawa oleh-oleh rokok kesukaan Mbah.”
Deni menyerahkan rokok yang kami bawa pada kakeknya.
“Oalah, udah lama aku kepingin
rokok kayak gini. Kamu dapat darimana,
Cah Bagus?” Mbah Kung menatap Aldi dengan mata berbinar. Cara bertutur Mbah Kung mengingatkanku pada
almarhum kakek. Keharuan sontak memenuhi
rongga dadaku. Mataku terasa panas.
“Alhamdulillah Mbah menyukai oleh-oleh
kecil dari kami. Oh ya, kenalkan, ini
cucunya Pak Wardoyo!” Aldi mengamit
lenganku sehingga posisiku lebih dekat dengan Mbah Kung.
“Pak Wardoyo mana ya? Oh, ingatanku payah benar. Maklum, sudah tua.” Mbah Kung memandangiku
sambil mengerutkan kening.
“Kakek saya asli Sleman,
Mbah. Tapi sudah puluhan tahun tinggal
di sini. Katanya, kakek dulu bergabung
dengan pasukan gerilya Jenderal Sudirman.”
“Oh Wardoyo yang bangga buanget
dengan seragam pejuangnya itu, ya? Yang
minta dijahitkan baju seragam baru tepat sebulan sebelum perayaan
kemerdekaan. Yang lebih suka dipanggil
kakek daripada Mbah karena ingin menghapuskan sekat-sekat budaya.” Kakeknya Deni terkekeh geli. “Ah, sudah lama aku nggak ketemu dia. Bagaimana kabar kakekmu sekarang?”
“Kakek meninggal sekitar enampuluh
hari yang lalu.” Aku mulai terisak. Kenangan akan kakek selalu membuatku sedih.
Mbah Kung menepuk-nepuk
lenganku. “Jangan sedih, Nduk! Yang namanya ajal yo nggak bisa dimajukan
atau dimundurkan. Ikhlaskan kepergian
kakekmu. Doakan agar mendapatkan tempat
terbaik di sisi-Nya.”
“Sebenarnya, saya sedih karena Mas Anwar membocorkan
dokumen rahasia kakek pada seseorang,” cetusku, tanpa sadar.
“Duh Gusti Pangeran, itu...itu
sangat riskan, Nduk. Masmu bisa celaka.” Wajah kakeknya Deni mendadak pias.
“Mas Anwar terbunuh dua hari
yang lalu,” kataku dengan suara bergetar.
“Innalillahi...” ucap Deni dan
kakeknya berbarengan.
“Oh, harusnya kakakmu nggak
sembarangan membocorkan isi dokumen itu.
Isinya bisa mencemarkan nama baik seseorang yang kejam sekaligus amat
berkuasa hingga hari ini. Kaki-tangannya
ada di mana-mana.” Mbah Kung menoleh ke
kiri-kanan saat bicara. Ia tampak
ketakutan.
“Saya ingin tahu, apa sih isi
dokumen rahasia itu?” tanya Aldi.
“Dulu, komandan kompi meminta kami
mendata nama mata-mata Belanda yang menyusup dalam kompi kami. Ada tiga orang yang berhasil kami buka
kedoknya. Lantas, atasan memerintahkan
kami mengeksekusi ketiga orang itu.
Begitulah hukum perang, bila tidak membunuh kau akan terbunuh.”
“Apakah para mata-mata itu telah
dihukum mati?” Aldi kembali bertanya.
“Salah seorang di antara mereka
berhasil melarikan diri, walaupun tali yang meliliti tubuhnya tersimpul mati. Mungkin dia pernah berguru pada Houdini.” Mbah Kung menertawakan leluconnya
sendiri.
“Ia menghilang dan baru muncul
saat Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.
Anehnya, ia malah ditetapkan sebagai pejuang kemerdekaan. Aku bingung, bagaimana cara si ular berkepala dua itu meyakinkan para
petinggi negara bahwa dialah pejuang sejati?
Padahal aku dan Wardoyo tahu benar penghiatannya. Dia itu antek-antek Belanda.”
Mbah Kung terbatuk-batuk lalu
meneguk teh tawar yang terhidang di meja samping kursi goyangnya. “Ya,
begitulah dunia. Yang salah bisa jadi
benar. Yang benar bisa jadi salah.” Mbah Kung tersenyum sinis.
Ponsel Aldi berdering. Berdasarkan sikap Aldi sewaktu menerima
telepon, aku tahu atasannya yang menelepon.
“Baik, baik Pak. Ya, saya sependapat dengan Bapak. Terima kasih.
Sore, Pak.” Aldi menghela napas berat saat menyudahi pembicaraan teleponnya.
“Ada masalah?” tanyaku, penasaran.
“Kata komandanku, Mabes menginstruksikan kami untuk berhenti menyelidiki kasus pembunuhan Mas Anwar. ” Aldi
terlihat kecewa dengan keputusan atasannya.
“Ya Nak, hentikan saja
penyelidikan kalian! Karena kalian
sedang menghadapi pria paling berkuasa di negeri ini. Berkuasa berkat kecerdikan dan kepandaian cari muka.”
“Saya penasaran, siapa sih nama
antek-antek Belanda itu?” tanya Deni.
“Lebih baik kalian tak mengenalnya. Hanya bikin sakit hati saja bila kalian tahu
betapa kaya dan berkuasanya keluarga itu sekarang. Harta mereka tak akan habis sampai tujuh
turunan.”
“Nasehat Mbah, berbaktilah pada
negara ini sesuai kemampuan kalian.
Biarlah Allah yang membalas kebaikan kalian. Percayalah, balasan Allah selalu paling
adil.”
“Tapi Mbah, kenapa orang-orang
jahat malah kaya dan berkuasa?” tanya Deni.
“Bisa jadi ada petaka di balik
harta dan kekuasaan yang didapat dengan cara yang salah.” Mbah Kung berayun di kursi goyangnya sambil
tersenyum bijaksana.
Azan maghrib berkumandang. Kami sholat berjamaah di ruang tengah. Aldi didapuk menjadi iman. Tak kuduga, Aldi bisa melafalkan ayat-ayat
Allah secara fasih dan indah.
“Jangan pulang dulu, ibu sudah
siapkan makan malam kalian!” kata ibunda Deni dengan ramah.
“Asik, dapat makan malam enak,”
kata Aldi, tanpa basa basi.
“Aih Nak Aldi ini bisa aja. Ayo, kita serbu makanan sederhana ini!” Ibunda Deni memimpin kami menuju meja makan
yang menghidangkan aneka hidangan laut.
“Wow, ada kepiting saos
padang.” Aldi langsung memenuhi
piringnya dengan nasi dan kepiting saos padang.
Kami makan secara lesehan di
hadapan pesawat TV. Aldi benar, ibunda
Aldi pandai meracik masakan nikmat. Aku
bersemangat sekali menandaskan kakap bakar bumbu kecap. Padahal sejatinya aku ini malas makan.
“Pemirsa, telah terjadi kecelakaan
pesawat terbang pribadi milik keluarga Suwiryo.
Pesawat tersebut jatuh saat mengudara di atas Selat Sunda. Penumpang yang kemungkinan menjadi korban
adalah Suami-Isteri Suwiryo beserta sebagian besar anak dan cucu mereka. Keluarga Suwiryo akan bertolak ke Hongkong
untuk berlibur sekaligus melakukan kerja sama usaha. Letjen Purnawirawan Suwiryo adalah mantan
pejuang kemerdekaan yang sukses berwira-usaha. Ia membuka lapangan pekerjaan bagi ribuan orang. Keluarga Suwiryo juga dikenal sebagai
filantropis sejati. Mereka telah
mendermakan milyaran rupiah bagi korban bencana dan kaum dhuafa. Selamat jalan Keluarga Suwiryo. Surga menanti kalian.” Pembawa berita dari stasiun TV ternama itu berusaha
menahan derai air matanya.
Kami pun merasakan duka mendalam
saat mendengar berita itu. “Innalillahi....” ucap kami berbarengan.
Sebagian besar pemirsa TV pasti
mengagumi keluarga Suwiryo yang kedermawanannya sering diberitakan media
massa. Aku termasuk pengagum mereka. Aku pernah memohon pada Mbak Anna agar diijinkan
mewawancarai mereka. Mbak Anna mengabulkan
keinginanku. Syaratnya, aku harus
bersedia didampingi redaktur senior. Menyenangkan
sekali bertemu keluarga jutawan nan rendah hati. Usai sesi wawancara, kami
ditraktir makan siang di sebuah restoran mewah.
Malam harinya, kami diajak menonton pertunjukan balet yang harga
tiketnya hampir menyamai gaji kami selama sebulan.
Tawa sinis Mbah Kung membuyarkan
lamunanku. “Oh, aku ini seperti peramal
saja. Beberapa menit lalu aku berkata tentang
petaka di balik kekayaan yang didapat dengan cara yang salah, dan sekarang
petaka itu menimpa mereka.”
“Apa maksud, Mbah?” tanya Deni.
“Pikirkan saja sendiri.” Mbah Kung beranjak dari kursi goyang, lalu melangkah
tertatih menuju kamarnya.
Tinggallah kami yang berusaha
menghubungkan komentar Mbah Kung dengan berita kecelakaan yang barusan kami
dengar.
“Jangan-jangan ....” Aldi menggantung kalimatnya.
Tampaknya kami punya pikiran yang
sama. Pikiran yang berusaha kami
enyahkan dari kepala. Sulit bagi kami
untuk memercayai kenyataannya. Tokoh idola kami adalah penghianat bangsa.
****
Malam itu aku dan Aldi berdiam
diri di teras rumah orangtuaku. Kami memikirkan peristiwa yang terjadi sore ini. Yang jelas,
aku lega karena pembunuh Mas Anwar telah mendapatkan balasan setimpal.
“Dunia ini penuh ketidakpastian,
ya?” gumam Aldi.
“Benar kata pepatah, dalam lautan
bisa diduga, dalamnya hati siapa tahu,” imbuhku.
“Zara, aku menyukaimu karena kamu
selalu tampil apa adanya. Hatimu selaras
dengan perbuatanmu.”
Aku pura-pura memerhatikan tanaman
wijaya kusuma yang sedang berbunga.
Sumpah, aku tak mau lagi terpedaya rayuan lelaki.
“Would you marry me?” tanya Aldi sambil berlutut di hadapanku.
Aku terdiam. Terkenang akan perjuangan Aldi berhenti
merokok demi aku. Suaranya yang indah
saat melafalkan ayat suci terngiang di telingaku. Tak bisa dipungkiri, aku merasa aman dan
nyaman di dekatnya. Tiba-tiba saja
bibirku bergerak dan mengucapkan ”Yes, I
do.”
TAMAT
Keterangan :
Houdini adalah nama pesulap asal hongaria yang hidup
pada tahun 1874 sd 1926. Ia mahir membebaskan diri
dari jeratan tali, borgol maupun rantai.
dari jeratan tali, borgol maupun rantai.
Filantropis adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama
manusia hingga menyumbangkan dana, tenaga dan
pikirannya untuk menolong orang lain.
manusia hingga menyumbangkan dana, tenaga dan
pikirannya untuk menolong orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar